Advertorial

Sun Yat-Sen: Tiap Pemerintah Punya Kecakapan Sendiri untuk Menempuh Jalan Terbaik Mencapai Tujuan

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Sun Yat-Sen ditunjuk sebagai presiden sementara republik Tiongkok yang berdiri pada 1 Januari 1912.
Sun Yat-Sen ditunjuk sebagai presiden sementara republik Tiongkok yang berdiri pada 1 Januari 1912.

Intisari-Onlie.com – Pada 10 Oktober 1911 terjadi pemberontakan di Wuchang, Tiongkok, yang menjadi awal dari revolusi besar untuk menggulingkan Dinasti Qing (berkuasa sejak 1644). Berkaitan dengan revolusi itu, kaum revolusioner membentuk Republik Tiongkok pada 1 Januari 1912. Sun Yat-Sen ditunjuk sebagai presiden sementara republik baru ini.

Mengenai sepak terjangnya, berikut ini tulisan Dali Santun Naga, Guru Besar Universitas Tarumanegara, Sun Yat-Sen, Sanminzhuyi, dan Sopir Taksi, yang pernah tayang di Majalah Intisari edisi November 2009.

Nama Sun Yat-Sen pun berkibar, sekaligus dipertanyakan. Mengapa dia yang diangkat jadi presiden? Padahal ia tidak langsung terlibat dalam pemberontakan.

Usut punya usut, ternyata Sun Yat-sen dipilih karena ia memiliki hubungan luas di dalam dan luar negeri, serta memiliki konsep yang jelas tentang dasar negara. Meski di balik itu, ia juga manusia biasa yang kerap mengalami kegagalan dalam kehidupan.

Baca Juga : Atlet Asal Tiongkok Jadi Viral di Twitter Setelah Tertangkap Kamera Minum Santan, Aneh-aneh Saja

Sun Yat-sen dilahirkan pada 12 November 1866 di distrik Xiangshan, Provinsi Guangdong. Lahir di tengah keluarga bermarga Sun, ia diberi nama Wen sehingga menjadi Sun Wen.

Selanjutnya ia menggunakan alias Yixian yang dalam dialek Guangdong dilafalkan sebagai Yat-sen. Dari situ muncullah nama Sun Yat-sen.

Banyak tahun kemudian, ketika berada di Jepang, ia menggunakan alias Zhongshan yang dalam bahasa Jepang dilafalkan sebagai Nakayama (artinya gunung).

Disekap perwakilan Tiongkok

Baca Juga : Bukan Emas atau Uang, Ini Harta Karun Tiongkok yang Ditemukan di Laut Jawa Indonesia

Saat masih kecil, Sun Yat-sen telah mendengar cerita dari veteran Taiping Tianguo tentang keadaan Negeri Tiongkok di bawah Dinasti Qing.

la mengetahui betapa bobroknya Pemerintah Qing pada saat itu. Sementara pada waktu itu kakaknya yang berada di Honolulu, Hawaii, sukses jadi pedagang.

Pada usia 13 tahun, ia pergi ke Honolulu dan tinggal di rumah kakaknya. Di sini ia bersekolah sehingga menguasai bahasa Inggris dengan baik. Menginjak usia 17, Sun Yat-sen kembali ke Tiongkok dan melihat keadaan negara semakin bobrok.

la kemudian belajar kedokteran di Guangzhou, lalu lulus dan memperoleh lisensi dokter dari rumah sakit Hong Kong College of Medicine, Hongkong. Di sini ia bertemu dengan Prof. Dr James Cantlie yang kelak menjadi penolongnya di London.

Baca Juga : Presiden Tiongkok Kini Punya Masa Jabatan Seumur Hidup, Ternyata Ini yang Buat Nama Xi Jinping Harum di Mata Masyarakat

Meski berpredikat dokter, perhatian Sun Yat-Sen pada masalah sosial politik tetap tinggi. Mula-mula ia menganut aliran restorasi untuk merestorasi Pemerintah Qing menurut model Restorasi Meiji di Jepang.

Namun ide ini tak mendapat sambutan dari kalangan reformis. la lalu berpaling ke kelompok revolusioner, kembali ke Honolulu, dan pada 24 November 1894 mendirikan Xingzhonghui atau Perkumpulan Membangun Tiongkok yang memiliki tiga program: mengeluarkan orang Mancuria, membangun kembali Tiongkok, dan mempersatukan pemerintahan. Anggotanya para ekspatriat asal Tiongkok.

Pada saat itu di Tiongkok sendiri sudah berdiri banyak bui atau perkumpulan yang memiliki program serupa. Di Provinsi Hunan ada Huangxinghui, di provinsi Jiangsu dan Zhejiang ada Guangfuhui, di wilayah sungai Yangzi ada Gongjinhui.

Semuanya memiliki program menumbangkan Dinasti Qing dan membangun kembali kejayaan Tiongkok.

Baca Juga : Gamer Asal Tiongkok Lumpuh Setelah Bermain 20 Jam, Saat Ditolong Dia Malah Menjerit Pengen Hal Ini

Pada 1895, Xingzhonghui di bawah pimpinan Sun Yat-sen mengadakan pemberontakan pertama di Guangzhou. Pemberontakan ini mengalami kegagalan sehingga Sun Yat-sen dicari oleh Pemerintah Qing.

Demi keselamatan dirinya, Sun kabur ke Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Inggris.

Kisah seru terjadi di London, ketika ia sempat diculik oleh perwakilan Tiongkok di sana. Hari Minggu pagi, Sun Yat-sen seperti biasa berjalan menuju gereja, saat tiba-tiba dua orang Tionghoa memaksanya masuk ke sebuah rumah dekat situ.

"Segera terkilas di pikiran saya," kata Sun Yat-sen, "Rumah ini perwakilan Tiongkok (49 Portland Place). Terlihat dari sejumlah orang Tionghoa dengan pakaian mandarin, dan dari besarnya rumah itu ...."

Baca Juga : Mengapa Vampir Tiongkok Bergerak dengan Cara Melompat-lompat? Ternyata Ini Alasannya!

Sun Yat-sen dikurung di lantai dua, yang jendelanya berterali, menghadap ke belakang rumah. Dua atau tiga orang terus menjaganya, satu di antaranya orang Eropa.

Ia diberi tahu bahwa ia ditangkap atas perintah Kaisar yang menginginkannya hidup atau mati, lalu dibawa dengan kapal kembali ke Tiongkok sebagai "orang gila".

Sun Yat-sen membayangkan, setelah itu, dengkulnya pasti akan dipukul sampai remuk, kelopak matanya dicungkil, dan tubuhnya dicincang. Tidak ada kata ampun bagi pemberontak politik.

Sia-sia ia mencoba menarik perhatian tetangga atau orang yang lewat dengan melempar koin melalui jendela. Bahkan ada koin yang sempat dipungut oleh petugas perwakilan.

Baca Juga : Kisah Katrina Leung, Intelijen Tiongkok yang Obrak-abrik Gedung Putih dengan 'Diplomasi Ranjang'

Pada hari keenam, ia berusaha membujuk penjaga asal Inggris bernama Cole untuk menyelundupkan surat kepada Dr. James Cantlie yang tinggal tidak jauh dari situ. Surat itu sampai kepada Cantlie pada pukul 23.00.

Di dalam surat itu Sun Yat-sen menulis, "Saya diculik di perwakilan Tiongkok pada hari Minggu dan akan diselundupkan ke Tiongkok untuk mati. Mohon cepat tolong saya."

Ada catatan tambahan, "Tolong perhatikan pembawa surat ini demi saya; ia sangat miskin dan akan kehilangan pekerjaannya karena saya."

Cantlie ingin segera bertindak, namun malam minggu itu sebagian besar orang sedang libur. Kantor surat kabar semua kosong. Polisi, bahkan Scotland Yard pun merasa ragu untuk bertindak. Cantlie berinisiatif menempatkan pengawas di perwakilan Tiongkok, khawatir Sun Yat-sen diselundupkan keluar.

Baca Juga : Jejak-Jejak Koki Diplomat Tiongkok di Indonesia

Setelah menempuh bermacam usaha, akhirnya pada hari ke-12, dengan intervensi Departemen Luar Negeri Inggris, Sun Yat-sen dibebaskan dari penculikan. Karena memperoleh sorotan surat kabar, Sun Yat-sen pun jadi terkenal di kalangan internasional.

Sepuluh kali gagal

Pada 1905, di Jepang, Sun Yatsen mengajak Xingzhonghui, Guangfuhui, dan Huaxinghui untuk membentuk hui baru sehingga pada 20 Agustus 1905 terbentuklah Tongmenghui atau Perkumpulan Persekutuan.

Tujuan Tongmenghui mengeluarkan orang Mancuria, membentuk republik, membagi rata tanah. Selanjutnya di Tiongkok, Tongmenghui ini bersama dengan hui lainnya melakukan banyak pemberontakan yang gagal, di antaranya di Huizhou, Huanggang, Anqin, Zhennanguan, dan Hekou. Tak kurang sepuluh kali Sun Yat-sen gagal memberontak.

Baca Juga : Sunon, Rangkaian Furnitur Kantor Asal Tiongkok yang Siap Beredar di Indonesia

Pada 1905 itu pula Sun Yat-sen mengemukakan konsep dasar negara yang dinamakannya Sanminzhuyi atau Tiga Asas Rakyat. Tiga asas itu meliputi minzhu atau rakyatlah yang dipertuan atau nasionalisme, minquan atau kekuasaan rakyat atau demokrasi, serta minsheng atau kehidupan rakyat.

Sanminzhuyi inilah yang disinggung oleh Presiden Soekarno dalam pidato "Lahirnya Pancasila" pada 1 Juni 1945 di Jakarta.

Gagal dalam sejumlah pemberontakan tak membuat Sun Yat-sen dan kawan-kawan kapok. Jerih payah mereka akhirnya terbayar dalam pemberontakan di Wuchang yang digerakkan kelompok revolusioner.

Pada 10 Oktober 1911 pukul 20.00, tembakan pertama dilepaskan dan keesokan paginya seluruh Wuchang sudah berada di tangan kaum revolusioner. Keberhasilan ini berdampak ke daerah lain.

Baca Juga : Makam Misterius Berbentuk Piramida Ditemukan di Lokasi Konstruksi di Tiongkok

Dari Oktober hingga November, berbagai kota dan provinsi di Tiongkok Selatan jatuh ke tangan kaum revolusioner. Mereka juga menguasai Nanjing.

Kaum revolusioner lalu membentuk Republik Tiongkok dengan Nanjing sebagai ibukota sementara, menyusul pemilihan presiden pada 29 Desember 1911. Hasilnya, 16 dari 17 suara memilih Sun Yat-sen sebagai presiden sementara Republik Tiongkok.

Sun Yat-sen yang sedang bertamu ke rumah James Cantlie di London diberitahu hasil pemilihan itu lewat telegram.

Tanggal 10 Oktober diperingati sebagai hari jadi Republik, namun pelantikan presiden dilakukan pada tanggal 1 Januari 1912. Sun Yat-sen segera menghapus sistem penanggalan lama, menggantinya dengan penanggalan internasional.

Baca Juga : Kabar Gembira Tiongkok Umumkan Larangan Perdagangan Gading Gajah

Pada 3 Januari 1912, Li Yuanhong terpilih sebagai wakil presiden sementara. Parlemen dan pemerintahan pun dibentuk.

Namun timbul masalah, karena Republik hanya menguasai sebagian dari wilayah negara, terutama di Selatan. Lagi pula Republik tidak memiliki tentara yang dapat mempersatukan seluruh negara. Sun Yatsen harus mengatur siasat.

Pasalnya, menyusul kekalahan-kekalahan dari negara asing, Pemerintahan Qing merombak sistem tentara. Tentara baru itu dibagi menjadi 36 divisi, enam divisi di Utara berada di bawah komando Yuan Shikai, dikenal sebagai tentara Beiyang.

Jadi, jika ingin menguasai Utara, Sun Yat-sen dan kawan-kawan mesti berhadapan dengan Yuan Shikai dan tentara Beiyang-nya. Terjadilah negosiasi antara Republik dan Yuan Shikai.

Baca Juga : Satu Syarat Agar Google dan Facebook Dapat Kembali di Tiongkok

Yuan dibujuk untuk berpihak kepada Republik untuk menurunkan Dinasti Qing, dengan tawaran: jika kolaborasi mereka berhasil, Sun Yat-sen akan menyerahkan posisi presiden sementara Republik Tiongkok kepada Yuan Shikai.

Yuan Shikai menerima tawaran itu. Dengan kekuatan yang ada padanya, Yuan Shikai berusaha melengserkan Kaisar Dinasti Qing.

Pada 12 Februari 1912, dengan sejumlah persyaratan protokoler, Kaisar Dinasti Qing turun tahta. Tamatlah dinasti yang telah berkuasa sejak 1644 itu.

Sesuai persetujuan, pada 14 Februari 1912, Parlemen Republik mengangkat Yuan Shikai sebagai presiden sementara menggantikan Sun Yat-sen.

Baca Juga : 6 Raksasa Internet Ini Masih Diblokir Oleh Pemerintahan Tiongkok

Sun Yat-sen sendiri pada 25 Agustus 1912 membentuk partai baru, Kuomintang atau Partai Nasional. Partai ini akan mengikuti pemilihan umum yang diselenggarakan pada 1913.

Ternyata Partai Komintang menang, namun sayang, calon Perdana Menteri dari partai itu terbunuh pada 20 Maret 1913. Yuan Shikai diduga berada di balik pembunuhan politik itu.

Inspirasi sopir taksi

Yuan pun mulai menunjukkan belangnya dengan memindahkan ibukota dari Nanjing ke Beijing. Parlemen di daerah dibubarkan dan di setiap provinsi diangkat gubernur militer. Bahkan Yuan Shikai mulai berpikir untuk menjadi Kaisar.

Baca Juga : Alga Mewarnai Laut Mati di Tiongkok Menjadi Hijau dan Merah Muda

Ketika pada 1915 Jepang mengultimatum Tiongkok dengan perjanjian 21 pasal, Yuan Shikai mau menerima sebagian di antaranya dengan syarat: Jepang mau mendukungnya jadi Kaisar.

Yuan Shikai mengadakan konvensi politik. Pada 20 November 1915, konvensi ini menyetujui gagasan Yuan Shikai menjadi Kaisar dengan alasan Tiongkok belum siap dengan demokrasi cara Barat.

Persis 12 Desember 1915, Yuan Shikai memproklamasikan dirinya sebagai Kaisar dari Kerajaan Tiongkok. Partai Kuomintang dibubarkan dan Sun Yat-sen lari ke luar negeri.

Setelah itu, satu demi satu bawahan Yuan Shikai memberontak. Akhirnya pada 22 Maret 1916, Yuan Shikai melepaskan takhta kekaisarannya dan kembali menjadi presiden sementara, sebelum akhirnya meninggal karena sakit (6 Juni 1916).

Baca Juga : Apa Fungsi Sebenarnya dari Pesawat Amphibi Terbesar di Dunia Buatan Tiongkok Ini?

Pada 1917, Sun Yat-sen kembali dari luar negeri dan membentuk pemerintah militer di Guangzhou dengan dukungan para penglima perang di Selatan. Kuomintang pun dihidupkan kembali.

Saat muncul ide perlunya mempunyai tentara, dibentuk akademi militer di Wahmpoa dengan Chiang Kaishek sebagai komandannya. Pada 1921, Sun Yatsen menjadi presiden darurat dan panglima tertinggi.

Hal ini mengundang konflik karena bertentangan dengan konstitusi 1912. Masalah lainnya adalah bagaimana menyatukan kembali para panglima perang yang sudah menguasai provinsi-provinsi. Maka direncanakanlah program ekspedisi ke Utara.

Pada 1924, antara 27 Januari 1924 - 24 Agustus 1924, Sun Yatsen berturut-turut memberi ceramah tentang Sanminzhuyi. Ceramah itu kemudian dibukukan sebagai pedoman bagi Partai Kuomintang.

Baca Juga : Uber Dikalahkan Didi di Tiongkok, Waktunya Fokus ke India?

Di salah satu ceramahnya, Sun Yat-sen bercerita tentang peristiwa naik taksi di Shanghai:

"Suatu waktu, saya tinggal di daerah konsesi Prancis dan ada janji bertemu seseorang di Hongkew. Cuma ada waktu 15 menit, padahal jarak ke Hongkew cukup jauh. Saya panggil taksi dan menanyakan kesanggupan sopirnya untuk ke sana dalam waktu 15 menit.

Si sopir menyanggupi. Taksi pun berlari cepat tetapi tidak mengarah ke Hongkew. Tentu saya merasa ditipu, tapi anehnya dalam waktu kurang dari 15 menit saya sampai ke tujuan.

Saya bertanya lagi pada si sopir. Dia menjelaskan, jalan langsung sering macet sehingga ia menempuh jalan memutar.

Baca Juga : Jamur Raksasa Sebesar 66cm Ditemukan di Tiongkok

Kalau berkukuh supaya taksi menempuh jalan langsung, saya tidak akan tiba tepat waktu. Sopir taksi itu lebih mengetahui medan dan memiliki kecakapan untuk pekerjaannya."

Demikian halnya kegiatan pemerintahan. Ada kalanya rakyat melihat Pemerintah tidak berjalan di atas jalan yang seharusnya. Tapi Pemerintah memiliki kecakapan untuk menempuh jalan terbaik untuk mencapai tujuan dan jalan itu belum tentu berupa jalan langsung.

Sayang, Sun Yat-sen tak lama menjadi inspirasi negerinya. Tubuhnya digerogoti kanker, sehingga ia mesti berobat ke Beijing.

Pada 12 Maret 1925, Sun Yat-sen wafat dan dimakamkan di Nanjing. Sebelum wafat, Sun Yat-sen sempat menulis testamen, yang kelak dibacakan di setiap upacara kenegaraan.

Baca Juga : Tiongkok Resmikan Patung Dewa Perang Super Besar Setinggi 58 Meter dan Seberat 1.320 Ton

Artikel Terkait