Advertorial
Intisari-Online.com – Alkisah, hiduplah seorang bijak. Pada suatu hari, keponakannya datang mengunjunginya. Pemuda itu sedih, murung, dan jelas kesal karena sesuatu.
Orang bijak itu bertanya apa yang terjadi padanya. Keponakan tersebut mengatakan bahwa ia mengalami kemunduran serius dan sekarang ia tidak akan pernah dapat mencapai tujuannya.
Keponakannya itu meminta pamannya memberikan saran apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Orang bijak itu hanya meminta untuk membawanya ke bukit. Jalan menuju tempat itu sulit dan panjang.
Tapi keponakannya langsung setuju untuk membantu pamannya. Ketika mereka sampai di perbukitan, orang bijak itu mengatakan bahwa ia harus pergi ke puncak bukit tertinggi.
Pemuda itu terkejut, namun memutuskan untuk tetap membantu pamannya, karena pria tua itu tidak pernah memanjat ke sana.
Dengan susah payah keponakan itu membantu pamannya mendaki ke bukit, bahkan terkadang harus menggendong orang tua itu di punggungnya.
Di puncak bukit, dengan berkeringat, ia meletakkan pamannya di tanah dan tertawa terbahak-bahak.
“Apakah kau ingat ketika masih kecil, kadang-kadang kau kembali ke rumah dengan menangis?” tanya orang bijak itu. “Seorang anak laki-laki menggodamu. Apakah kau ingat mengapa? Persis!”
Pemdua itu melihat sekeliling dan mengangguk. Ia teringat bahwa sewaktu kecil ia sering bermain di sana bersama anak laki-laki lainnya.
Dan mereka menyebut bukit ini sebagai Everest, karena hanya sedikit orang yang bisa mencapai puncaknya.
“Saat itu saya tidak bisa sampai ke sana. Bukit itu tampak seperti batu yang tak tergoyahkan bagi saya,” kata pemuda itu.
“Dan hari ini kau tidak hanya naik ke sana, tapi juga menggendong saya,” kata orang bijak itu sambil menatap keponakannya. “Bagaimana kau bisa melakukan ini? Apa yang kamu pikirkan?”
“Mungkin saya baru saja tumbuh dewasa,” jawab pemuda itu mengangkat bahu. “Saya menjadi lebih kuat dan bugar.”
“Dan Everest yang tangguh itu tiba-tiba berubah menjadi gundukan yang tidak berbahaya,” kata orang bijak itu.