Intisari-Online.com - Konfusius (551-479 SM) pernah bilang, salah satu jalan menuju persahabatan adalah lewat makanan.
Beberapa abad kemudian, tahun 1225, filosofi yang sama diabadikan Zhao Rugua dalam bukunya Zhufan Zhi alias Penuntun Ke Luar Negeri.
Rugua menasihati para pedagang yang ingin berniaga di Brunei, agar mempersembahkan jamuan makan terlebih dahulu buat raja, sebelum mengutarakan niatnya.
(Baca juga: Sunon, Rangkaian Furnitur Kantor Asal Tiongkok yang Siap Beredar di Indonesia)
Makanan buat orang Tiongkok, memang bukan sekedar sesuatu yang terhidang di meja makan dan siap disantap.
Diplomasi, persahabatan, penyembuhan penyakit, penghormatan leluhur, hingga menghindari energi negatif, semuanya bisa digarap dari pemilihan dan teknik mengolah bahan makanan.
Buat yang tak mengenal betul filosofi di balik menu, memang agak sulit memahami.
Jauh sebelum Buni Nusantara dibanjiri cap cai atau siomay, orang Tiongkok sudah di kagumi lantaran keberaniannya mengarungi lautan untuk mencari rempah-rempah sebagai bahan pengawet dan penyedap makanan.
Aktivitas itu kemudian mengilhami orang Eropa untuk menjajah Negara-Negera Timur guna mendapatkan bumbu masak gratis.
Pelaut-pelaut Cina seperti tak punya rasa takut, meski kapalnya harus tenggelam demi mendapatkan bahan makan an idaman.
Tak heran kalau profesi juru masak di Negeri Tirai Bambu dipandang dengan penuh hormat dan kekaguman.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR