Advertorial
Intisari-Online.com -Untuk membantu korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Australia mengirimkan paket bantuan kemanusiaan sebesar Rp54 miliar.
Sebelumnya, Australia juga sudah mengirimkan bantuan sebesar Rp540 juta melalui Palang Merah Indonesia dalam bentuk makanan, selimut, terpal, dan beberapa kebutuhan lain.
Tidak berhenti sampai di situ, Australia juga dikabarkan sudah mengirimkan lebih dari 50 tenaga medis untuk membantu penanganan para korban gempa dan tsunami Palu dan Donggala.
Mereka tiba di Palu menggunakansebuah pesawat bermesin empat, Hercules C-130, pada Kamis sore, pesawat berangkat dari Darwin.
Baca Juga : Deretan Foto Warga yang Menjarah Mall dan Toko Setelah Gempa dan Tsunami di Palu
Bahkan, Australia juga sempat menawarkan bantuan berupa pengiriman personel militernya ke Palu dan Donggala sebagai upaya tanggap bencana.
Tentunya tidak ada yang salah dengan bantuan tersebut, apalagi banyak negara lain juga yang memberikan bantuan untuk menangani para korban di Sulteng.
Namun, lain halnya jika kita mengingat kembali peristiwa yang terjadi pada bulan Februari 2015.
Saat itu, Perdana Menteri Australia (saat itu) Tony Abbott mengungkit-ngungkit kembali bantuan yang mereka berikan dalam penanganan para korban bencana tsunami Aceh 2004.
Baca Juga : Meski Dilanda Krisis Ekonomi Parah, Venezuela akan Sumbang Rp151 Miliar untuk Korban Gempa Palu
Bukan tanpa alasan mereka tiba-tiba mengungkit-ngungkit kembali bantuan yang pada dasarnya bersifat kemanusiaan tersebut.
Dua orang warga negara mereka Andrew Chan (31) dan Myuran Sukumaran (33) akan dieksekusi mati karena terlibat perdagangan narkoba di Bali.
Abbott mendesak Indonesia membatalkan rencana eksekusi mati kedua ornag yang terbukti menjadi pemimpin kelompok perdagangan narkoba yang dikenal sebagai Bali Nine.
"Australia telah mengirim bantuan miliaran dollar," ujar Abbot terkait bantuannya untuk Aceh setelah diterjang tsunami yang menyebabkan lebih dari 170.000 orang meninggal dunia tersebut.
Baca Juga : Terungkap! Ini Waktu Persisnya Tsunami Terjang Palu, Tak Sampai 10 Menit Setelah Gempa
"Kami mengirim sebuah kontingen besar angkatan bersenjata kami untuk membantu di Indonesia dengan bantuan kemanusiaan... Saya ingin mengatakan kepada rakyat Indonesia dan Pemerintah Indonesia, kami di Australia selalu ada untuk membantu kalian dan kami berharap bahwa kalian mungkin bisa membalas dengan cara ini pada saat ini."
"Kami akan membuat ketidaksenangan kami diketahui. Kami akan membuat rakyat Indonesia tahu bahwa kami merasa sangat kecewa," kata Abbott ketika ditanya apa yang akan terjadi jika eksekusi tetap berlangsung, seperti dilansir darikompas.com.
Namun, Pemerintah Indonesia di bawah presiden Joko Widodo bergeming.
Desakan tersebut pada akhirnya tidak digubris oleh Indonesia, kedua warga negara Australia tersebut tetap dieksekusi mati.
Baca Juga : 'Mama Sudah Di Atas Sekali, Sudah di Surga', Ini Curahan Hati Anak Korban Gempa Palu Setelah Bertemu Jokowi
Australia Tidak Tulus
Menanggapi sikap Abbott yang mengungkit-ngungkit bantuan Australia untuk Aceh saat kedua warganya akan dihukum mati,Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai akan ada persepsi salah akan bantuan dari Australia tersebut.
"Australia seolah tidak tulus dan ikhlas dalam menyampaikan bantuan. Bantuan diberikan seolah untuk menciptakan ketergantungan Indonesia terhadap Australia. Saat ini, ketika ada kepentingan Australia, ketergantungan itu yang digunakan," kata Hikmahanto, Kamis (19/2/2015), seperti dilansir dari kompas.com.
Apalagi, menurut Hikmahanto,Abbott bukanlah Perdana Menteri atau pengambil kebijakan ketika Australia memberi bantuan ke Indonesia pasca-tsunami Aceh pada 2006.
Hikmahanto yakin bahwa pemberian Australia saat itu dipastikan tulus, hanya Abbott saja yang membuatnya seolah tidak tulus.
Ah, semoga saja bantuan untuk warga Palu dan Donggala kali ini juga tulus. Tak perlu diungkit-ungkit lagi apapun alasannya.
Baca Juga : Setelah Gempa, 47,8 Hektar Wilayah Palu Amblas, Lebih dari 5000 Bangunan Rusak