Advertorial
Intisari-Online.com – Di dunia pengobatan, nama tanaman Ginkgo biloba sudah tidak asing lagi.
Ekstrak daunnya banyak digunakan dalam sediaan suplemen untuk kebugaran otak.
Hampir setiap orang pernah mendengar namanya. Tapi bagaimana sosok tanamannya, mungkin banyak yang belum tahu.
Wajar jika banyak yang tidak mengetahui sosoknya.
Soalnya, Ginkgo biloba memang bukan tanaman yang biasa dijumpai di Indonesia. Tanaman ini diyakini berasal dari Cina.
Di Negeri Yin-Yang ini, sejak 5.000 tahun yang lalu, Ginkgo biloba sudah direkomendasikan sebagai obat batuk, asma, alergi, juga untuk mengatasi gangguan jantung dan paru-paru.
Hebatnya, meskipun ilmu kedokteran modern telah menemukan ribuan obat baru, pamor ginkgo tidak lantas surut.
Sekarang ekstrak daun tanaman ini lebih banyak digunakan untuk satu khasiat, yaitu menjaga kebugaran otak.
Di negara kita saat ini beragam merek dagang suplemen bersaing di pasar dengan menjual nama ginkgo.
Seolah-olah nama ini identik dengan jaminan mutu.
Kata ginkgo merupakan ejaan cara Jepang dari bahasa Cina ginkyo atau yin kuo, yang arti harfiahnya buah aprikot perak.
Disebut demikian karena buah tanaman ini putih mengkilap seperti perak, mirip dengan buah aprikot kecil ketika masak.
Nama ginkgo kali pertama diperkenalkan oleh Engelbert Kaempfer, seorang botanis asal Jerman pada tahun 1712.
Kaempfer menemukan tanaman ini di Jepang pada 1690 saat dia bertugas sebagai dokter di wilayah kolonial Belanda di Hindia Timur.
Kaempfer kemudian membawa tanaman ini ke Belanda pada 1727. la menanamnya di Kebun Raya Utrecht, Belanda.
Tahun 1754 tumbuhan unik ini juga diperkenalkan ke Inggris. Sejak itulah Eropa mengenal tanaman yang berasal dari daratan Timur Jauh ini.
Ginkgo diyakini merupakan tumbuhan tertua di dunia yang masih bertahan hidup hingga kini.
Bahkan Charles Darwin menyebutnya sebagai "fosil hidup" di muka Bumi.
Catalan fosil tertua yang pernah ditemukan menunjukkan tanaman ini pernah hidup lebih dari 200 juta tahun lalu.
Saat itu ginkgo tersebar di Amerika bagian utara dan Eropa, namun kemudian menghilang sepanjang abad es dan hanya bertahan hidup di daratan Cina.
Di sana pohon ini dikenal sebagai tanaman sakral.
Tanaman ini termaktub dalam buku pengobatan tradisional Cina Pen Tsao Ching yang ditulis pada tahun 2.800 SM.
Di buku itu ginkgo direkomendasikan sebagai obat asma.
Selain itu, tanaman ini juga memiliki arti penting dalam tradisi Konghucu karena konon Konfusius (551 -479 SM) senang berkontemplasi, membaca, dan mengajar di bawah pohon sakral ini.
Sebagai "fosil hidup", pohon ginkgo bisa berumur sangat panjang.
Yang tertua ditemukan di Cina. Bisa menebak berapa umurnya?
Tiga ribu lima ratus tahun! Ya, 3.500 tahun! Sekitar 10% pohon ginkgo yang berada di Cagar Alam Tianmu Shan, Cina, berumur lebih dari 1.000 tahun!
Tua, tinggi, besar
Ginkgo merupakan tumbuhan berumah dua. Ada pohon jantan, ada pohon betina. Keduanya terpisah.
Sangat sulit untuk membedakan jenis kelaminnya kecuali menunggu sampai tumbuhan itu berbunga.
Ginkgo muda betina akan berbunga 2 - 3 minggu lebih lambat daripada yang jantan. Daun pohon betina akan jatuh lebih lambat pada musim gugur.
Pohon betina cenderung memiliki percabangan horizontal.
Sebuah biji ginkgo dapat menghasilkan tumbuhan jantan atau betina.
Dalam literatur Cina disebutkan, biji yang memiliki dua rusuk pada batoknya biasanya akan menghasilkan anakan betina, sedangkan biji dengan lebih dari dua rusuk akan menghasilkan anakan jantan.
Di hutan-hutan tua di Cina, pohon ginkgo dewasa tingginya bisa mencapai puluhan meter, dengan diameter batang ratusan sentimeter.
Pohon terbesar tercatat ditemukan di Guizhou, Cina.
Tingginya mencapai 40 m dengan diameter batang mencapai 471 cm alias hampir mencapai 5 m.
Di Dabao, Gansu, Cina, tercatat ditemukan pohon ginkgo dengan tinggi 60 m dengan diameter 286 cm.
Di Korea Selatan ditemukan pohon ginkgo setinggi 36 m dengan diameter batang 457 cm.
Di Amerika Serikat, pohon ginkgo terbesar bisa ditemukan di Pierce Arboretum (Longwood Gardens).
Pohon yang ditanam pada 1789 ini tingginya 32 m dan diameter batangnya 300 cm.
Kulit batang pohon ini berwarna cokelat dan kasar, dihiasi celah-celah beralur kasar sesuai dengan umurnya. Percabangannya membentuk kanopi.
Daunnya berbentuk kipas dengan lekukan di tengahnya sehingga membentuk dua cuping.
Itu sebabnya daun tanaman ini disebut biloba, yang makna harfiahnya bercuping dua (berasal dari bahasa Latin: bi berarti dua, loba berarti cuping).
Bentuk daun ini mirip dengan tumbuhan paku maidenhair. Karena itu ginkgo kadang juga disebut pohon maidenhair. Panjang daun sekitar 5 - 8 cm.
Warnanya hijau mengkilat, kemudian berubah menjadi hijau gelap dan akhirnya menjadi kuning berkilauan pada musim gugur.
Buahnya berbentuk bulat telur dengan panjang 2 - 3 cm, bertangkai panjang. Buah yang masak akan berwarna kuning sampai oranye.
Buah ini hanya dilapisi daging yang sangat tipis yang menyelimuti batok biji yang agak keras.
Biasanya, buah akan masak pada musim gugur, yaitu sekitar Oktober - November.
Selain menjadi bahan obat, Ginkgo biloba juga punya nilai penting dalam kebudayaan Jepang.
Sejak zaman kekaisaran Edo, bentuk daun ginkgo yang unik ini menjadi sumber inspirasi dan ditiru sebagai model jambul rambut pria Jepang.
Bentuk, ukuran, dan posisi dari jambul ini memperlihatkan status sosial yang bersangkutan.
Sebagai contoh, kaum Samurai dan Sumo menggunakan model O-icho atau ginkgo besar.
Sedangkan kaum pedagang menggunakan model koicho atau ginkgo kecil.
Sampai saat ini model rambut seperti daun ginkgo masih bisa dilihat pada rambut para pemain sumo.
Ginkgo biloba juga biasa digunakan sebagai penahan api sehingga di Jepang pohon ini banyak ditanam di sekitar kuil.
Sejarah membuktikan, saat kebakaran besar setelah gempa bumi melanda Tokyo tahun 1923, pohon ginkgo ternyata tetap bertahan hidup, padahal pohon-pohon lain di sekitarnya mati.
Pada saat itu, satu kuil selamat dari kobaran api karena "dilindungi' oleh pohon ginkgo di dekatnya.
Daya tahan batang ginkgo terhadap api bukan sekadar mitos.
Kulit batang pohon ini diketahui mengandung suatu zat getah yang tahan api.
Itu sebabnya pohon ini bisa bertahan meskipun pohon-pohon lain di sekitarnya hangus.
Setelah kejadian ini, pohon ginkgo banyak ditanam di Tokyo dan dijadikan sebagai simbol kota metropolitan itu.
Ginkgo juga dikenal sangat tahan terhadap hama, salju, serangan kilat, polusi udara, dan efek rumah kaca.
Karena itu Ginkgo biloba banyak digunakan sebagai tanaman hias peneduh di tepi jalan dan taman-taman kota.
Sosoknya yang indah dengan bentuk kanopi yang unik sering dimanfaatkan sebagai tumbuhan pembentuk lanskap taman dan peneduh.
Warna daunnya yang kuning berkilau saat musim gugur memberi keindahan yang khas pada taman-taman dan bulevar kota.
Biasanya, yang ditanam di taman-taman kota adalah ginkgo jantan. Bukan yang betina.
Pasalnya, ginkgo betina menghasilkan buah yang banyak mengandung asam butirat.
Kandungan asam ini menyebabkan buah ginkgo menghasilkan bau busuk jika telah masak, jatuh dari pohon, dan membusuk.
Kayu pohon ginkgo ringan, licin, dan mengkilat keperakan.
Itu sebabnya kayunya sering dimanfaatkan untuk kerajinan ukir, rak teh, dan perkakas lain untuk acara minum teh di Jepang.
Kadang juga dimanfaatkan untuk membuat laci tahan serangga, baki, mangkuk, dan wadah bubuk teh atau kopi.
Selain digunakan sebagai obat, daun ginkgo yang berbentuk unik itu, juga sering dipakai sebagai pembatas buku.
Dibandingkan dengan pembatas buku berbahan lain, daun ginkgo diyakini punya manfaat ganda.
Selain indah dan unik, daun tanaman ini mengandung senyawa kimia tertentu yang bisa melindungi buku dari serangan serangga.
Tak hanya daun, bijinya pun bisa dijadikan sebagai obat.
Kandungan asam ginkgolat dan ginnol dalam bijinya punya khasiat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.
Bijinya juga bisa dimakan dengan cara disangrai atau direbus hingga batoknya pecah lalu daging bijinya dimakan sebagai sup atau sayuran bersama nasi, tahu, dan jamur.
Tumbuh perlahan
Ginkgo berkembang biak lewat biji, stek batang, dan okulasi.
Di negara-negara Barat, batang stek sepanjang 15 - 30 cm biasanya diambil dan ditanam pada bulan Desember dan akan mulai berakar pada musim semi.
Di alam ginkgo berkembang biak lewat biji. Secara alami anakan pohon Ginkgo biloba jarang terdapat di sekitar induknya.
Fenomena ini karena banyak satwa liar yang menyukai biji ginkgo dan membawanya ke tempat yang jauh dari induknya.
Penggemar biji ginkgo sangat beragam, mulai dari golongan burung sampai tikus.
Banyaknya penyebar biji inilah yang menjadi salah satu faktor tanaman ini masih dapat bertahan hidup hingga kini.
Meski begitu, mengecambahkan Ginkgo biloba bukan perkara gampang.
Perkecambahan bijinya memerlukan waktu tidak seragam, berkisar 30 - 60 hari.
Kebun Raya Bogor pernah melakukan percobaan pengecambahan biji ginkgo di media pasir di rumah kaca.
Hasilnya, 65% bijinya berkecambah. Sisanya busuk akibat serangan jamur.
Dari 65% ini pun, yang bisa bertahan hidup sampai menghasilkan daun hanya sekitar 30% karena serangan ulat.
Pertumbuhan tanaman ginkgo tergolong sangat lambat. Biasanya memerlukan waktu 10 - 12 tahun untuk mencapai tinggi 6 m.
Untuk membentuk kanopi daun yang membundar, diperlukan waktu kurang lebih 20 tahun. Setelah berumur 20 - 35 tahun, tanaman ini baru dapat menghasilkan buah.
Saat ini penghasil buah ginkgo terbesar adalah Cina, tepatnya di Pegunungan Dongting.
Meskipun tanaman ini terbukti sanggup bertahan hidup ribuan tahun, bukan berarti keberadaannya sama sekali tidak terancam.
Sekarang, seiring perkembangan zaman, satwa-satwa penyebar biji ginkgo mulai terdesak. Padahal perkembangbiakan tanaman ini sangat dipengaruhi oleh satwa-satwa itu.
Kalau satwa-satwa itu terancam, otomatis keberadaan Ginkgo biloba juga terancam.
Sampai kapan tanaman purba ini dapat bertahan di Bumi, waktu yang akan membuktikan. (Syamsul Hidayat & Wilhermanto, peneliti di Kebun Raya Bogor)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2007)