Advertorial

Berita Hoax Sepanjang Masa: Dari Raja Idrus ke Raja Komputer

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Media yang memulai menyebarkan berita-berita sanjungan, tapi kemudian media pula yang menjatuhkan melalui beritanya.
Media yang memulai menyebarkan berita-berita sanjungan, tapi kemudian media pula yang menjatuhkan melalui beritanya.

Intisari-Online.com – Pada tahun-tahun lima puluhan saya pernah asyik sekali membaca koran gara-gara ada berita tentang raja suku terasing yang baru saja keluar dari keterasingannya.

Permaisurinya selalu berkacamata hitam dan bernama Markonah. Yang Mulia ltu sendiri bernama Idrus, sehingga la disebut Raja Idrus.

Ramailah koran dan majalah mewawancarainya, antara lain tentang kehidupan sukunya, termasuk pola makannya, yang menurut ceritanya, kalau tidak salah mencakup ular dan biawak.

Ke mana-mana ia bersama ratunya dielu-elukan, termasuk oleh murid-murid sekolah yang diwajibkan oleh orang yang berkuasa untuk menjadi pagar ayu. Dari Jakarta melalui Pekalongan mereka pergi ke Yogyakarta.

Baca Juga : Aksi Porter Menunduk di Samping Kereta yang Menyentuh Viral di Media Sosial, Ini Kata PT KAI

Orang pun terkagum-kagum, karena walaupun suku terasing tidak banyak bergaul dengan masyarakat, ternyata telah berhasil menamakan raja dan ratunya dengan nama-nama yang sudah lazim didengar di Nusantara.

Namun tiba-tiba saja, setelah media massa menyanjung-nyanjungnya, media massa pula yang membongkar kepalsuan Raja Idrus dan Ratu Markonah. Maka tersiraplah wajah banyak sekali pembesar daerah yang pernah lkut mengelu-elukan Raja Idrus dan Markonahnya, yang ternyata dipungutnya dari pinggir jalan.

Baji ajaib dan kotak ajaib

Pada pertengahan tahun enam puluhan, ketika orang muda sedang giat-giatnya turun ke jalan, kembali lagi media massa menampilkan suatu sensasi. Ada bayi ajaib atau malah janin ajaib, yang dari kandungan ibunya, Tjut Sahara Fonna, dapat berbicara dengan sang ibu.

Baca Juga : Augie Fantinus Ditahan Setelah Sebar Video 'Calo Polisi': Ini 5 Tips Jadi Pengguna Media Sosial yang Cerdas

Maka jadi tenarlah bayi yang belum jadi itu di dalam media massa. Sang ibu berkat keajaiban bayinya, menerima perlakuan istimewa dari berbagai pihak.

Namun, setelah itu media massa juga yang memaparkan kepalsuan bayi ajaib itu.

Orang Indonesia, termasuk nyamuk persnya pada waktu itu, belum pernah melihat perekam suara yang berukuran mini dan dapat disembunyikan dalam stagen berukuran makro.

Karena itu janin disangka dapat berbicara. Tersipu-sipu lagi orang dibuatnya.

Baca Juga : Percayalah, Pasangan yang Suka Pamer Kemesraan di Media Sosial Bukanlah Pasangan yang Benar-benar Bahagia

Selang beberapa tahun kemudian, pada awal tahun tujuh puluhan masyarakat pertanian digegerkan oleh adanya kotak ajaib yang apabila ditanamkan pada lahan yang gersang akan mengubah lahan itu menjadi hijau royo-royo.

Media massa di Indonesia membantu kotak ajaib itu menjadi populer dan banyak orang mengira alat itulah jalan pintas ke-swasembada pangan.

Sebenarnya mengenai kotak ajaib Belanda itu Majalah Mingguan PANORAMA di Negeri Belanda sudah memuatnya sebagai berita sensasi pada tahun 1953. Imbasnya baru terasa dua puluh tahun kemudian di Indonesia.

Tidak kurang dari LIPI kena getahnya dan harus membuat penelitian ilmiah mengenai keampuhan kotak ajaib itu.

Baca Juga : Terpilih Menjadi Bintang Media Sosial Paling Populer di Irak, Wanita Cantik Ini Malah Ditembak Mati

Yang menjadi masalah ialah bahwa pembuat kotak itu membuat klaim bahwa keampuhan kotak ajaib itu akan hilang segera setelah kotak itu mengalami pembongkaran. Akhirnya yang ajaib dari kotak itu ialah hilangrrya perhatian masyarakat terhadapnya tanpa ingin mengambil hikmah dari keanehannya.

Akal bulus

Tahun yang lalu ada dermawan yang dapat menyediakan uang berlimpah-limpah kepada rekanannya dengan suatu sistem penyetoran saham yang tampaknya sangat menguntungkan.

Banyak orang yang percaya dan termakan akal bulusnya, walaupun dari segi perhitungan ekonomi, dermawan itu pasti tidak akan dapat menepati janjinya mengobral pasfoto pahlawan Nasional Raden Ajeng Kartini dan Teuku Umar.

Baca Juga : Cerita Dari Gunung Kemukus: Kisah Warga Sekitar yang Masih Was-was dengan Kedatangan Media, Ini Alasannya

Media massa juga yang membantu membuat dermawan itu menjadi tokoh ternama. Namun, setelah banyak orang terperangkap, media massa lagi yang membuyarkan pamor dermawan yang sebenarnya mengutip derma itu.

Sekarang, pada awal tahun 1989 ini, kembali ada suatu kejutan yang dibuat oleh media massa. Orang itu disanjung-sanjung sebagai pakar komputer yang dermawan. Riwayat hidupnya dimunculkan di berbagai majalah.

la pun dianggap sebagai usahawan berhasil yang ber-IQ sangat tinggi. Tetapi setelah ternyata ia ditahan karena tuduhan memalsukan dokumen, satu penerbitan media massa saja sudah cukup untuk menjatuhkan dia di mata masyarakat, menjadi tidak lebih dari seorang petualang.

Namun, ulahnya yang disebarluaskan oleh media massa sekali lagi minta kurban, karena ada lagi yang terpaksa tersipu-sipu akibat terjebak.

Baca Juga : Komedian Tunggal Mudy Taylor Ditangkap Polisi Terkait Narkoba dengan Barang Bukti Sabu

Iklan kedermawanannya yang terakhir saya lihat adalah kain pancang di atap rumahnya, yang menawarkan komputer gratis kepada setiap peserta kursusnya.

Memang suatu tawaran yang sangat menarik, tetapi kalau kita tahu bahwa untuk mengikuti kursus yang biasa-biasa saja peserta kursus harus membayar lebih dari Rp 3 juta kepadanya, kiranya tidak mahal untuk menghadiahkan komputer "gratis" yang harganya sekitar Rp 1,3 juta setelah peserta kursus itu memakainya dalam kursus untuk mengikuti latihan.

Dengan cara itu sang dermawan selalu saja bisa menyediakan komputer baru dalam setiap kelasnya, setiap kali ia membuka kelas yang baru.

Hampir terjebak

Baca Juga : Viral di Media Sosial, Dosen Diduga Minta Uang Rp2.000 kepada Mahasiswanya!

Saya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena terhindar dari jebakannya. Satu kali saya diminta dermawan itu untuk menjadi pemandu dalam seminar yang diadakannya di suatu hotel mewah di Jakarta.

Hampir saya tertarik karena pokok bahasannya memang asyik, yaitu penggunaan komputer untuk mempelajari Al-Qur'an. Untung naluri saya bekerja dan saya mengelak.

Kedua kalinya permintaan yang sama disampaikannya melalui pimpinan kursusnya di Bogor. Sekali itu untuk bersama-sama mengadakan perbincangan ke berbagai pesantren yang terkenal. Ketika itu pun naluri saya bekerja.

Andaikata naluri saya bekerja kurang cermat, pasti akan ada foto saya yang sedang memandu seminar yang disampaikan olehnya di hotel berbintang lebih dari satu. Foto itu tidak mustahil akan dimuat dalam artikel yang membahas petualangannya untuk membuktikan betapa lihainya ia menjebak banyak orang agar percaya kepadanya.

Baca Juga : Tidak Boleh Sembarangan, Beginilah Aturan Polwan dalam Menggunakan Media Sosial

Ada persamaannya

Kalau kita coba membandingkan kembali kelima peristiwa sensasi yang muncul di media massa dalam tengang waktu selama 23 tahun itu kita lihat ada beberapa persamaan. Masyarakat mudah sekali termakan sensasi apabila media massa memberitakannya dengan gencar.

Sensasi itu menyangkut hal yang banyak kaitannya dengan keajaiban. Raja Idrus dan ratunya ajaib karena sebagai anggota suku terasing mereka bernama dan berbahasa Indonesia biasa, tetapi konon mereka makan ular dan daging mentah.

Tjut Sahara Fonna ajaib karena janinnya mampu berbicara, sehingga dapat dijadikan pertanda zaman. Kotak Ajaib memang ajaib karena mampu mengubah padang pasir yang tandus menjadi lahan pertanian yang hijau royo-royo.

Baca Juga : Charlie Chaplin Si Komedian Sukses Itu Ternyata Jadi 'Monster' Mengerikan Bagi Para Wanita di Bawah Umur

Mas Ongko ajaib karena dapat menjadi dermawan, walaupun sebenarnya ia yang memungut derma. Kotak ajaib karena keampuhannya dimunculkan sebagai postulat yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya atau ketidakbenarannya sebab begitu dilakukan apa-apa terhadap kotak itu, penciptanya mengklaim bahwa keampuhannya langsung hilang.

Bagaimana halnya dengan Raja Komputer kita? Dia sama-sama raja seperti Raja Idrus dan sebagian amsalnya yang berbunyi We are not the first but the best memang benar. Ia bukan keajaiban yang pertama, karena prioritas keajaiban ada pada Raja Idrus.

Keajaiban kedua ialah Tjut Sahara Fonna yang gerak dan langkahnya ditunjang teknologi baru berupa perekam suara elektronik yang masih langka di Indonesia pada tahun enam puluhan.

Yang ketiga ialah pencipta kotak ajaib yang merancang keajaiban kotaknya berdasarkan suatu paradoks. Yang keempat ialah Mas Ongko. Ia ditunjang oleh teknologi pinjam-meminjam uang dalam skala besar yang masih asing di kalangan masyarakat.

Baca Juga : Sampaikan Ucapan Terimakasih, Media China Ini Sebenarnya Mengolok-oloknya Donald Trump

Raja Komputer kita memang tidak dapat mengklaim bahwa ia keajaiban yang pertama. Ia hanya keajaiban yang kelima. Keajaibannya juga ditunjang oleh teknologi baru yang dinamakan komputer.

Kesamaan yang dimilikinya dengan Mas Ongko hanyalah mengenai nama pertamanya yang sama-sama dipinjam dari Nabi yang sama. Hanya saja dari semuanya itu ia bukan yang terbaik, melainkan yang terburuk karena anak miskin pun dipermainkannya.

Kalau kita menggunakan istilah sendiri, He is not the first, but the worst (la bukan yang pertama, tetapi yang terburuk).

Anda pilih yang mana?

Sekarang kita tinggal berjaga-jaga saja. Kita punya dua pilihan. Pilihan pertama ialah bertanya-tanya kapan akan muncul keajaiban yang keenam. Pilihan kedua ialah bertekad agar di Indonesia jangan ada lagi keajaiban yang keenam, yang membuat orang akhirnya tersipu-sipu lagi.

Baca Juga : Hati-hati Dalam Gunakan Media Sosial! Wanita Ini Gagal Magang di NASA Karena Mengumpat di Twitter

Kalau pilihan pertama yang kita inginkan, mudah-mudahan dalam waktu yang dekat kita dapat mencatat dalam Guinness Book of World Records sebagai bangsa yang paling sering mengalami keajaiban, karena itu pun seperti halnya karangan bunga terbesar, kue terbesar, dan kemampuan berdiri tegak seperti tonggak yang terlama dapat dianggap suatu prestasi yang mengagumkan.

Kalau pilihan kedua yang kita dambakan, marilah kita, baik media massa maupun masyarakat, bergandengan tangan menjalin kerja sama mendidik diri kita untuk bersifat kritis dan tidak mudah terjebak oleh berbagai macam "keajaiban". (Ditulis oleh Andi Hakim Nasoetion, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1989)

Baca Juga : Lagi, Media Sosial Berhasil Bantu Memecahkan Misteri Pemain Ski yang Hilang 60 Tahun Lalu

Artikel Terkait