Advertorial
Intisari-Online.com -Dalam Perang Dunia II Burma (Myanmar) merupakan negara yang menjadi sasaran utama serbuan pasukan Jepang. Negara ini terkenal sebagai negara yang subur, kaya minyak dan padi.
Selain itu, dengan menguasai Burma, Jepang juga akan terhindar dari serbuan balik pasukan Sekutu yang saat itu masih menguasai Malaya (Malaysia) dan Hindia Belanda (Indonesia).
Untuk menguasai Burma, Jepang menggerakan kekuatan dari 15th Army yang saat itu sudah berada di Thailand.
Berkat dukungan militer Thailand yang bergabung dengan pasukan Jepang, yakni 15 th Army dan dikomandani oleh Letnan Jenderal Shojiro Iida, pasukan gabungan itu segera bergerak ke Burma lewat hutan belantara Thailand sebelah utara.
Serbuan menuju Burma lewat hutan belantara itu berlangsung pada bulan Januari 1942.
Setelah menerobos hutan, kawasan strategis Burma, yakni Tenasserim pun berhasil dikuasai pasukan Jepang.
Dari posisi itu, pasukan Jenderal Shojiro yang hanya terdiri dari dua divisi infanteri segera bergerak menuju selatan dan berhasil menguasai jalur strategis lainnya, Kawkareik Pass.
Lewat jalur strategis yang berkelok-kelok itu, pasukan Jepang kemudian sukses menguasai kawasan seberang sungai Salween , yaitu Moulmein.
Pasukan Sekutu yang bertahan di seberang sungai dan berusaha keras mempertahankan jembatan akhirnya memilih mundur setelah terlebih dahulu meledakkan jembatan.
Gerak mundur pasukan Sekutu dari satuan Indian 18 th Division itu selanjutnya tergantung dari kecepatan mereka untuk mencapai jembatan yang membentang di atas sungai Sittang.
(Baca juga:Myanmar Bebaskan 3 Ribu Tahanan untuk Perdamaian dan Stabilitas Nasional)
Tapi sebelum pasukan Sekutu mencapai jembatan sungai Sittang, jembatan strategis itu ternyata telah berhasil dikuasai oleh pasukan Jepang.
Agar terhindar dari nasib yang lebih buruk, pasukan Sekutu kemudian mengirim tim khusus untuk meledakkan jembatan yang membentang di atas sungai Sittang.
Tapi misi dari tim khusus itu ternyata gagal meledakkan jembatan dan membuat gerak maju pasukan Jepang makin tidak terbendung.
Gerak maju pasukan Jepang saat itu bahkan mulai mendekati posisi ibukota Burma, Rangon.
Komandan Sekutu ( ABDA Command) di Rangon, Jenderal Wavell kemudian memerintahkan pasukannya untuk sebisa mungkin menahan gempuran Jepang sambil menunggu bantuan pasukan tambahan dari Timur Tengah.
Perlawanan sengit pasukan Sekutu ternyata tak membawa hasil. Jenderal Wavell pun kemudian digantikan posisinya oleh panglima yang baru, Jenderal Harold Alexander.
Jenderal Harold Alexander lalu memerintahkan semua pasukan Sekutu untuk meninggalkan Rangon sambil melancarkan aksi bumi hangus.
Sekitar 60 ribu pasukan Sekutu, khususnya satuan India dan Inggris, terpaksa berjalan kaki menembus bukit dan hutan untuk mencapai perbatasan Burma-India.
Gelombang berikutnya, sebanyak 100 ribu pasukan China yang dipimpin Jenderal Joseph Stiwell menyusul upaya evakuasi besar-besaran itu dengan jalan kaki.
(Baca juga:Death March: Long March Maut yang Sebabkan Puluhan Ribu Pasukan Sekutu Tewas di Filipina pada PD II)
Di sepanjang perjalanan banyak sekali personil yang jatuh sakit atau meninggal karena terserang penyakit desentri atau malaria. Kota Rangon yang ditinggalkan oleh Sekutu akhirnya dengan mudah jatuh ke tangan Jepang.