Intisari-Online.com -Ketika tengah terlibat dalam konfrontasi militer dengan Malaysia (1961-1966), selain melancarkan operasi penyusupan lewa perbatasan yang berada di darat, militer Indonesia juga melancarkan operasi rahasia lewat laut.
Tujuan operasi penyusupan yang dilakukan oleh Pasukan Katak (Kopaska) dan Marinir (KKO) itu berupa operasi intelijen, provokasi, dan sabotase.
Salah satu misi operasi sabotase yang berhasil adalah yang dilakukan oleh Sersan Dua KKO Djanatin, Kopral Satu KKO Tohir, dan rekan-rekannya yang bertugas sebagai operator perahu, Gani bin Aroep.
Untuk mengamankan jalannya operasi itu, mereka membuat nama samaran sesuai dengan nama warga setempat.
Djanatin memakai nama samaran Usman bin Haji Muhammad Ali dan Tohir memakai nama Harun bin Said.
Sasaran utama misi rahasia itu adalah melakukan sabotase di pusat kota Singapura dengan berbekal bahan peledak seberat 12,5 kg.
Target yang harus diledakkan adalah gedung McDonald House yang berada di pusat keramaian kota.
Karena ketatnya penjagaan di perairan Singapura, ketiga infiltran itu menyamar sebagai pemasok barang dagangan ke Malaysia dan Singapura.
Ketika sedang menyamar sebagai pedagang itulah mereka mempelajari sasaran yang harus diserang termasuk rute bagaimana harus melahirkan diri.
Setelah merasa yakin dengan semua rencana yang sudah dimatangkan ketiga infiltran itu pun siap melancarkan serangan sabotase.
Saat menjelang fajar menyingsing tanggal 9 Maret 1965 ketiga infiltran itu berhasil mendarat di pantai Singapura dan menyusup masuk ke pusat kota Singapura.
Gedung McDonald yang menjadi sasaran sabotase berhasil diledakkan pada pukul 03.07 waktu setempat.
Saat kembali menuju perahu karet yang ditempatkan di lokasi tersembunyi mereka sengaja berpisahdengan Gani bi Aroep.
Taktik memisahkan diri itu bertujuan untuk menghindarkan kecurigaan aparat kepolisian yang telah melanccarkan operasi pencarian secara besar-besaran.
Djanatin dan Tohir berhasil mencapai pantai dan selanjutnya melarikan diri menggunakan perahu motor rampasan.
Tapi pelarian yang berlangsung pada 13 Maret 1965 itu mengalami kendala karena secara tiba-tiba mesin perahu mati.
Tak lama kemudian polisi perairan Singapura berhasil menemukan dan menangkap keduanya.
Usman dan Harun, oleh Singapura, dianggap sebagai pelaku terorisme dan bukan tawanan perang karena ketika sedang melancarkan misinya tidak mengenakan seragam serta identitas militer.
Setelah diadili kedua infiltran yang bertempur demi tugas negara itu akhirnhya dijatuhi hukuam mati. Langkap diplomatic untuk membebaskan keduanya pun diupayakan secara serius oleh Pemerintah RI.
Tujuannya agar hukuman mati minimal berbuah jadi hukuman seumur hidup. Tapi upaya diplomatic itu ternyata gagal.
(Baca juga:Seseorang yang Harus Dua Kali Dihukum Gantung)
Tiga tahun kemudian, persisnya pada Kamis 17 Oktober pukul 06.00 waktu setempat, Usman dan Harus dihukum dengan cara digantung.
Karena keduanya bertugas membela negara, saat jenazahnya dipulangkan ke Indonesia mereka mendapatkan penghormatan sebagai pahlawan dan diberikan penghargaan tertinggi Bintang Sakit serta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibatan, Jakarta Selatan.