Dalam Kongres I Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung, Juni 1932, Sjahrir terpilih sebagai ketua umum. Ketika Hatta pulang tahun 1933, "perjanjian" di antara mereka langsung berlaku.
Jabatan pimpinan organisasi diserahkan kepada Hatta, sementara Sjahrir bersiap-siap kembali ke Belanda. Tapi apa daya, nasib berkata lain, belum sempat meninggalkan tanah air, Sjahrir yang juga aktif di organisasi kaum buruh itu keburu diciduk polisi Belanda.
la dibuang ke Digul (selama sekitar setahun), sebelum dikirim ke Bandaneira dan diasingkan di sana selama sekitar enam tahun.
Juru runding bersekoci
Saat Indonesia merdeka, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin dikenal sebagai tokoh nasional yang tegas menolak bekerja sama dengan Jepang.
Baca Juga : Tan Malaka yang Berjuang dengan Berganti-ganti Nama Akhirnya Meninggal di Tangan Kawan Seperjuangannya
Kekukuhan sikap itu menarik hati Bung Karno. Itu sebabnya Sjahrir kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno, yang ingin membuktikan dan memperlihatkan kepada dunia bahwa pemerintahan Indonesia bukan boneka atau buatan Jepang.
Hal ini diperlukan agar kemerdekaan itu mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional.
Sjahrir sendiri beranggapan, personel dan persenjataan Belanda jauh lebih kuat daripada pejuang kita. Makanya ia memilih jalan perundingan, agar Republik yang baru seumur jagung itu survive.
Di sekitar Januari 1946, ibukota Rl sempat dipindahkan ke Yogyakarta karena Jakarta tidak lagi aman. Sempat terjadi kekisruhan. Belanda tidak mau datang ke Yogyakarta untuk berunding, sama seperti Pemerintah Indonesia yang enggan datang ke Jakarta. Akhirnya dipilihlah Linggajati, sebuah desa di daerah Kuningan, Jawa Barat.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR