Advertorial
Intisari-Online.com – Kelebihan jam terbang pilot, penggajian yang terlambat, juga fatigue, bisa diminimalkan bahkan boleh jadi tak terjadi lagi, jika operator mengaplikasikan software yang terintegrasi dengan benar dan dioperasikan secara optimal.
Ada beberapa kelemahan yang signifikan dalam mengimplementasikan peraturan keselamatan penerbangan di Indonesia. Contoh dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation), belum semua implementasinya detail.
Boleh jadi untuk kelaikan (airworthiness) pesawat udara sudah clear atau jelas. Namun untuk operasional masih banyak yang perlu dibenahi.
Begitu kata Capt Anaziaz Zikir atau Azzy, pilot Indonesia yang saat ini menjadi bagian dari GACC (General Civil Aviation Authority) Uni Emirate Arab.
Baca Juga : Inilah 'Permintaan Terakhir' Pilot Pesawat Lion Air JT 160, Sebelum Dinyatakan Hilang dan Lost Contact
Ia mencontohkan tentang implementasi aturan Flight Time Limitations (FTL) yang dinilainya masih belum optimal. Belum lagi soal fatigue (kelelahan), yang aturannya belum jelas. Padahal fatigue ini laten, yang bahayanya tidak bisa dinilai.
“Kalau kita hanya lihat jam tidur dan jam bangun (pilot), itu baru satu komponen dari fatigue itu. Fatigue itu kita nggak tahu, tiba-tiba hilang; di luar kesadaran. Itu yang menurut regulasi, fatigue harus ada scientific research,” tutur Azzy.
Di Emirates, untuk meriset fatigue itu, pilot diberi fatigue watch. Jam tangan ini untuk memantau kondisi pilot selama 24 jam, seperti denyut nadi dan tekanan darahnya.
Dengan demikian, para pilot bisa terpantau kondisi kesehatannya, termasuk kelelahan yang seringkali tidak bisa terdeteksi hanya dari tampak luar. Salah satu upaya untuk mencegahnya, harus diberlakukan sisten day off yang mengacu pada standar internasional. Contoh di Eropa, dalam 28 hari kerja ada day off delapan hari.
Maskapai penerbanganmaskapai penerbangan yang sudah mapan dan besar sudah mencapai tahap tersebut. Untuk itu, mereka menggunakan sistem operasi penerbangan dalam suatu software yang terintegrasi dengan regulasi yang benar dan diaplikasikan secara optimum.
Bagaimana di Indonesia? Kemungkinan besar memang sudah menggunakan software tersebut, tapi barangkali belum efektif, efisien, optimum, juga terintegrasi dengan benar.
Menurut Azzy, Garuda Indonesia memiliki software yang sudah cukup baik. Namun, katanya, ia pernah menyarankan untuk menggunakan software yang terintegrasi dengan benar dan menyeluruh.
“Butuh waktu satu-dua tahun agar software itu menjadi matang untuk digunakan. Jadi, kalau mau pakai suatu software harus diputuskan di manajemen tertinggi dan selama berapa tahun diusahakan jangan diubah,” ujar Azzy.
Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Begini Cara Pilih Tempat Duduk Paling Aman di Pesawat
Tidak murah
Memang tidak murah software untuk membuat sistem skedul yang di dalamnya ada regulasinya itu. Kisaran harganya 150.000-200.000 dolar AS. Setelah dibeli, agar penggunaannya optimal perlu dilakukan pelatihan bagi mereka yang akan mengoperasikannya.
Boleh jadi, penggunaannya yang tidak optimum karena operator hanya membeli software tanpa membeli pelatihannya. “Kalau beli software itu memang harus seakarakarnya dan cari orang yang benar-benar paham,” saran Azzy.
Dia mencontohkan, untuk perencanaan penjadwalan sekitar 3.000 pilot untuk 30 hari ke depan, membutuhkan waktu tiga hari.
“Software ini kerja tiga hari. Kita bilang proses, puter tuh (software), mengelola yang izin, yang cuti, yang sakit, ketersediaan pesawat dan pilot juga awak kabin. Misalnya, satu jam di-run selesai, tapi masih banyak ‘merah’; error. Artinya, masih ada yang kelebihan jam terbang, pilot ini tak boleh berpasangan dengan pilot itu, dan lain-lain. Diolah lagi dan lagi. Itu fine tune-nya butuh tiga hari.”
Baca Juga : Pesawat Lion Air JT 610 yang Jatuh Gunakan Boeing 737 MAX 8 Terbaru, Apa Keistimewannya?
Lion Air Group sekarang ini menggunakan sistem penjadwalan kru pesawatnya menggunakan Geneva Crew Scheduling System. “Nanti akan diganti menjadi Cyber (Cyber Jet Airline solutions), “ ujar Andy M Saladin, Manajer Public Relations Lion Air Group.
Begitu juga dengan Citilink Indonesia, yang menggunakan software Geneva itu.
“Software itu digunakan karena cocok untuk maskapai penerbangan yang berkonsep LCC (low cost carrier) karena lebih simpel,” ujar Hadinoto Soedigno, Direktur Operasi Citilink Indonesia.
Untuk operator sebesar Lion Air, termasuk Batik Air dan Wings Air, juga Citilink yang berkonsep LCC, pengoperasi software yang terintegrasi dengan benar dan digunakan optimum, mutlak diperlukan.
Baca Juga : Lion Air JT610 Jatuh, Pertamina Nyatakan Lokasi Jatuhnya Pesawat Ada di Sekitar Fasilitas Pertamina
Apalagi jika penerbangannya semakin berkembang, yang pasti memerlukan teknologi yang terus-menerus harus disesuaikan dengan kebutuhannya.
Software tersebut juga memiliki modul-modul, seperti modul user (pengguna) dan modul destinasi. Untuk pengguna atau orang itu bisa dibagi-bagi lagi menjadi untuk pilot, awak kabin, karyawan, dan penumpang.
Sementara modul destinasi bisa ditambahkan dengan komponen spesifi kasi bandara-bandara yang menjadi destinasi penerbangannya.
Azzy pun mengatakan, “Tidak make sense kalau Anda punya 20 pesawat tapi nggak punya scheduling system; tak masuk akal.”
Jika seluruh operator penerbangan nasional sudah memiliki soft ware yang benar, para inspektur dapat melakukan pekerjaannya dengan efektif, efisien, dan optimum juga. Datang ke operator, ia cukup menanyakan software yang digunakannya dan melakukan pengawasan dengan cermat dan tepat melalui kinerja software tersebut.
Baca Juga : Lion Air JT-610 Hilang Kontak, Kesaksian Masyarakat Ungkap Posisi Terakhir Pesawat di Kepulauan Seribu
“Dari data itu, kita pun bisa cocokkan dengan tag log perawatan pesawat,” ucapnya.
Software yang terintegrasi itu bisa menangani perencanaan, penjadwalan, logbook untuk pilot dan awak kabin, plus data penumpang.
Bahkan bisa pula digunakan untuk, antara lain, sistem pelaporan jam terbang, penggajian, juga bisa dikombinasikan antara inspektur operasi penerbangan (fl ight operation) dengan inspektur kelaikan udara (airworthiness).
Sejalan dengan fungsinya yang menjadi lebih kompleks, petugas operasional software itu harus orang yang sudah terlatih.
Dengan software yang terintegrasi dan dioperasikan dengan benar, boleh jadi tak ada lagi kelebihan jam terbang pilot, ada pemerataan jam terbang setiap pilot, bahkan bisa terdeteksi hal-hal yang tidak sesuai regulasi lainnya.
Dengan demikian, ada pencegahan untuk terjadinya hal-hal yang tidak dinginkan, seperti insiden dan kecelakaan, yang sekarang ini kerap terjadi.
(Ditulis oleh Reni Rohmawati, seperti pernah dimuat di Majalah ANGKASA edisi Juli 2015)