Advertorial
Intisari-Online.com -Mei 2015 lalu, Nepal dilanda gempa hebat yang mengakibatkan lebih dari 8.000 orang tewas.
Gempa 7,8 SR itu merupakan gempa bumi terkuat yang pernah terjadi di Nepal. Selain memakan korban jiwa dalam jumlah ribuan dan puluhan ribu lainnya luka-luka, gempa itu juga menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah.
Tapi yang paling dahsyat dan juga menjadi tantangan sulit bagi tim penolong, gempa bumi Nepal telah mengakibatkan Gunung Everest yang biasa dipadati banyak pendaki dari berbagai negara mengalami longsor salju.
(Baca juga:Soal Penyelamatan Bencana Alam, Yuk Berkenalan dengan Tim SAR Tertua di Dunia Ini)
Akibat Longsoran salju dari Gunung Everest sedikitnya 19 orang tewas sementara 120 orang lainnya terluka atau hilang.
Tanah longsor akibat gempa juga terjadi di berbagai lokasi seperti Taman Nasional Langtang yang mengakibatkan lebih dari 320 orang hilang—lebih-lebih setelah longsor salju yang hebat menghantam desa Ghodatabela.
Umumnya korban yang dinyatakan hilang karena tertimbun salju tebal yang lebarnya mencapai 3 km.
Upaya untuk menemukan korban di desa Ghodatabela yang merupakan tempat populer untuk mendaki jelas menjadi tantangan berat bagi tim SAR.
Apalagi di kawasan lain juga banyak tanah longsor yang menimbun desa-desa yang berada di lembah atau lereng pegunungan sehingga tim SAR yang datang untuk menolong harus bekerja ekstra keras.
Pemerintah Nepal sendiri segera bergerak cepat dengan menurunkan hampir semua kekuatan militernya untuk mengatasi bencana sambil menunggu bantuan internasional.
Demi mengatasi bencana alam yang begitu parah itu, militer Nepal membentuk komando Operasi Sankat Mochan yang kemudian dalam operasi SAR-nya bekerja sama dengan tim SAR dari berbagai negara, seperti negara-negara Uni Eropa, Australia, Belgia, China, Kanada, Rusia, Perancis, Jerman, AS, Yunani, Italia, Indonesia dan lainnya.
Bantuan internasioal tidak hanya berupa uang tapi mencakup tenaga SAR terlatih, logistik, alat trasportasi dan lainnya.
Misalya, pemerintah Australia selain memberikan bantuan keuangan juga mengerahkan tim palang merahya dengan didukung dua pesawat transpor RAAF, Boeing C-17 untuk kepentingan mengangkut logistik bantuan dan evakuasi korban.
Sementara pemerintah Kanada mengirimkan satu pesawat Boeing C-17 untuk mengangkut logistik dan personel SAR, Rusia mengirimkan dua pesawat Ilyushin II-76 beserta 90 personel SAR, bantuan logistik, dan lainnya.
Sedangkan Indonesia mengirimkan dua pesawat Boeing 737-400 dan C-130 Hercules untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan dan keperluan evakuasi WNI yang berada di Nepal.
(Baca juga:Gempa Bumi Membuat Rotasi Bumi Melambat?)
Intinya semua negara yang terlibat dalam operasi kemanusiaan di Nepal terus bekerja bahu-membahu sampai operasi SAR itu dinyatakan berhenti.
Tujuan utama operasi SAR di Nepal adalah menyelamatkan korban hidup sebanyak mungkin kendati tantangannya berat karena setelah gempa hujan deras menyusul turun.
Hampir semua bangunan yang terkena gempa roboh karena dibangun dari bahan-bahan yang tidak tahan gempa sehingga mengakibatkan banyak korban masih tertimbun di bawah reruntuhan.
Infrastruktur jalan menuju kota dan sistem komunikasi juga rusak sehingga tim SAR bekerja dengan mengandalkan peralatan masing-masing.
Misalnya untuk pemetaan lokasi gempa mereka hanya mengandalkan mapping lokasi dari google, terbatasnya air dan sarana sanitasi, banyaknya penduduk yang kehilangan bahan makanan dan kelaparan juga mulai menimbulkan masalah baru.
Salah satu tugas yang menentukan keberhasilan tim SAR di Nepal adalah pemetaan lokasi bencana sehingga tim penyelamat yang terus tiba dari berbagai negara bisa ditempatkan secara merata.
Berdasar pemetaan lokasi yang terus diperbaharui secara on line dan disebarkan melalui media sosial serta transmisi satelit para tim SAR pun makin bisa bekerja sama secara terkoordinasi.
Selain itu untuk mencari korban lainnya dan menemukan infrastruktur jalan yang masih bisa dilewati tim SAR juga menggunakan drone sehingga proses evakuasi korban untuk dibawa ke rumah sakit yang berada di perkotaan menjadi lebih mudah.
Yang menarik cara kerja tim SAR internasoinal dalam proses pemetaan lokasi bencana, teknis distribusi informasi secara on line, dan penggunaan drone ternyata berdasarkan pengalaman ketika mereka menangani korban gempa di Indonesia dan Haiti.
(Baca juga:Gempa Diikuti Tanah Longsor Hebat Pernah Melanda Dasar Laut Bumi Ratusan Tahun Lalu)
Berdasar pemetaan (crisis mapping) itu, rencana dan penanganan darurat yang harus segera diambil terbukti bisa berungsi secara efektif dan efesien.
Keberadaan tim SAR yang terus berdatangan juga bisa diorganisir secara lebih baik dan tidak hanya menumpuk di suatu tempat saja.
Selain pemakaian sistem mapping dan penggunaan drone teknologi canggih lainnya juga turut menentukan penyelamatan korban di bawah reruntuhan bangunan. Teknologi itu berupa pendeteksi alat detak jantung yang mengendus detak jantung manusia pada kedalaman 10 kaki (sekitar 3 meter)
Teknologi canggih lainnya adalah perangkat berupa FINDER yang bisa mendeteksi korban hidup di bawah reruntuhan sehingga berkat keberadaan alat-alat itu peggunaan anjing pelacak bisa dikurangi.