Lain halnya dengan mereka yang tidak menikah. Proses turunnya kortisol tersebut relatif lebih lambat.
Nah, penurunan kortisol secara cepat ini dikaitkan dengan turunnya risiko penyakit jantung dan masalah kesehata lain. Mengagumkan, bukan?
Tingginya tingkat kortisol dalam tubuh kita bisa disebabkan oleh stres yang sedang berlangsung.
Akibatnya, dapat mengganggu tubuh untuk mengatur peradangan. Secara singkat, peradangan adalah respon tubuh terhadap ancaman dari luar seperti stres, infeksi, atau bahan kimia beracun.
(Baca juga: Menurut Penelitian, Kejomloan Bisa Membunuhmu Lebih Cepat, Segeralah Cari Pasangan!)
Nah, terganggunya sistem peradangan ini dikaitkan dengan beberapa kondisi kesehatan. Misalnya, masalah jantung, rendahnya sistem imun, diabetes, dan kanker.
Namun, penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Psychoneuroendocrinology ini hanya mengidentifikasikan hubungan antara pernikahan dengan tingkat kortisol.
Jadi, peneliti hanya bisa berspekulasi berdasarkan penelitiannya. Sebab ada juga studi lain yang menggunakan subjek penelitian yang sama dengan penelitian ini, tapi hasilnya berbeda.
Penelitian itu mengatakan pernikahan tidak mempengaruhi risiko seseorang untuk menghalau penyakit. Misalnya, demam atau pilek.
Secara keseluruhan, penulis dalam jurnal Psychoneuroendocrinology mengatakan bahwa temuan mereka dapat dipertangungjawabkan.
(Baca juga: Batal Menikah, Wanita Ini Undang Tunawisma Untuk Berpesta)
Setidaknya, dalam kenyataan pernikahan kerap kali dipuja-puja karena keajaibannya dalam meningkatkan kesehatan.
Menurut professor Sheldon Cohen, PhD, penulis dalam studi, data ini bisa memberikan wawasan penting tentang keintiman hubungan sosial yang dapat mempengaruhi kesehatan kita.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR