Intisari-Online.com – Pertarungan antara kekuatan baik dan jahat tak pernah henti.
Demikian juga di alam persantetan. Munculnya kekuatan jahat diimbangi oleh kekuatan baik para penyembuh.
(Baca juga:Isu Dukun Santet Kembali Memakan Korban, Kali Ini Menimpa Seorang Nelayan di Madura)
Berbarengan dengan itu tercipta sarana-sarana penangkal santet, wujudnya bisa fisik maupun nonfisik. Seperti netralisator, cermin, kertas isi rapalan, ataupun pembukaan cakra tubuh.
Tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba Agus (43) merasa tangannya sakit luar biasa.
"Seperti tersengat aliran listrik," akunya. Jika lagi kambuh, wiraswastawan muda ini mengerang-erang menahan sakit.
Selama dua minggu, terasa ada yang mengganjal di tangan kanannya. Namun ia tidak tahu apa penyebabnya dan mengapa hal itu bisa terjadi.
Yang jelas kondisi tangannya semakin parah, apalagi kalau digerakan.
Tak tahu harus berbuat apa, lelaki asal Semarang ini akhirnya minta bantuan "orang pintar". Dari hasil "diagnosis" diketahui ada "sesuatu" di dalam tubuhnya yang membuat tangannya sukar digerakkan.
Dengan menggunakan telur angsa dan uba rampe-nya, orang pintar tadi mencoba mengeluarkan "sesuatu" tersebut.
Sesudah telur dan uba rampe itu ditanam selama tujuh hari, dari dalamnya keluar pernak-pernik yang tidak lazim.
Jarum, parfum, ani-ani, kaca, uang koin, dan kulit harimau. Berbarengan dengan itu sedikit demi sedikit rasa ngilu yang mendera tangannya berkurang. Aneh bin ajaib, tiga hari kemudian rasa sakit pun lenyap.
Pengalaman agak berbeda dialami Ade (nama samaran) asal Cirebon. Suatu ketika ia menderita penyakit misterius. Tak satu pun dokter yang mampu mengobatinya.
Ketika berkonsultasi dengan seorang penyembuh, ia disarankan untuk mandi di bak air yang sebelumnya diisi ikan emas. Kendati tak begitu paham, ia melakukan saja anjuran itu.
Lagi-lagi terjadi keanehan. Setiap kali bak mandi itu diberi ikan emas, 2 - 3 jam kemudian ikan segar itu langsung mati.
Kejadian ini berulang-ulang, sampai akhirnya untuk kesekian kalinya ikan emas yang dimasukkan ke dalam bak tidak lagi mati.
Ketika kemudian air bak itu digunakan untuk mandi, keluhan sakitnya lantas lenyap.
Cerita di atas bukan isapan jempol lantaran dituturkari sendiri oleh si orang pintar dan penyembuh dalam cerita itu. Keduanya adalah Ibu Iin Sp, paranormal asal Bekasi dan Romo Lukman Handoyo, rohaniwan yang menggeluti dunia paranormal dengan caranya sendiri.
(Baca juga:Bukan Sulap Bukan Sihir, Ditemukan Telur Ayam Mini dalam Telur Ayam Raksasa)
Induksi negatif
Kendati tampaknya tak masuk akal, kejadian macam itu masih sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Bentuknya bisa macam-macam.
Tetapi umumnya bertujuan untuk mencelakakan orang lain dengan cara tidak wajar. Oleh sementara kalangan, fenomena ini disebut santet.
Secara lebih jelas, Iin menyebut santet sebagai benda yang dikirim seseorang untuk mencelakakan orang lain. Tujuannya untuk membuat orang menderita, sakit, bahkan meninggal dunia.
Namun, Drs. IGK. Putra Wirawan, terapis dan penyembuh dengan kekuatan prana "Prana Murti" punya pandangan sedikit lain.
Menurut pria yang bertutur kata lembut ini santet adalah suatu usaha atau perbuatan mempengaruhi atau mengganggu orang lain dengan tujuan tidak baik, menggunakan benda nyata atau kekuatan yang tidak kelihatan.
Lain lagi dengan Romo Lukman. Menurutnya, santet tak lebih dari induksi negatif yang ditujukan untuk mencelakakan orang lain. Atau energi alam yang dipermainkan secara tidak wajar.
Pangkal tumbuh kembangnya santet umumnya rasa sakit hati; yang entah disadari ataupun tidak, menjadi bagian dari relasi antar-manusia. Misalnya, orang sudah berbuat baik, tetapi bisa saja di mata orang lain perbuatan itu diartikan lain.
Ketika kemudian muncul kebencian yang tidak bisa diselesaikan melalui cara-cara baik, orang bisa saja berpaling ke santet.
Sudah pasti cara ini menyimpang. Oleh karena itu bentuk-bentuk penyantetan pun menjadi tak lumrah. Misalnya dengan mengirimkan sesuatu dengan cara mengendalikan dari jarak jauh.
Wujudnya bisa jarum, ani-ani, silet, gabah, kaca, rambut. “Kalau dikirim silet badan terasa tersayat-sayat, sedang rambut akan membuat mual,” papar Iin.
Dalam proses pengiriman itu, umumnya si penyantet mempelajari lebih dulu kelemahan-kelemahan calon korban. Pelaksanaan tindak ini pun bermacam-macam waktunya.
Mungkin saat hari kematian orang tua atau saudara dekat, bisa juga saat korban dilanda perasaan galau. Romo Lukman melihat malam hari adalah situasi rawan buat korban santet.
Alasannya, pada saat itu orang menjadi kurang aktif sementara di alam terjadi perubahan magnetik yang membuat gelombang santet bisa berjalan dengan mudah.
Yang profesional pun masih dibagi dua lagi. Pertama, bisa langsung menyantet dengan kekuatan batin.
Kedua, baru bisa menyantet dengan menggunakan sarana. Misalnya minyak, silet, jarum, paku, kawat, benang, kayu peti mati, bunga orang mati, dll.
Menurut Putra Wirawan, benda-benda yang dikirim dengan "bantuan makhluk halus itu mengalami proses dematerialisasi (perubahan bentuk).
"Pada saat dipegang oleh si penyantet, benda-benda yang akan dikirim itu masih berujud nyata, tetapi dalam perjalanan menuju sasaran menjadi tak kasat rnata. Setelah sampai sasaran benda itu kembali seperti sediakala," jelas Putra.
(Baca juga:Pohon Sakti Dewadaru: Banyak Peminat, Namun Jarang Ada yang Berani Membawanya Keluar Karimunjawa)
Sedang dalam kelompok penyantet yang tidak profesional biasanya diperlukan orang lain untuk "menanam" sarana santet diam-diam. Jika tidak sempat "ditanam", maka cukup dilemparkan saja ke halaman rumah calon korban.
Lukman melihat proses penyantetan bukanlah sesuatu yang "gelap" dan mistis. "Itu ilmiah, bisa dilogikakan, semacam proses elektrodinamika," katanya. Manusia tertentu, katanya, punya potensi mengubah materi menjadi energi.
Dengan kemampuan tertentu pula energi itu dikirimkan ke tubuh korban lewat proses elektrodinamika. Karena pada dasarnya tubuh manusia mengandung muatan-muatan listrik, korban akan tidak kuat menahan kiriman energi yang mengenai tubuhnya. Oleh karena itulah korban lalu menjadi sakit.
(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1998 dan ditulis oleh G. Sujayanto/I Gede Agung Yudana)