Advertorial
Intisari-Online.com -Memasuki akhir tahun seperti ini, penetapan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tetap masih saja menuai polemik. Padahal, sejak dua tahun lalu Pemerintah sudah menetapkan aturan kenaikan UMP menggunakan formula yang didasarkan pada hitung-hitungan makro ekonomi.
Adapun belaid yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Sesuai pasal 44 ayat 1 dan ayat 2 aturan tersebut, penetapan upah minium setiap tahunnya ialah hasil penambahan upah minimum tahun berjalan dikalikan tingkat inflasi plus pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejak terbitnya aturan ini, penetapan UMP memang berbeda. Hal ini tidak lepas dari aturan teknis yang ada di bawahnya. Sebelum adanya kebijakan ini, dalam menetapkan UMP, dewan pengupahan yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, dan pihak netral dari akademisi akan melakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL).
KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan satu bulan.
Sejak diluncurkannya Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan upah minimum seperti yang diatur dalam pasal 88 ayat 4.
Pembahasan lebih dalam terkait ketentuan KHL diatur dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 17 tahun 2005 tentang komponen dan pentahapan pencapaian kebutuhan hidup layak. Namun, aturan tersebut direvisi menjadi Permenakertrans Nomor 13 tahun 2012 tentang perubahan penghitungan KHL.
Dari beleid tersebut, jumlah kebutuhan yang semula 46 jenis komponen ditambah menjadi 60 jenis. Adapun item KHL yang tertuang dalam penetapan UMP tersebut bermacam-macam, mulai dari kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Perlu dikethui, untuk menentukan besaran KHL, maka survei dilakukan setiap satu bulan sekali dari bulan Januari sampai September, sedang untuk bulan Oktober sampai Desember dilakukan prediksi dengan membuat metode least square. Hasil survei tiap bulan tersebut kemudian diambil rata-ratanya untuk mendapat nilai KHL.
Baca Juga : Sisi Gelap di Balik Gemerlapnya Dubai: Sonapur, Tempat Ratusan Ribu Buruh Hidup dengan Sangat Menderita
Nilai KHL ini akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam penetapan upah minimum yang berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Sementara, untuk upah pekerja dengan masa kerja 1 tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.
Namun, kebijakan penetapan KHL itu kembali direvisi menjadi Permenaker Nomor 21 Tahun 2016. Beleid ini merevisi habis Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian KHL.
Hanya pasal 2 dan lampirannya tetang komponen KHL saja di Kemenakertrans Nomor 13 tshun 2012 yang tidak direvisi. Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 ini ditandatangani tanggal 27 Juni 2016.
Permenaker ini tidak lain merupakan amanat pasal 89 ayat 4 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berbeda dari aturan sebelumnya, Permenaker Nomor 21 tahun 2016 menggunakan parameter inflasi nasional. Yaitu, perhitungan dari seluruh item barang dan jasa dari yang sifatnya tersier, sekunder dan primer.
Dalam pasal 5 Permenaker Nomor 21 tahun 2016 disebutkan penentuan komponen dan jenis kebutuhan hidup ditinjau dalam jangka waktu lima tahun dengan dua tahap yaitu pengkajian dan tahap penetapan hasil peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup, dimana kajian tersebut dilakukan oleh Dewan Pengupahan Nasional (DPN). Kajian tersebut dilakukan dengan melakukan pengumpulan data dan informasi yang sumbernya dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Kembali ke PP Nomor 78 tahun 2015. Bagi sebagian kalangan, penetapan UMP sebelum terbitnya aturan ini dinilai memiliki nuansa politis yang besar. Pasalnya pertumbuhan kenaikan UMP setiap derah tidak merata. Selain itu, riskan terhadap politisasi oleh kepada daerah lantaran dapat menaikkan UMP tidak sesuai realita kondisi perekonomian di wilayahnya.
Walhasil, dari sisi pengusaha yang menjadi korbannya. Mereka menilai, perhitungan UMP versi lama tidak menimbulkan kepastian berusaha. Selain itu, para buruh kerap melakukan unjuk rasa setiap tahunnya mendekati penetapan kenaikan UMP sehingga menurunkan tingkat produktifitas perusahaan.
Namun, pasca penerapan PP Pengupahan yang sudah berjalan dua tahun ini para pengusaha menilai kebijakan pengupahan yang baru ini sudah cukup memuaskan. Kenaikan UMP setiap tahun wajar sehingga tidak mengganggu rencana ekspansi perusahaan.
Baca Juga : 4 Kisah Getir Atlet Indonesia Peraih Medali Emas Asian Games, Dari Buruh Cuci Hingga Tukang Lipat Parasut
Untuk kenaikan UMP tahun 2019, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menetapkan sebesar 8,3%. "Ini diambil dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan inflasi kita 2,88% dan pertumbuhan ekonomi 5,15%," kata Hanif saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (16/10).
Hanif juga mengimbau kepada para pelaku usaha dan serikat pekerja untuk memahami kenaikan UMP yang didasarkan pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga ke depannya, sudah tidak ada perdebatan terkait angka kenaikan UMP itu sendiri.
Dari sisi pelaku usaha, dengan formula perhitungan yang ada sudah bisa memprediksi kenaikan upah di tahun yang akan datang. "Karena tujuan PP 78 itu memastikan kenaikan upah terjadi tiap tahun. Tidak perlu demo tidak perlu ramai-ramai, Alhamdulilah upah naik terus," jelas Hanif.
Atas keputusan terkait kenaikan UMP tahun depan, Hanif pada 15 Oktober 2018 telah menandatangani Surat Edaran Nomor B.240/M-Naker/PHISSK-UPAH/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018.
Dalam surat edaran yang ditujukan kepada para Gubernur di Seluruh Indonesia itu, Menaker meminta agar Gubernur menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2019 sesuai dengan PP Nomor 78 Tahun 2015 dan diumumkan secara serentak pada 1 November mendatang.
Selain soal perhitungan besaran kenaikan, di dalam SE tersebut juga memuat soal sanksi yang akan dikenakan oleh para kepala daerah yang tidak menetapkan kenaikan UMP-nya sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Seperti dikutip dari SE tersebut, sanksi bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional antara lain:
a. Dalam pasal 68 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diatur bahwa Kepala Daerahh dan/atau Wakil Kepala Daerah yang tidak malaksanakan program strategis nasional dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk Gubemur dan/atau Wakil Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Wali Kota dan/atau wakil Wali Kota.b. Dalam hal teguran tertulis telah disampaikan 2 kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama 3 bulan.c. Selanjutnya apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah lelah selesai menjalani pemberhentian sementara. tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Baca Juga : 5 Negara Gaji Tertinggi di Dunia, Ada yang Upah Buruh Terendahnya Rp1,34 Miliar per Tahun
Namun tetap saja, bagi sebagian kalangan buruh keputusan Pemerintah yang menetapkan UMP sebesar 8,03% tahun depan tetap mendapatkan penolakan. Salah satunya datang dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Alasannya, inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak bisa dijadikan acuan dalam menentukan UMP. “Dengan begitu nilai 8,03% dari pemerintah itu kita tolak,” kata Presiden KSPI Said Iqbal saat dihubungi KONTAN, Rabu (16/10).
Apalagi, berdasarkan survei yang telah ia lakukan di lapangan, kebutuhan layak hidup buruh di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang per Oktober 2018 sebesar Rp 4,2 juta - Rp 4,5 juta. Hal itu pun berdasarkan 60 item yang dijadikan patokan. Oleh karena itu, maka KSPI akan mengajukan rekomendasi ke pemerintah kalau kenaikan UMP tahun depan sebesar 20%-25%.
“Kita perbaiki kualitas itemnya. Seperti, selama ini hitungan radio diganti televisi, sewa rumah sekarang kan tidak ada lagi sewa rumah satu kamar begitu dan harga sewa juga meningkat. Begitu juga dengan bahan makanan yang sudah mengalami kenaikan dan listrik,” jelas Said.
Namun, tidak semua kalangan buruh menolah perhitungan kenaikan UMP versi PP Nomor 78 Tahun 2015 tersebut. Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menilai, kenaikan UMP sebesar 8,03% tahun 2019 dinilai cukup.
Hal itu melihat kondisi perkembangan industri saat ini. Kondisi rupiah yang melemah dinilai membuat industri ikut terbebani secara biaya produksi. "Dalam kondisi saat ini perusahaan sulit bergerak, angka tersebut relatif cukup," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) OPSI, Timboel Siregar.
Meski begitu Timboel meminta agar perusahaan juga terbuka kepada pekerja. Pasalnya untuk industri yang berorientasi ekspor akan mendapat keuntungan tambahan dengan pelemahan rupiah.
Ia juga bilang perlu adanya upaya peningkatan kualitas pekerja. Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan kemampuan pekerja sehingga produksi ikut meningkat. "Kenaikan upah minimum juga perlu dibarengi dengan kenaikan produksi," terang Timboel.
Baca Juga : Inspirasi dari Kisah Hidup Lena dan Leni, Si Kembar Anak Buruh Tani yang Bela Negara di Asian Games 2018
Biaya pengembangan kemampuan tersebut diungkapkan Timboel tidak perlu menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengembangan dapat dilakukan menggunakan dana imbal hasil dari jaminan sosial ketenagakerjaan.
Sementara, Berly Martawardaya, ekonom Universitas Indonesia (UI) mengatakan, kenaikan UMP ini berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kepatuhan dari masing-masing kepala daerah menerapkan PP Nomor 78 Tahun 2015.
"Karena tidak semua kepala daerah akan mematuhi ketentuan dari PP nomor 78 itu. Makin banyak yang tidak patuh, maka makin menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 dan menaikkan inflasi tahun 2019," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menjelaskan, dengan kondisi ekonomi dan beban usaha yang semakin berat akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) kenaikan UMP 8,3% sebenarnya cukup membebani pelaku usaha.
"Terlebih pemerintah juga menaikkan tarif PPH untuk 1.147 barang impor di mana di sana juga ada beberapa bahan baku impor. Pengusaha berharap jika memungkinkan kenaikan UMP 2019 di bawah 8,3% akan lebih memberikan ruang gerak dan mengurangi beban pengusaha," ujar Sarman.
Jika kita mengacu kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03% maka besaran UMP 2019 DKI Jakarta akan mendekati angka Rp 4 juta atau sekitar Rp 3.940.972 dan dipastikan UMP tahun 2020 akan menembus angka Rp 4 juta lebih. “Bagi seorang pekerja bujangan dan nol pengalaman besaran ini sdh lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya,” kata Sarman.
Oleh karena itu, dalam penetapan UMP 2019 pelaku usaha sangat berharap kepada Serikat Pekerja agar jangan menuntut terlalu berlebihan diluar kemampuan dunia usaha. PP Nomor 78 tahun 2015 dinilai sudah sangat adil dan memberikan kepastian bagi pengusaha dan pekerja.
Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Sengkarut penetapan upah minimum".