IntisariOnline.com -Pada Perang Dunia II, baik pasukan Jepang maupun Nazi Jerman sama-sama merupakan musuh pasukan Sekutu.
Tapi ada yang membedakan dua pasukanyang oleh Sekutu disebut sebagai kelompokaxis itu.
Ketika bertempur pasukan Jepang terkenal brutal dan tidak memberi ampun kepada musuh yang sudah terdesak dan menyerah.
Oleh karena itu selama PD II, pasukan Jepang tidak pernah membiarkan musuhnya sampai kabur dalam jumlah besar seperti pasukan gabungan Inggris yang sukses mengundurkan diri dari Dunkrik ke Inggris setelah terdesak oleh serbuan pasukan Nazi di Prancis.
(Baca juga:Satelit Militer Jepang Pertama Kali Membelah Ruang Angkasa)
Sebagi contoh ketika Jepang meluncurkan serangan ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, sehari sebelumnya Jepang juga telah menyiapkan kekuatan udara untuk menggempur Filipina.
Armada pesawat tempur yang disiapkan Jepang untuk menggempur Filipina berpangkalan di pulau Formosa (Taiwan) dan berkekuatan 500 pesawat fighter dan pembom.
Rencana menggempur Filipina sebenarnya bersamaan dengan Jepang menyerang Pearl Harbor, tapi karena ada berbedaan waktu, serbuan ke Filipina baru terjadi setelah 9 jam Jepang sukses menghantam kekuatan AL dan Udara AS di Pearl Harbour.
Gempuran udara Jepang ke Filipina kemudian akan disusul pendaratan besar-besaran pasukan darat Jepang melalui lautan.
Untuk menyiapkan serbuan amfibi itu Jepang mengerahkan pasukan yang sudah terlatih baik dan didukung oleh persenjataan paling mutakhir.
Beberapa menit setelah Pearl Harbor berhasil diluluhlantakkan Jepang, komandan pasukan Sekutu di Filipina, Jenderal Douglas MacArthur, sebenarnya telah menerima kabar buruk itu.
Tapi berita yang disampaikan oleh Presiden Filipina, Manuel Quezon dan para stafnya itu tak begitu di respon oleh MacArthur.
Saat itu kebetulan MacArthur dan para stafnya sedang mengadakan acara ramah tamah hingga larut malam.
Para awak pembom B-17 bahkan turut dalam acara pesta itu dan begadang hingga larut malam.MacArthur merasa tak khawatir karena menurut perhitungannya, perlu waktu yang lama bagi Jepang untuk sampai Filipina.
(Baca juga:Misteri Kapal Selam U-BOAT 65 Saat Perang Dunia: Sial Sejak Awal, Berakhir Tragis)
Oleh karena itu, MacArthur belum memerintahkan pesawat-pesawat tempurnya bersiaga. MacArthur bahkan terkesan menolak ketika Washington memerintahkan armada pembom AS di Filipina segera terbang dan membom Formosa.
MacArthur sebenarnya mendapat berita tentang serangan Jepang ke Pearl Harbor pukul 05.00 pagi.
Tapi ia tak menyiapkan kekuatan apapun hingga pukul 11.00 untuk menyambut serangan udara Jepang di Filipina.
Kemungkinan kekuatan udara AS akan membom Formosa setelah serangan Pearl Harbor berlangsung atau paling tidak kekuatan AS di Filipina dalam kondisi siap menyambut serangan Jepang sebenarnya telah diprediksi oleh Jepang sendiri.
Oleh karena itu mereka telah siaga. Tapi ketika armada udaranya melancarkan serangan udara ke Filipina ternyata perkiraan mereka meleset.
Tak ada satu pesawat pun yang menyerang Formosa dan ketika pesawat-pesawat Jepang berada di wilayah udara Filipina kekuatan udara AS ternyata masih berada di darat dalam posisi sitting duck.
Sejumlah pesawat P-40 yang baru saja melaksnakan patroli bahkan sedang berada pada posisi pengisian bahan bakar.
Mendapat sasaran empuk itu, armada udara Jepang pun berpesta pora memporak-porandakan kekuatan udara MacArthur yang didominasi pesawat-pesawat pembom dan fighter.
Sikap pasif MacArthur itu membuat koleganya yang mengkomandani armada udara Far East Air Force, Mayor Jenderal Lewis Brereton gusar karena inisiatifnya untuk menyerang Formosa lewat udara ternyata tak diijinkan oleh MacArthur.
Menyadari keadaan makin genting, Brereton akhirnya nekat memerintahkan anak buahnya untuk segera menyiapkan pesawat-pesawat fighter dan pembom B-17 lalu terbang menuju Formosa.
Namun, langkah Brereton yang baru dikerjakan pada pukul 11.00 itu terlambat. Pasalnya satu jam kemudian, tepatnya pukul 12.20, ratusan pesawat tempur Jepang telah sampai di Filipina dan langsung meluncurkan bom-bom mautnya.
Setelah sukses melumpuhkan kekuatan udara AS di Filipina, pada tanggal 10 Desember 1941, Jepang pun mendaratkan puluhan ribu pasukannya lewat laut.
Pendaratan pertama dilakukan oleh 57 ribu pasukan dibawah pimpinan Letnan Jenderal Masaharu Homma dan berlangsung di Luzon.
(Baca juga:Hiroo Onoda, Tentara Jepang yang Sampai Ajal Menjemput pun Tak Sudi Menyerah kepada Tentara Sekutu)
Kendati pasukan Jenderal Homma jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan pasukan MacArthur dan Filipina yang bertahan, berkat kemahiran bertempur dan senjata yang lebih canggih, pasukan Jepang dengan mudah menyapu pertahanan pantai Luzon yang berjarak sekitar 190 km dari Manila.
Apalagi saat itu konsentrasi pertahanan pasukan Sekutu justru dipusatkan di seputar Manila sehingga kemajuan pasukan Jepang makin tak terbendung.
Akhirnya, MacArthur dan pasukannya terpaksa harus mundur ke Semenanjung Bataan saat gelombang serangan udara dan darat Jepang makin menggila serta bergerak menuju Manila.
Penarikan mundur sekitar 90 ribu pasukan itu berjalan lamban selama satu minggu karena terus mendapat gempuran meriam dan bom dari Jepang.
Di lokasi pertahanannya yang baru kendati kondisi pasukan Sekutu kocar-kacir dan minim perbekalan, MacArthur tetap memerintahkan pasukannya untuk bertempur sampai mati.
Di Bataan MacArthur kemudian membangun garis pertahanan yang dikenal dengan nama War Plan Oranye 3 dengan tujuan sebisa mungkin menahan gempuran pasukan Jepang hingga bantuan tiba.
Akibat penarikan mundur itu, Manila menjadi kota terbuka, open city, sehingga makin memudahkan gerak maju pasukan Jepang. Pada tanggal 2 Januari 1942,
Manila akhirnya jatuh ke tangan Jepang dan kekuatan Jepang terus mendesak pasukan Sekutu yang makin tak berdaya.
MacArthur sebenarnya berupaya minta bantuan militer langsung ke Washington, tapi karena semua kawasan jalan masuk ke Filipina sudah diblokir Jepang, pemerintah AS tak berani mengirimkan bantuan militer yang kemungkinan besar malah akan jatuh ke tangan Jepang.
Akibat gagalnya bantuan itu, pasukan Sekutu yang bertahan di Bataan dan Corregidor hanya memiliki perbekalan untuk beberapa minggu saja.
Sedangkan untuk melawan pasukan Jepang yang jumlahnya makin besar paling tidak dibutuhkan logistik makanan dan senjata untuk jangka waktu enam bulan.
Di Bataan Mac Arthur yang lalumembangun markas daruratdi Corregidor masih berharap akan datang bantuan dari Washington.
Corregidor yang berjarak hanya 2 mil dari Bataan merupakan markas pertahanan pantai yang dipertahankan oleh 11.000 pasukan marinir.
Mereka disiapkan untuk menghadang pasukan musuh yang menyerang Manila Bay. MacArthur yang saat itu menyingkir bersama Presiden Manuel Quezon menyadari betul bahwa pasukan Sekutu tak bisa bertahan lebih lama lagi.
Tapi MacArthur terus mengobarkan semangat bertempur dan memerintahkan agar pasukan Sekutu jangan sampai menyerah kalah.
(Baca juga:Iklan Misterius Jelang Serangan Jepang ke Pearl Harbour Ini Masih Menjadi Teka-teki hingga Kini)
Pertahanan yang cukup kuat pun, War Plane Oranye 3 pun kemudian berhasil dibangun di Bataan dan Corregidor.
Pertahanan di bangun di front barat dipimpin oleh Mayor Jenderal Jonathan M Wainright dan selatan dipimpin oleh Mayor Jenderal George M Parker.
Kedua basis pertahanan terakhir Sekutu di Filipina itu harus dipertahankan sampai titik darah terkahir.
Perintah MacArthur membuat pasukan Sekutu bertempur habis-habisan dan mengakibatkan puluhan ribu pasukan tewas di pihak Sekutu maupun Jepang.
Pasukan Jepang yang berusaha keras untuk menguasai Bataan dan Corregidor pada serbuan pertama bahkan sempat tertahan oleh pertahanan pasukan MacArthur dan mengalami kerugian besar.
Sementara, kondisi Bataan yang masih merupakan hutan tropis perawan membuat ribuan pasukan Sekutu terkena berbagai penyakit seperti malaria, beri-beri, desentri, dan lain-lain.
Apalagi selain 80 ribu tentara yang kekurangan logistik Bataan juga dipenuhi oleh sebanyak 26 ribu pengungsi.
Tapi dengan persenjataan yang masih dimiliki pasukan AS dan Filipina terus saling bahu membahu memberikan perlawanan.
Sejumlah serangan udara yang dilaksanakan oleh sisa-sisa armada B-17 bahkan berhasil merusakkan dua kapal transport, satu penjelajah, satu destroyer, dan menenggelamkan satu kapal penyapu ranjau Jepang.
Tapi perlawanan pasukan Sekutu tetap tak mampu membendung serbuan gencar pasukan Jepang.Sebelum Bataan jatuh MacArthur sempat memerintahkan pasukannay untuk bergerak ke Corregidor.
Tapi hanya sekitar 300 pasukan yang berhasil lolos, menyusul MacArthur yang terlibih dahulu menyingkir ke Corregidor.
Posisi MacArthur pun makin terancam Atas perintah Presiden Roosevelt, pada tanggal 11 Maret, MacArthur yang tetap memberikan perintah agar tak menyerah kepada pasukan Jepang akhirnya meninggalkan markasnya menuju Mindanau dan kemudian terbang ke Australia.
Sebelum berangkat, MacArthur mengucapkan janji ‘’I Shall Return’’ yang kemudian menjadi pepatah yang sangat terkenal. Sampai di Australia, MacArthur tetap memerintah agar pasukan Sekutu melancarkan perang gerilya.
Sepeninggalan MacArthur pasukan Jepang terus membombardir Bataan dan Corregidor.Upaya Jepang untuk merebut Bataan dan Corregidor tetap mendapat perlawanan sengit pasukan Sekutu sehingga menimbulkan kerugian besar bagi pasukan Jenderal Homma.
Sengit dan brutalnya pertempuran kerap terjadi ketika berlangsung pertempuran satu lawan satu.Seperti pasukan Sekutu, tentara Jepang juga mengalami hambatan alam dan ribuan di antaranya menderita sakit.
Akibat perlawanan heroik pasukan Sekutu dan sebagian tewas karena penyakit, dari 20.500 pasukan yang dikerahkan Jenderal Homma lebih dari 2.500 pasukan tewas. .
Jepang yang terus menggempur pasukan Sekutu yang makin terpojok akhirnya memenangkan pertempuan meskipun harus mengorbankan puluhan ribu pasukan tewas.
(Baca juga:Saburo Sakai, Malaikat Pencabut Nyawa Para Pilot Tempur Sekutu)
Jumlah total korban selama invasi Jepang ke Filipina di pihak AS dan Filipina lebih dari 140 ribu pasukan.
Sebanyak 30.000 korban dari pasukan AS dan 110 ribu dari pasukan Filipina. Sedangkan korban jiwa di pihak Jepang sebanyak 12.000 prajurit tewas.
Gambaran banyaknya korban yang jatuh akibat pasukan yang terpojok terus digempur memang luar biasa.
Jika Nazi Jerman terus menggempur pasukan Inggris yang terpojok di Dunkrik bisa dipastikan bahwa korban jiwa yang jatuh di pihak pasukan Gabungan Inggris akan mencapai ratusan ribu jiwa pula.
((Foto) Kisah Memilukan dari Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Everest)