Intisari-Online.com – Selain Tan Malaka, satu lagi tokoh "kiri" yang berjasa di awal berdirinya negeri ini adalah Sutan (atau Soetan) Sjahrir. Namanya harum sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
Namun mirip Tan Malaka, kariernya pun tak bertahan lama. Bak suratan takdir, nasib tokoh-tokoh "kiri" hampir seragam: cepat populer, cepat pula terpinggirkan.
Tulisan Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI, ini menjelaskan bagaimana karier politik Sjahrir. Simak tulisannya di Majalah Intisari edisi Juni 2009, dengan judul asli Meteor Sjahrir dan Tragedi Kiri.
--
Baca Juga : Mengenang Kembali Sutan Sjahrir yang Berjuang di Masa Kolonial Belanda dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia
Karier Sjahrir dalam dunia politik Indonesia dapat diibaratkan meteor yang melesat cepat. Ketika Republik Indonesia masih bayi, ia dipercaya menjadi Perdana Menteri, jabatan yang disandangnya pada usia sangat muda, 36 tahun.
Putra pasangan Mohammad Rasad dan Puti Siti Rabiah yang lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909 ini memang telah berjuang sejak usia belia.
Selepas Europeesche Lagere School (ELS, setingkat SD) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setingkat SMP) di Medan, Sjahrir masuk Algemene Middelbare School (AMS, setingkat SMA), di Bandung.
Sikapnya yang merakyat sudah terlihat di sekolah ini. la bergabung dalam kelompok teater, berperan sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. Lalu uang yang diperoleh dari hasil pementasan digunakan untuk membiayai sekolah yang didirikannya untuk orang tidak mampu, Tjahja Volksuniversiteit.
Baca Juga : Des Alwi: Jadi Anak Revolusi Berkat Hatta & Sjahrir
Lulus MULO, ia memperdalam ilmu hukum di Gemeentelijke Universiteit Amsterdam, Belanda. Di kampus inilah Sjahrir makin kerap mengkaji teori-teori sosialisme. Ia juga menjalin hubungan dengan Salomon Tas, pimpinan Klub Mahasiswa Sosial Demokrat.
Pun di sini ia bertemu Maria Duchateau, perempuan yang kelak - meskipun singkat - sempat singgah di hati Sjahrir.
Sayangnya, belum sempat menyelesaikan studi, Sjahrir keburu dihubungi sahabatnya, Hatta. la dimintai tolong untuk kembali ke Indonesia, memimpin PNI (Pendidikan Nasional Indonesia). Permintaan itu disertai "perjanjian", jika kelak Hatta (saat itu masih merampungkan studi di Belanda) pulang ke tanah air, ganti giliran Sjahrir yang akan balik ke Belanda, meneruskan studi.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR