Intisari-Online.com – Kisah terbunuhnya Brigjen A.W.S. Mallaby dalam Pertempuran Surabaya, 30 Oktober 1945, sering kita baca setiap menyambut Hari Pahlawan 10 November.
Namun, bagaimana kisah tewasnya Mallaby menurut versi Inggris?
J.G.A. Parrott pernah menulis makalah Who Killed Brigadier Mallaby? tahun 1975. Ia merekonstruksi dana menganalisis peristiwa tersebut, terutama dari surat kesaksian dua perwira Inggris: Kapten R.C. Smith dan Mayor K. Venu Gopal, yang terlibat langsung dalam peristiwa itu.
Sumber tersebut dikaji dengan keterangan kesaksian Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, Mohammad dan T.D. Kundan dari pihak Indonesia, yang dimuat dalam artikel bersambung Dr. Roeslan Abdulgani di Harian Surabaya Post, Oktober dan November 1973.
Baca Juga : Pertempuran Surabaya: Pemenang Perang Dunia ke-2 pun Tak Bisa Kalahkan Indonesia
Di sini saya ingin menyajikan kisah kesaksian perwira Inggris tersebut serta ulasan Parrott dan saya sendiri. Sejauh mana kisah itu cocok dengan kesaksian pihak Indonesia?
Sebagai salah satu sumber, saya mewawancarai Doel Arnowo (1973), H.R. Mohammad (1988) dan Dr. Roeslan Abdulgani (1988).
Pada tanggal 25 Oktober 1945 pasukan Inggris Brigade 49 dari Divisi India ke-23 mendarat di Surabaya.
Brigade yang dipimpin Brigjen Mallaby mengemban tugas tentara Sekutu untuk mengurus orang Sekutu yang ditawan Jepang dan melucuti serta mengembalikan tentara Jepang ke negerinya.
Ketika pasukan itu tiba, rakyat Surabaya sedang bergelora semangat kebangsaannya serta sedang dimabuk kemenangan atas keberhasilan mereka melucuti senjata tentara Jepang. Ribuan pucuk senjata mereka rampas: senjata ringan, senjata berat sampai mobil panser dan tank.
Sejak itu di luar kesatuan resmi Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang nantinya menjelma menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), terbentuklah pula secara spontan berbagai kesatuan pemuda bersenjata, seperti Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Hisbullah, BKR Pelajar dan sebagainya.
Pemerintah pusat RI di Jakarta yang sedang menempuh garis politik luar negeri mencari simpati dan pengakuan dunia internasional, berpesan pada pemerintah daerah di Surabaya, agar membuka tangan menerima kedatangan pasukan Sekutu tersebut.
Namun, rakyat Surabaya yang melihat adanya unsur NICA (embrio pemerintah kolonial Belanda) dalam kesatuan Inggris itu, mencurigai pasukan Inggris sebagai pembantu Belanda mengembalikan penjajahan baru di Indonesia.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR