Advertorial

Ini Dia Rahasia Sukses Bos-bos Jepang, Salah Satunya Hormat pada Setiap Individu

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Para bos perusahaan di Jepang tetap memakai seragam sama seperti yang dikenakan oleh karyawannya. Mereka menghormati setiap individu.
Para bos perusahaan di Jepang tetap memakai seragam sama seperti yang dikenakan oleh karyawannya. Mereka menghormati setiap individu.

Intisari-Online.com – Pernah orang Jepang dijuluki les marchands des transistors (pedagang transistor) oleh de Gaulle.

Namun sekarang mereka bukan hanya juara dunia dalam hi-fi, tetapi juga dalam microprocessor, mobil, bio-industri dan Iain-lain.

Dalam sepuluh tahun terakhir produksi Jepang meningkat dua kali lebih cepat daripada Amerika Serikat.

Apa rahasianya?

Berikut ini kita akan menjenguk orang-orang yang mempunyai andil besar dalam kemajuan teknik Jepang.

Tulisan Rahasia Sukses Boss-boss Jepang berikut ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1982.

Mula-mula kita jumpai Akio Morita si pencipta perusahaan Sony. Dia menyukai olahraga golf, sekaligus menjadi pengagum musikus Beethoven.

Saking gandrungnya pada musik, sampai-sampai di lapangan pun dia ingin bermain golf sambil mendengarkan Symphony kesembilan.

Baca Juga : Sony Berusaha Mematenkan Lensa Kontak yang Bisa Merekam dan Memainkan Video dengan Kedipan Mata

"Saya membutuhkan sebuah alat kecil dengan pengeras suara," kata Akio Morita pada anak didiknya. Tak lama kemudian terciptalah walkwan.

Dia berusia sekitar enampuluhan, kurus, rambutnya putih dan matanya hampir kuning. Tapi ia nampak seperti umur duapuluh karena semangatnya yang tak kenal lelah.

Rumahnya di daerah kedutaan, di Tokyo. Bertingkat, dengan kebun dan sebuah kolam renang. Boleh dikata dia seorang boss Jepang yang sudah berorientasi ke Barat.

Dia tak berkeberatan istrinya turut menjamu tamu dalam pakaian Barat. Tetapi ia tetap menjalani hidup sederhana dan kekeluargaan menurut tradisi.

Setiap pagi pukul delapan tepat Akio Morita tiba di kantor. Ia selalu mengenakan seragam yang sama dengan yang dipakai anak buahnya, meski pun jas luarnya buatan Inggris.

Ini untuk menunjukkan semangat demokratis yang menjiwai setiap perusahaan Jepang.

Baca Juga : Disokong Kamera 16 MP dengan Sensor Sony, Berapa Haraga Hisense Pureshot Plus 2?

Pada tahun 1947 Akio Morita mendirikan perusahaan Sony; memasarkan transistor yang pertama, televisi berwarna pertama, dan walkman pertama.

Saat ini perusahaan sedang maju- majunya, ia mengekspor 70% dari produkoya. "Pasaran kami adalah seluruh dunia," katanya.

Kemajuan teknologi Jepang didorong oleh semangat untuk menyegerakan, dengan penuh kesadaran dan rasa kebanggaan.

Tidak sampai dua generasi untuk mewujudkan mukjizat ini. Sebelumnya, orang. Barat mengejek, Jepang hanya bisa membuat sepeda yang rodanya tidak bisa berputar dan jam-jam yang tidak bisa dipercaya.

Karikatur tahun tigapuluhan pernah menunjukkan gambar seorang pemburu menyandang sepucuk senapan, yang ketika picunya ditarik maka larasnya menggembung. Capnya: made in Japan (bikinan Jepang).

Baca Juga : Foto-foto Keren dari Sony World Photography Awards 2017 Akan Membuat Kita Takjub!

Tetapi tiba-tiba orang Jepang tergila-gila pada perlombaan matematika dan fisika. Ujian-ujian di berbagai universitas menjadi sangat berat dan terjadi persaingan mati-matian. Ini menghasilkan orang-orang yang pandai.

Di Pusat Penelitian Sony, jejak kaki para direktur yang sukses dicetakkan di atas tanah, seperti halnya jejak kaki para bintang Hollywood di studio MGM.

Saingan istrinya sebuah komputer

Sama dengan majikannya Makoto Kicuchi yang direktur baru pada Pusat Penelitian Sony ini bisa berbahasa Inggris, dengan tujuan dapat berbicara dengan robotnya; sebuah "Apple" Amerika.

Baca Juga : Apple Luncurkan iPhone 6s, Sony dan Samsung Langsung Unggah Foto Ejekan

"Masih yang terbaik untuk saatini," ucapnyajujur. Laki-laki berusia 45 tahun ini sebelumnya sudah sangat terkenal di Jepang sebagai ilmuwan yang paling mengagumkan dari Pusat Penelitian Negara.

la mengkhususkan diri dalam microprocessor. la pindah ke Sony enam tahun yang lalu.

Dalam sebuah rumah yang amat kecil berbentuk bujur sangkar dan terbuat dari kertas minyak itulah ia inggal bersama istrinya dan hidup dengan sederhana.

Dengan kimononya dan berlutut di atas tikar Jepang, istrinya dengan setia menemani suaminya bermain dengan computer.

Mottonya: Research Makes The Difference, menggambarkan keambisiusan Makoto Kikuchi. Motto ini ditulis pada truk-truk perusahaan dalam bahasa Inggris supaya menimbulkan kesan eksotis.

Baca Juga : Smart B-Trainer, Earphone Sony yang Punya Fitur Kesehatan

Ia punya rencana untuk beberapa tahun mendatang: membuat computer yang bisa menguraikan bahasa percakapan orang Jepang supaya setiap orang Jepang dapat berbicara dengan computer.

Dengan senang hati dia mengundang 190 penyelidik datang ke pusat penelitiannya. Kata Makoto: "Sony memberikan 3,5 sampai 5% penghasilannya untuk penelitian." Tambahnya:

"Sebelum ini saya bekerja di sebuah laboratorium di Amerika Serikat. Di Sony, cukup hanya satu jam bagi saya untuk memperoleh sebuah alat yang harganya setengah juta dolar. Saya lalu bisa menghargai perbedaan ini."

Ia tetap seorang Jepang Tulen meskipun lama tinggal di Amerika Serikat.

Baca Juga : Sony Luncurkan Xperia E4 dual SIM di Indonesia

Para peneliti Sony mempelajari sinar energi matahari, teknologi silikon dan lainnya. Tetapi bidang yang paling disukainya adalah semiconductor. Dia memulai segalanya dari nol pada tahun 1976.

Di perusahaan Sony, kaitan penelitian produksi dengan pemasaran mierupakan satu keharusan yang permanen.

Contohnya, setiap Minggu pagi Makoto sarapan bersama Akio Morita dan Direktur Marketingnya. Hubungan yang begitu wajar dan akrab antara peneliti dan pemimpin ini jarang sekali terjadi di Amerika maupun di Eropa.

Morita yang sudah begitu kebarat-baratan, yang kalau bermain golf memakai kemeja dan topi Amerika, tetap membungkukkan badan sampai ke tanah bila berjumpa dengan kawan.

Dalam mobil ia memiliki telepon, televisi dan magnetoskop; tetapi ia tetap mengenakan seragam yang sama seperti 35.000 anggota Sony.

Honda tidak memberi warisan kepada anak

Baca Juga : Sony Bakal Segera Berhenti Menjual Smartphone dan Televisi?

Soichiro, 78 tahun, adalah pendiri Honda Motor. Ia juga mengenakan seragam karyawan biasa di perusahaan, kemeja dan topi putih. Dia lebih suka bekerja di bengkel, meskipun tersedia ruangan di setiap perusahaannya.

Sebelum perang pecah, ia pernah menjadi montir biasa. Sedikit demi sedikit ia turut meletakkan dasar perusahaan. Sekarang ia mengepalai 23.000 buruh dan membawahi 43 perusahaan di 28 negara (enam ada di Jepang).

Anak buahnya diberi kepercayaan total dan tanggung jawab pribadi atas apa yang dihasilkannya. Soichiro tidak memiliki harta pribadi. Dia tinggal dalam sebuah rumah sederhana.

Kegemarannya melukis di atas kain sutra dan bermain golf. Barangnya yang berharga cuma sebuah helikopter dan mobil biasa. Penghasilannya dipakai untuk penelitian dan bea siswa kaum muda. Dia bahkan tak memberi warisan kepada anak-anaknya.

Baca Juga : Dituduh Meretas Sony Pictures, Benarkah Korea Utara Memiliki Jaringan Internet?

"Warisan paling berharga yang dapat saya berikan adalah membiarkan mereka sanggup berusaha sendiri," katanya.

Hadiah untuk gagasan yang paling baik

Kyoto Ceramies adalah salah satu pabrik pembuat microchips (elemen-elemen kecil komputer) yang paling kuat di dunia.

Omset Kyoto Ceramies 400 juta dolar dan menghasilkan keuntungan luar biasa, 12% setelah dipotong pajak. Ada tujuh buah perusahaan di Amerika Serikat dan tiga di Jepang. Inamori sang pemimpin, seperti juga Soichiro Honda dan Kaku pemimpin Canon, menganggap dirinya sebagai karyawan biasa.

Baca Juga : Sony Music Entertainment Dilaporkan Telah Berinvestasi Di Shazam

Selisih gaji direktur dan buruh baru di Jepang lebih kecil bila dibandingkan dengan di Eropa dan Amerika Serikat. Cara hidup pemimpin Jepang sangat sederhana dibanding dengan rekan-rekan di Barat. Rasanya mereka memandang rendah kemewahan. Suatu barang harus ada fungsinya.

Bagaimana mereka bisa memegang prinsip sebaik itu? Mari kita menengok ke Gamo, salah satu pabrik keramik di Kyoto.

Kurang lebih 50 kilometer dari Kyoto. Di sini pada pukul delapan pagi seluruh karyawan Gamo berkumpul dalam ruang-ruang besar.

Dari tiap ruang, di atas sebuah panggung seorang laki-laki meneriakkan: berdiri, bersiap, luruskan kaki dan istirahat.

Ratusan laki-laki dan perempuan dalam seragam biru berdiri siap. Laki-laki lalu melaporkan hasil pekerjaan bulan lalu dan menambahkan delapan pesan produksi, tentang mutu, penurunan ongkos dan sebagainya.

Selesai laporan, dia memanggil lima orang maju ke depan. Mereka diberi hadiah, karena telah menyumbangkan gagasan yang paling baik, pada bulan sebelumnya.

Baca Juga : Di Sony Xperia T2 Ultra, Unduh Film Blockbuster Lewat Satu Sentuhan

Di semua perusahaan Jepang, para insinyur dan buruh diundang menyumbangkan gagasan untuk lebih memajukan produktivitas, keamanan dan semua bidang yang berkaitan dengan kehidupan perusahaan.

Di Canon, setahun yang lalu, masuk sekitar 146.242 gagasan yang ternyata dapat menghemat lebih dari tujuh juta yen!

Sebulan sekali mereka berkumpul, memberi laporan pekerjaan selama ini, bertukar pengalaman dan mutu pekerjaan mereka. Hadiah bagi gagasan mereka yang terpilih antara lain medali, jam tangan, tiket kereta atau pesawat terbang.

Yang kurang berinisiatif tak akan mendapat apa-apa. Tak pernah terjadi seseorang mendapat sanksi negatif.

Baca Juga : Sony Anggap Update Iphone Terlalu Lama

Setiap pekerja memiliki saham dan dividen dari perusahaan. Benar-benar merupakan perwujudan demokrasi yang didasarkan pada penghargaan hasil kerja dan atas hierarkinya.

Di Jepang, persaingan ditumbuhkan sejak kanak-kanak. Keluaran sekolah bereputasi tinggi lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang baik.

Di tiap perusahaan ada serikat buruh, yang setiap tahunnya mengorganisir pemogokan untuk memperoleh kenaikan gaji yang disebut Shunto. Tetapi Shunto ini cuma suatu upacara tradisi, bukan pemogokan seperti layaknya di Barat.

Robot membuat robot

Baca Juga : Ternyata Steve Jobs Pengagum Sony dan Sempat Tawarkan Mac OS untuk Vaio

Di kaki Gunung Fuji ada robot membuat robot. Robot-robot itu bekerja dengan diam-diam. Beberapa manusia membaca lembaran kertas besar yang keluar dari terminal robot.

Di Honda Motor Cie, di sebuah dusun dekat Tokyo, kita bisa melihat mobil yang di-assembling oleh robot, yang mematri 160 kali setiap detiknya. Grup-grup yang terdiri dari lima atau enam buruh memeriksa hasil kerja robot.

Setiap buruh diizinkan menghentikan pekerjaan dengan cara menekan tombol merah, bila ada yang kurang beres. Hasilnya:pada produksi akhir hanya ada 0,1% yang apkir, dibanding dengan 20% di Eropa.

Di Sony, semua karyawannya teliti. Para majikan di Eropa memimpikan pabrik mereka bisa menyamai Jepang, dan mendambakan buruh yang serupa pula.

Baca Juga : Kamagasaki, Kota Paling Kumuh di Jepang yang Sengaja Dihilangkan dari Peta agar Tak Dikunjungi

Di perusahaan Canon, Tuan Kaku yang adalah presiden direkturnya itu dan para buruhnya, saling menundukkan kepala mereka sama dalamnya. Percakapan antara mereka bisa membuat heran telinga-telinga Prancis.

Tuan Kaku menjelaskan secara mendetil target keuangan dan teknik yang ingin dicapai perusahaan. Kepala serikat buruh Canon meyakinkan majikannya, keberhasilan Canon merupakan satu kepuasan bagi seluruh karyawan dan mereka ingin bekerja sama sepenuhnya bersama direksi.

Majikan-majikan Eropa sangat kagum melihat modernisasi Jepang. Kagum bukan hanya karena melihat sindikat-sindikat buruh dapat bekerja sama begitu baik dengan majikannya, tetapi juga melihat para majikan yang tak pernah memecat buruhnya itu.

Mereka melihat suatu industri di mana otomatisasi tidak menciptakan pengangguran, dan setiap buruh mau dan dapatmemahami apa pun yang mereka lakukan. Mereka juga mendapat penjelasan mengenai jalannya perusahaan.

Yang nampak di depan mereka adalah sebuah dunia, di mana disiplin yang mirip disiplin militer itu dapat berjalan berdampingan dengan rasa hormat pada setiap individu.

Inilah rahasia kemajuan Jepang. (Paris Match)

Baca Juga : Tak Seperti di Palu, di Jepang Justru Nyaris Tak Ada Penjarahan Saat Bencana Menerjang, Kok Bisa?

Artikel Terkait