Advertorial
Intisari-Online.com - Kita sering mendengar bahwa perkawinan seseorang tengah dalam situasi krisis.
Perkawinan itu perlu diselamatkan.
Namun, banyak orang tidak bisa mempertahankan perkawinan monogami.
Mereka menganggap monogami membosankan.
Apa yang menyebabkan makin banyak pasangan yang tak bisa mempertahankan perkawinan monogami?
Apakah hal itu terjadi "hanya" karena jemu terhadap norma-norma ketat yang harus dijalani seumur hidup bersama-sama pasangan yang itu-itu juga?
Rupanya, pertanyaan di atas belum ada jawabannya yang pasti.
Biarpun begitu tidak ada salahnya kita melihat sejarah supaya ada sedikit gambaran mengapa orang, yang dimaksud di sini terutama pria, suka tak bisa mempertahankan perkawinan yang monogami.
Di zaman Yunani kuno muncul istilah monogami.
Menurut legenda, Kekrops, pendiri Akropolis, adalah orang yang memperkenalkan perkawinan tunggal tersebut.
Orang Yunani kemudian dikenal sebagai pembela perkawinan monogami yang gigih.
Mereka bahkan membuat undang-undang perkawinan dan menganggap bangsa lain yang mempunyai istri banyak sebagai orang barbar.
Pacar resmi
Namun demikian, orang Yunani juga dikenal sebagai penemu istilah pacar resmi yang disebut sebagai Hetdre.
Wanita-wanita yang menjadi "kekasih" ltu hidup dari uang pria-pria Yunani yang kaya dalam rumah pribadi.
Ciri khas dari mereka: mereka merupakan nyonya rumah yang baik sekali, cantik, cerdas, berpendidikan, dan mereka hadir hanya untuk berbincang-bincang dengan kaum pria.
Mereka melakukan diskusi yang hidup diiringi permainan seruling serta tarian.
Namun, bayaran untuk itu semua: mereka tidak boleh berkeluarga dan tidak boleh mempunyai anak.
Mereka harus selalu mempunyai waktu buat pria.
Seringkali terjadi kekasih pria-pria terkemuka itu lebih terkenal daripada istri pria tersebut.
Orang mengenal Phryne, teman kencan Pemahat Praxiteles yang terkenal.
Atau, orang tahu Theodora, wanita yang bermalam-malam diajak diskusi oleh Sokrates.
Bahkan Plato juga mempunyai teman wanita, Archeanassa.
Sopokles pergi ke Archippe, dan Aristoteles menghibur diri dengan Phyllis.
Iskandar Agung meminta pendapat Thais, kekasihnya, ketika ia hendak membumihanguskan Persepolis.
Kalau dipikir-pikir, buat apa seorang pria mempunyai istri di rumah, kalau ia juga mempunyai wanita lain di luar rumah untuk diajak berbincang-bincang?
Ahli pidato dan politikus Yunani, Demosthenes, memberikan penjelasan sebagai berikut, "Kami memiliki kekasih untuk kesenangan, istri piaraan untuk merawat tubuh sehari-hari, dan istri resmi untuk meneruskan keturunan yang berkualitas serta menjadi penjaga isi rumah yang terpercaya."
Dua puluh orang pria, perjaka yang tidak terikat perkawinan, memberikan pendapat mereka soal perkawinan monogami dan poligami.
Hanya seorang yang menentang perkawinan monogami akibat rasa bosan.
Kesembilan belas pria lainnya menganggap monogami baik, tetapi mereka kadang-kadang "suka keluar jalur".
Kalau ditanya mengapa mereka berbuat demikian, mereka menjawab, "Ya, memang sudah begitu."
Mungkin hal di atas terjadi akibat adanya pembagian dalam dua wanita.
Ada wanita yang bisa dipercaya dan ada yang tidak bisa dipercaya.
Wanita yang bisa dipercaya, setia, sedia berkorban adalah istri dan ibu anak-anak.
Namun, "kesuciannya" itu membosankan dan memberikan citra yang sama seperti ibu kita sendiri.
Padahal, ibu adalah milik ayah.
Maka dari itu perlu wanita lain yang tentu saja kurang bisa dipercaya karena ia adalah wanita "asing".
Lalu yang penting, wanita itu "bukan milik ayah".
Lebih banyak lebih hebat
Ada lagi hal yang berperan dalam keinginan seorang pria terhadap wanita lain selain istrinya.
Hal itu adalah rasa kebanggaan atau gengsi.
Ada kesan bahwa barang siapa bisa mencukupi banyak wanita dalam soal materi dan juga vitalitas, maka ia dianggap "hebat".
Atas dasar itulah maka pria-pria yang terikat perkawinan banyak yang secara sembunyi-sembunyi atau resmi mempunyai kekasih.
Maka jangan heran kalau raja-raja punya istri lebih dari satu.
Raja Prancis Chlotar I bahkan menikahi dua orang bersaudara dan Raja Prusia Friedrich Wilhelm II menikah dengan wanita bangsawan dari Voss, walaupun ia masih terikat perkawinan yang pertama.
Selain itu, ia masih mempunyai beberapa selir.
Padahal, perkawinan monogami sudah disahkan oleh gereja.
Namun, penguasa absolut yang di kerajaannya menentukan sendiri apa-apa yang terjadi, melalaikannya.
Dalam beberapa hal, gereja terpaksa setuju.
Sebenarnya, dalam diri para penguasa itu ada alasan lain mengapa mereka sampai mempunyai istri banyak.
Mereka membutuhkan keturunan.
Soalnya, angka kematian bayi dan anak besar sekali.
Alasan di atas ditambah dengan alasan politis: perkawinan seorang penguasa dengan putri raja tetangga menjadi sarana untuk bisa hidup damai dengan sang tetangga.
Negara tetangga itu tidak akan menyerang, karena putrinya menjadi jaminan bagi sang suami.
Itulah sebabnya, di zaman dulu, banyak penguasa kota atau raja-raja kecil mengawini sejumlah wanita.
Dari semua raja Prancis, hanya ada dua orang raja yang menikah atas dasar cinta.
Mereka adalah Napoleon I yang menikah dengan Josephine dan Napoleon III dengan wanita bangsawan, Eugenie dari Montijo dan Teba.
Namun demikian, itu juga tidak berarti mengalangi hadirnya kekasih-kekasih lain.
Di Prancis dikenal nama-nama seperti Diana dari Poitiers yang menjadi kekasih Raja Henri II.
Wanita itu lebih tua dua puluh tahun dari sang raja dan secara resmi menjadi kekasih raja ketika ia berusia 48 tahun.
Atau dikenal nama Pompadour yang memikat Raja Louis XV selama 19 tahun.
Walaupun ia di kemudian hari tidak mempunyai hubungan erotis lagi dengan raja, tetapi raja begitu bergantung padanya.
Tugas utamanya adalah mengajak raja bercakap-cakap, mengatur istana agar memiliki wajah baru, mengundang aktoraktor, menyelenggarakan pesta-pesta untuk orang terkemuka.
Bagi raja, kehadiran Pompadour tidak membosankan.
Lain Barat lain Timur
Kekasih-kekasih raja begitu menyita waktu, amat mahal, dan selain itu punya pengaruh yang lebih besar daripada ratu.
Sebenarnya hal itu manusiawi.
Soalnya, kepada siapa lagi segalanya akan diberikan kecuali, kepada seorang wanita yang memberikan kesenangan kepada seorang pria.
Pemberian raja bisa berupa istana, uang, gelar, atau pengaruh politik.
Untuk hal yang terakhir contohnya bisa kita ambil Pompadour, yang ikut menentukan posisi Prancis dalam perang Austria dengan Prusia.
Walaupun begitu, para kekasih raja itu gila hormat dan suka intrik.
Hal itu disebabkan karena mereka menderita tekanan jiwa yang berat.
Mereka sadar bahwa mereka tentu saja tidak terlalu terhormat seperti halnya istri resmi.
Selain itu, mereka selalu diliputi rasa ketakutan kalau-kalau mereka kehilangan posisi dan bersamaan dengan itu juga kehilangan pengaruh dan kekuasaan.
Kelemahan-kelemahan kekasih raja kadang kala dieksploatasi orang-orang tertentu yang hendak mencari keuntungan.
Dalam membicarakan kekasih-kekasih di atas, kita perlu juga mengetahui bagaimana reaksi istri resmi.
Dalam buku-buku, sering diceritakan istri-istri resmi seolah-olah setuju saja dengan tindakan suami mereka.
Tak jadi soal apakah itu benar-benar setuju atau cuma sandiwara saja.
Dalam soal menerima kenyataan macam di atas, wanita Asia ternyata lebih "tenang".
Karya Pearl S. Buck, Madame Wu, menceritakan kisah istri Tuan Wu yang memutuskan mencarikan istri lain buat suaminya ketika wanita itu berulang tahun yang keempat puluh.
Sang istri merasa lelah dan ingin beristirahat.
Padahal suaminya masih penuh vitalitas untuk mempunyai beberapa anak lagi.
Pada mulanya sang suami tidak setuju.
Namun, belakangan ia menyerah pada kemauan istrinya.
Ia bahkan membawa masuk dua orang istri piaraan sekaligus!
Di cerita roman adat Cina yang lain yang berasal dari abad 16, digambarkan bagaimana di rumah sang tokoh utama hidup lima orang istri piaraan dan seorang istri resmi.
Di Korea, istri piaraan yang resmi bahkan dianggap hal yang biasa sampai kira-kira beberapa tahun terakhir ini.
Anak-anak dari istri piaraan tinggal bersama-sama dan dibesarkan bersama-sama dengan anak-anak dari istri resmi.
Dari kenyataan di atas, orang Asia ternyata cenderung untuk memisahkan antara cinta dan usaha memperoleh keturunan.
Misalnya seorang Jepang rindu terhadap kejelitaan dan cinta seorang wanita, maka ia tidak akan pergi ke "wanita yang melahirkan anak-anaknya", tetapi pergi ke "wanita bunga".
Namun, untuk menjaga hartanya, ia akan mencari istri.
Seorang profesor memberikan penjelasan menarik yang dimulai dari dunia binatang.
Dikatakan oleh sang profesor ada tiga bentuk perkawinan yang tidak hanya berdasarkan seks.
Ada perkawinan monogami, perkawinan poligami, dan perkawinan kelompok.
Poligami adalah perkawinan di mana jantannya hanya satu dengan betina yang banyak, sedangkan perkawinan kelompok, betina dan jantan bisa bertukar-tukar pasangan tetapi masih dalam satu kelompok.
Di dunia binatang, burung adalah salah satu makhluk yang menjalankan perkawinan monogami.
Makin dekat sejenis binatang dengan bentuk perkawinan monogami, perbedaan jenis kelamin makin samar.
Misalnya saja angsa.
Kita tidak bisa langsung tahu apakah angsa itu jantan atau betina.
Lalu, bagaimanakah dengan manusia?
Perbedaan kelamin dalam dunia manusia masih kelihatan jelas.
Pria berjanggut dan tubuhnya pun lain dengan wanita.
Dari segi naluri, manusia itu masuk golongan makhluk yang perkawinannya berbentuk poligami.
Namun, ia bukannya makhluk yang hanya punya naluri saja.
Ia memiliki alat pengenalan yang khas yang membuatnya mampu melakukan perkawinan monogami.
Jadi, manusia itu adalah makhluk peralihan dari poligami ke monogami.
Kalau sudah membaca tulisan di atas, maka mungkin kita tak perlu heran, mengapa pria suka atau cenderung untuk mempunyai istri lebih dari satu.
Jalan keluar untuk masalah di atas mungkin adalah ini: kita sebaiknya tidak membagi-bagi peran pada dunia wanita.
Seorang istri itu sebaiknya merupakan ibu rumah tangga yang jujur, setia, rela berkorban, dan sekaligus merupakan kekasih yang mempesona.
Memang sulit menjalankannya.
Namun, perkawinan monogami itu lebih menguntungkan walaupun tidak mudah memeliharanya. (Karin Haglund)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1986 dengan judul “Apakah Pria Memang Memerlukan Beberapa Istri?”