Advertorial

Tan Malaka yang Berjuang dengan Berganti-ganti Nama Akhirnya Meninggal di Tangan Kawan Seperjuangannya

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Tan Malaka, berjuang dengan berganti-ganti nama, namun ketahuan juga dan akhirnya meninggal di tangan kawan seperjuangannya sendiri.
Tan Malaka, berjuang dengan berganti-ganti nama, namun ketahuan juga dan akhirnya meninggal di tangan kawan seperjuangannya sendiri.

Intisari-Onlien.com – Sosok Tan Malaka terasa remang-remang, dari awal hingga akhir. Demi Indonesia merdeka, ia rela keluar-masuk berbagai negara agar tak ditangkap polisi rahasia Belanda. la punya banyak nama alias, agar bisa berekspresi tanpa dicurigai.

la sempat tak dikenali rekan-rekan seperjuangannya, meski sudah bertahun-tahun kembali ke Indonesia. Tan Malaka memang seorang pejuang spesialis bawah tanah, bahkan sampai akhir hayatnya.

Tulisan Purnawan Basundoro ini mengungkapkan bagaimana sepak terjang Tan Malaka, salah satu bapak bangsa negeri Indonesia ini, seperti dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2009, dengan judul Tan Malaka Spesialis Bawah Tanah.

--

Baca Juga : Tan Malaka, Pendiri Sekaligus ‘Korban’ PKI yang Pernah Memimpikan Bersatunya Kekuatan Islam

Melalui Medan, Tan Malaka akhirnya sampai di Jakarta. Disewanya sebuah rumah kecil yang nyaris mirip gubuk di sebuah perkampungan di Jakarta. Setiap hari ia mendatangi perpustakaan museum yang cukup terkemuka pada waktu itu.

Berbagai informasi seputar marxisme dan sejarah dilahapnya. Ternyata di rumah kecil itulah tiap malam ia tumpahkan isi otaknya menjadi sebuah buku yang nantinya amat populer, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).

Buku tersebut merupakan penyesuaian pemahaman Tan Malaka mengenai teori-teori Marx dengan situasi dan kondisi Indonesia pada waktu itu. Madilog diselesaikannya hampir satu tahun hingga uang tabungannya menipis.

Demi menyambung hidup, Tan Malaka menerima tawaran bekerja di pertambangan batu bara di Bayah, di selatan Banten.

Baca Juga : Tan Malaka, Sosok Sunyi di Balik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945

Masyarakat setempat dan para romusha yang bekerja di pertambangan mengenalnya sebagai juru tulis yang baik hati.

la sempat mengorganisasikan para pemuda untuk memperbaiki nasib para romusha, membangun rumah sakit, membuat dapur umum untuk menyediakan makanan bagi para romusha, membentuk tim sepak bola, serta melatih dan membentuk kelompok sandiwara.

Ketika Soekarno dan Hatta, sebagai pengurus Pusat Tenaga Rakyat (Putera), berkunjung ke Bayah pada tahun 1944, Tan Malaka menjadi anggota panitia penyambutan.

Pertanyaannya kepada Soekarno mengenai kemerdekaan Indonesia malah sempat membuat Soekarno marah. Ketika kelompok Soekarno dan Hatta masih meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan oleh Jepang.

Baca Juga : Jalan Hidup Sepak Bola Tan Malaka

Tan Malaka bersikukuh bahwa kemerdekaan harus direbut dengan kekuatan rakyat Indonesia. Beberapa kali sebagai llyas Hussein ia diutus ke Jakarta untuk menjadi utusan Bayah dalam pertemuan-pertemuan dengan para politisi.

Kedoknya terbuka

Di mata para aktivis, Tan Malaka merupakan pribadi amat kharismatik. Saking kharismatiknya, ketika ia masih menggunakan nama samaran llyas Hussein, di Jakarta sering muncul orang-orang yang mengaku sebagai dirinya!

Betapa Tan Malaka memiliki banyak pengikut, terutama di Jakarta. Namun demikian, meskipun sebagian aktivis perjuangan di Jakarta sudah sering bertemu dengan dia, tak seorang pun mengenalinya.

Baca Juga : Pahlawan Nasional Tan Malaka; Menghilang Sampai Akhir Hayat

Kedok Tan Malaka mulai terkuak manakala ia bertamu ke rumah Soebardjo pada tanggal 25 Agustus 1945, satu minggu setelah Indonesia merdeka.

Dalam otobiografinya Soebardjo menuliskan tentang pertemuan itu: "... Ketika saya mendekatinya, saya kaget, 'Wah, kau Tan Malaka,' kata saya. "Saya kira kau sudah mati ...," Tan Malaka menjawab, "Alang-alang toh tak dapat musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya."

Kemerdekaan yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 nyaris terasa tanpa gairah dan sepi. Di beberapa tempat proklamasi kemerdekaan memang disambut dengan gembira tetapi serasa tanpa roh.

Sementara itu Sekutu mulai mendarat di Jakarta tanggal 9 September 1945 untuk melucuti tentara Jepang.

Baca Juga : Sejarawan Belanda: Makam di Selopanggung Terbukti Makan Tan Malaka

Dalam situasi semacam ini Tan Malaka berpikir, sudah tiba waktunya untuk menerapkan strategi politik yang sudah lama dianutnya, yaitu "massa-actie", pengerahan kekuatan rakyat. Aksi massa akan membuat Sekutu berhati-hati karena kemerdekaan Indonesia itu benar-benar terasakan dan didukung oleh rakyat.

Maka pada pertemuan pemuda tanggal 15 September 1945 ia mengusulkan agar rakyat dikumpulkan dalam rapat besar-besaran.

Rapat raksasa itu terselenggara pada tanggal 19 September 1945 di Lapangan Ikada (Monas saat ini). Pengawalan oleh Bala Tentara Jepang dilakukan amat ketat dengan senjata-senjata yang siap menyalak.

Ribuan orang mengalir dari segala penjuru Jakarta dengan harapan dapat mendengarkan pidato Bung Karno. Sayangnya, Bung Karno membatalkan rencana pidatonya untuk menghindari pertumpahan darah. la hanya berpesan agar rakyat tenang dan pulang ke rumah masing-masing.

Baca Juga : Membunuh Tanpa Suara, Salah Satu Materi Sekolah Anti Terorisme dan Komunisme di Amerika Serikat

Tidak haus kekuasaan

Walau selama bertahun-tahun bergerak di bawah tanah, Tan Malaka diakui sebagai sosok yang amat populer, baik di kalangan aktivis maupun rakyat Indonesia. Oleh karena itu rekan-rekannya mengusulkan kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar Tan Malaka dilibatkan dalam pemerintahan.

Tanggal 23 September Soebardjo mengundang Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh-tokoh politik lainnya untuk bertemu Tan Malaka di rumahnya. Tampil tak lagi dengan nama samaran, ia mengingatkan tentang pentingnya memberi penerangan kepada rakyat seluas-luasnya tentang perjuangan Republik Indonesia.

Hatta kemudian melamarnya untuk menjadi Menteri Penerangan. Tapi ia mengatakan, "Di waktu sekarang Saudara berdua, Soekarno-Hatta, sudah tepat itu. Biarlah saya menyokong dari belakang dengan mengerahkan rakyat di belakang Saudara".

Baca Juga : Runtuhnya Komunis di Rusia Menjadikan Ladang Obat Bius Potensial

Menolak berkompromi

Kedatangan kembali tentara Sekutu ke Indonesia pada akhir tahun 1945 ditanggapi secara beragam oleh kelompok-kelompok masyarakat. Rakyat curiga Sekutu memiliki misi memuluskan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.

Namun Perdana Menteri Sjahrir, didukung oleh sebagian besar politisi sipil seperti Soekarno dan Hatta, menghendaki jalan diplomasi.

Sebaliknya, Tan Malaka menghendaki agar mereka dihadapi dengan kekuatan rakyat. Tentara Belanda harus diusir dan Indonesia harus merdeka seratus persen! Konsepnya sejalan dengan haluan Jenderal Sudirman.

Baca Juga : Operasi Rahasia CIA Hancurkan Komunisme, Senyap Namun Korbankan Banyak Nyawa Tak Berdosa

Tan Malaka kemudian mengorganisasikan berbagai kelompok perjuangan di Indonesia dan membentuk Persatoean Perdjoeangan atau Volksfront (Front Rakyat), di Purwokerto tanggal 4 Januari 1946. Dalam pidato sambutannya yang tanpa catatan apa pun ia bilang,

"Orang toh tidak akan berunding dengan maling di dalam rumahnya .... Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap berlawan."

Jenderal Sudirman yang berpidato setelah itu menimpali, "Kedudukan dan kewajiban tentara yang saya pimpin ialah mempertahankan kemerdekaan seratus persen. Tentara timbul tenggelam dengan negara."

Pidatonya diakhiri dengan kalimat, "Lebih baik di-atoom sama sekali daripada merdeka ta' seratus persen." Kata-kata itu kontan menjadi tajuk berita koran-koran pada waktu itu.

Baca Juga : Tugu Tani di Menteng Merupakan Simbol Komunisme, Benarkah?

Persatoean Perdjoeangan dan Tan Malaka mengambil jalan oposisi terhadap pemerintah yang bersikukuh mengambil jalan diplomasi. Sikapnya ini dianggap menentang pemerintahan yang sah. Sjahrir merasa sangat kesulitan dengan agitasi di dalam negeri yang begitu hebat.

Atas saran orang-orang di sekelilingnya ia memutuskan agar Tan Malaka ditangkap. Sesudah Kongres Persatoean Perdjoeangan di Madiun pada bulan Maret 1946, Tan Malaka dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan Yogyakarta tanpa diadili.

Meninggal di tangan kawan seperjuangan

Takdir Tan Malaka tampaknya berjuang bagi Indonesia dari balik tabir. Begitu muncul ke permukaan, saat itu juga ia mengalami berbagai kesulitan. Bisa jadi karena ide-ide perjuangannya kelewat radikal melampaui zamannya.

Baca Juga : Paus Francis: Komunisme Itu Mencuri Gagasan Agama-agama

Bersamaan dengan meletusnya pemberontakan PKI di Madiun, Tan Malaka dibebaskan dari penjara Magelang. Beberapa hari kemudian ia bersama Soekarni mendirikan Partai Murba.

Tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Rl Yogyakarta diduduki tentara Belanda dalam Agresi Militer Kedua. Soekamo-Hatta dan beberapa pemimpin Republik ditawan oleh Belanda. Jenderal Sudirman beserta tentaranya memutuskan untuk melawan Belanda dengan cara bergerilya.

Jalan ini juga ditempuh oleh Tan Malaka. Bersama sepasukan kecil tentara ia bergerilya ke pedalaman Jawa Timur. Tapi sungguh naas, karena dituduh melakukan agitasi dan menghasut rakyat, Tan Malaka tewas ditembak oleh sekelompok tentara lain yang dipimpin oleh Soekotjo.

Sampai saat ini makamnya masih misterius. Menurut sejarawan yang bertahun-tahun meneliti kehidupan Tan Malaka, Harry A. Poeze, kemungkinan besar makamnya ada di Desa Selopanggung, di lereng Gunung Wilis, Kediri.

Baca Juga : Begini Cara Hidup Bebas dari Kaum Komunis Menurut Seorang Pengungsi Vietnam dalam Buku Hariannya

Artikel Terkait