Advertorial
Intisari-Online.com – Kehilangan kerabat - karena dipanggil menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa - pasti membuat kita sedih.
Apalagi jika kerabat tadi mempunyai tempat spesial di hati, atau orang yang selama ini begitu baik kepada kita.
Saya pernah merasakan kepedihan itu. Kepedihan yang sayangnya, kemudian berubah menjadi penyesalan. Saya sadar, tak ada orang yang bisa mengelak dari takdir-Nya.
Namun setidaknya - saya berpendapat – kerabat saya itu tidak akan meninggal muda (di usia 35), alias bisa hidup lebih lama jika dia sungguh-sungguh berniat melawan penyakitnya.
Penyakit saluran pernapasan yang dia derita sebenarnya hanya bisa menjadi parah jika dibiarkan menggerogoti dalam waktu lama.
Jika pencegahan dilakukan sejak dini, sesuatu yang fatal bisa dihindari.
Sebagai Sarjana Ekonomi yang dikenal pintar, saya yakin dia menyadari hal itu.
Sayangnya, sebagai manusia, saya menganggap dia terlalu "berhitung" terhadap biaya berobat yang bakal dikeluarkan kalau pemeriksaan rutin dilakukan.
Padahal dia tahu betul, secara finansial dia tak punya masalah.
Mengapa uang begitu disayang? Kerabat saya pasti punya alasan sendiri.
Biaya yang dikeluarkan untuk membayar dokter dan membeli obat, memang lebih mahal ketimbang mengunjungi klinik alternatif, dan tentu saja mengurangi tabungan.
Tapi, jika sudah terlambat, bukankah uang tak lagi berarti?
Seperti dibilang Henrik Ibsen (1828 - 1906), dramawan terkemuka Norwegia: uang bisa buat membeli obat, tapi tak bisa membeli kesehatan.
Uang juga bisa mendatangkan teman, tapi tak akan bisa membeli persahabatan. Uang bisa dipakai untuk membeli makanan, tapi tak akan bisa membeli selera makan.
Uang dapat membayar pelayan seperti apa pun yang kita inginkan, tapi tak akan bisa membeli kesetiaan.
Uang dapat membuat hari-hari kita terasa begitu indah, tapi tak mungkin bisa membeli kebahagiaan.
Ah, pikiran saya melayang jauh. Kalau saja kerabat saya itu tak mencintai uang lebih daripada dirinya sendiri, kesehatannya mungkin tak akan tergadaikan begitu cepat dan begitu mudah.
Mungkin, karena panjang-pendeknya umur, Tuhan juga yang menentukan. (Icul)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2010)