Advertorial

Buenos Aires, Ibukota Argentina yang Kantor Kepresidenannya Beraura Feminim dan Berwarna Pink!

K. Tatik Wardayati
,
Aulia Dian Permata

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Buenos Aires tak cukup disebut sebagai ibu kota Argentina. Penguasa pendahulunya bercita-cita menjadikannya "Paris" di Amerika Selatan. Berhasilkah?

Yang jelas, di sana ada jalan terlebar di dunia. Mau menyeberanginya? Boleh-boleh saja. Mari kita simak tulisan Buenos Aires, Kota Kelahiran Tango yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2001 berikut ini.

Dari mana asal nama Buenos Aires? Konon itu gara-gara para pelaut Spanyol menamai pelabuhan sesuai santa pelindung mereka. Maka, satu pelabuhan dinamailah Santa Maria del Buen Aire (Santa Maria Pelindung Cuaca) yang akhirnya menjadi Buenos Aires.

Meski menjadi bagian dari negara Amerika Latin, Buenos Aires selalu dideskripsikan kental dengan aroma Eropa. Tidak salah. Karena sebagian besar populasinya keturunan imigran dari Spanyol dan Italia yang datang ke Argentina di akhir abad XIX - awal abad XX.

Baca Juga : Dulu Kaum Yahudi Hampir Memilih Argentina Sebagai Tanah Air, Bukan Palestina

Ada juga bangsa lain, meski minoritas, seperti Jerman, Inggris, Yahudi dari Eropa Tengah, dan Timur Tengah.

Sejak tahun 1930-an, sebagian besar imigran datang ke kota itu dari utara Argentina, dengan populasi utamanya kaum Mestizo (keturunan campuran Indian dan Eropa). Kini jumlah kaum Mestizo sekitar seperempat atau sepertiga populasi di wilayah metropolitan.

Muat 16 mobil berjajar

Dari Indonesia, untuk mencapai Amerika Selatan bisa dari beberapa arah, namun kami lewat Afrika Selatan. Sebagai gambaran tentang jaraknya, saya telah mencatat waktu terbang. Dari Kualalumpur ke Yohannesburg kami terbang 9 jam 30 menit, dari Yohanesburg dilanjutkan ke Capetown sekitar 1 jam 45 menit.

Baca Juga : Berniat Tenangkan Pasar, Presiden Argentina Malah Buat Blunder yang Bikin Rakyat Panik

Selanjutnya waktu terbang dari Capetown sampai Buenos Aires adalah 8 jam 15 menit. Betapa pun, karena kami menginap di Capetown, penerbangan yang hampir sepanjang 20 jam itu tidak terlalu melelahkan?

Tiba di Buenos Aires saat hari sudah gelap, kami langsung disuguhi suasana kota di waktu malam. Itulah kali pertama kami melewati Avenida 9 de Julio, konon jalan terlebar di dunia. Lebar tepatnya tidak disebut, tetapi cukup untuk menampung 16 mobil berjajar.

Itu pun belum termasuk jalur pinggir seperti jalur lambat kita. Konon, waktu membuat jalan itu gedung-gedung di sepanjang pinggir jalan itu dibabat habis.

Sepanjang jalan yang membelah kota dari utara ke selatan itu terdapat banyak jalur penyeberangan. Buku panduan wisata pun merekomendasikan untuk mencoba menyeberangi dengan memanfaatkan jalur penyeberangan dan median pembagi jalan. Rasanya, sulit dibayangkan, tapi tentu menjadi pengalaman tak terlupakan.

Baca Juga : Meski Kalah Dalam Pertempuran, Pasukan Argentina Malah Dipuji Pasukan Elite Inggris yang Menaklukkanya

Kabarnya tiap bulan Oktober pohon-pohon di pinggir jalan tidak lagi punya daun tapi penuh bunga ungu. Beruntung meski datang bulan Februari kami masih melihat beberapa pohon berhiaskan bunga ungu, meski tidak penuh betul. Ada jugd pohon yang memamerkan bunga merah jambunya.

Gedung opera yang juga kami lewati, semarak dengan lampu-lampu hias nan indah. Konon gedung dengan kapasitas 2.500 tempat duduk dan 500 tempat berdiri itu dilengkapi akustik yang bagus sekali. Opera Aida lengkap dengan kuda-kuda naik pentas pernah tampil .di sana.

Gedung Pemerintahnya ngepink

Keesokan harinya kami melakukan wisata kota. Sebelum berangkat kami mendapat saran untuk tidak menukar dolar AS dengan Peso. Bila berbelanja, langsung saja membayar dengah dolar AS.

Baca Juga : Tak Mau 'Sakiti' Palestina, Argentina Batalkan Laga Persahabatan Versus Israel

Penyebbnya, kalau kami masih punya sisa Peso, tidak bisa ditukar kembali ke dalam dolar AS. Karena mengikuti Currency Board System (CBS)-nya Steve Hanke, secara resmi AS $ 1 .= 1 Peso. Akibatnya segelas Coca-Cola harganya bisa AS $ 3.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah katedral, terletak di sebuah taman yang tidak terlalu luas, yakni Main Square atau Plaza de Mayo.

Di lapangan itu ada tugu peringatan Liberty kemerdekaan dari Spanyol tanggal 25 Mei 1810.

Plaza de Mayo (Mayo Square) yang didirikan atas inisiatif Juan de Garay tahun 1580 menjadi saksi atas semua peristiwa politik di Argentina. Bangunan berbeda dari periode berbeda ada di sekitarnya, yakni gedung pemerintahan nasional atau Gedung Merah Jambu, Cabildo atau baled kota, Katedral Metropolitan, dan gedung bank.

Baca Juga : Ketika Pasukan Komando Inggris Membantai Tentara Argentina dalam Perang Brutal di Falkland pada 1982

Katedral Metropolitan sering diidentikkan sebagai Monumen Sejarah Nasional. Selain menyaksikan altar gaya barok dari akhir abad XVIII, pengunjung dapat menjenguk mausoleum liberator Argentina Jenderal San Martin yang diukir oleh pemahat Prancis Alberto Ernest Carrier Belleuse.

Bangunan bank yang menempati satu blok penuh benar-benar merupakan masterpiece arsitektur. Bangunan yang ada sekarang diselesaikan tahun 1944, meski konstruksinya dimulai tahun 1941 di bawah arahan arsitek Alejandro Bustilla.

Interior kubah, di atas lantai utama, disebut sebagai yang terbesar di dunia dari segi ukuran dan berat. Dalam Hole of Soul, di lantai dua, terdapat 11.290 peti besi.

Pada sisi lain taman tampak Gedung Merah Jambu, kantor kepresidenan, yang warnanya memang merah muda. Gedung ini berwarna demikian sejak tahun 1810, zaman Primera Junta (the first council).

Baca Juga : Ketika Alam 'Membalas': Sungai Besar di Argentina Ini Tiba-tiba Muncul dalam Semalam

Menurut pemandu kami, ada tiga versi, mengapa wamanya merah jambu sampai sekarang. Yang pertama, konon itu labur putih tercampur darah, versi berikut karena reaksi kimia jamur dan, yang terakhir, karena tahun 1850 ada dua partai yang terus bertengkar.

Maka Presiden Sarmiento tahun 1873 mengambil keputusan untuk mewarnai kantornya dengan campuran kedua warna partai itu.

Merah ialah warna dari kaum federal dikepalai oleh Juan Manuel de Rosas dan putih ialah warna dari oposisi, kaum Unitarian. Sayang, biarpun warna kantor kepresidenan sudah merah jambu, pertikaian tetap berlangsung. Pemandu kami percaya pada versi kedua, namun dalam buku panduan resmi hanya disebut versi ketiga.

Plaza de Mayo sampai kini masih menjadi tempat kegiatan politik. Setiap Kamis pukul 15.00 di taman plaza yang lantainya bergambar tutup kepala para oma berunjuk rasa karena anak-anak mereka dibunuh dan cucu mereka diambil di zaman rezim militer tahun 1970 - 1983.

Baca Juga : Demi Tangkap dan Hukum Sendiri Penjagal Warga Yahudi, Mossad ‘Obrak-abrik’ Argentina

Para oma yang berdemo mengenakantutup kepala dengan bagian belakang bertuliskan nama-nama cucu mereka.

Akibat tragedi kemanusiaan itu, tak sedikit anak kehilangan orang tua. Ada sebagian dari anak bernasib malang itu yang diadopsi. Beberapa orang tua angkat menuturkan pada mereka tentang kisah pahit yang sebenarnya, yang mengubah nasib anak-anak itu. Tragedi itu sendiri telah dibuat film yang saya lihat sepotong di televisi.

Museum jalanan

Kunjungan berikutnya adalah La Boca, daerah pelabuhan. Wilayah ini berciri khas imigran Eropa, terutama Italia, yang berdatangan antara 1860 dan 1910. Karenanya daerah itu juga disebut Piccola Italia (Italia kecil). Selanjutnya kami diajak ke jalan tidak terlalu panjang yang disulap menjadi museum seni terbuka.

Baca Juga : Adolf Eichmann, Penjagal Jutaan Yahudi yang Jago Menyamar dan Meloloskan Diri hingga Bisa Hidup Nyaman di Argentina

Sambil menyusurinya kami menonton beraneka kegiatan seni. Ada kelompok yang main musik di sudut jalan, ada banyak lukisan dipamerkan, sementara di ujung lain ada pria mencat dirinya dengan warna perak.

Ia berpose diam kaku layaknya patung. Salah seorang dari kelompok kami mendekatinya, lalu berpose dengan "patung" itu seakanakan sedang menari tango. Hebatnya, sang "patung" tak sedikit pun tergelitik untuk bergoyang.

Di daerah penuh kafe itu juga terdapat beberapa rumah bordil. Tapi, La Boca-lah tempat cikal bakal tari tango.

Caminito atau museum jalanan itu diinaugurasi tahun 1959. Ide nama Caminito datang dari pelukis terkenal Quinquela Martin (1890-1977). Anak keluarga miskin itu diadopsi pedagang arang batu. Ternyata ia tidak berminat untuk meneruskan usaha ayah angkatnya, karena lebih suka menjadi seniman.

Baca Juga : Gancendo Meteorite, Meteorit Seberat 30 Ton Ditemukan di Argentina

Tak hanya Caminito, Quinquela Martin pula yang punya gagasan membangun ciri mencolok La Boca, yaitu rumah-rumah yang dicat warna-warni. Tujuan sang seniman adalah mengubah tempat itu menjadi jalanan yang sibuk dan hidup dengan warna-warni khas, bukannya sekadar sebagai jalan pintas.

De la Rivrea Theater di daerah itu pun dibangun di atas tanah sumbangan Martin. Maradona, yang Desember 2000 diganjar gelar Pemain Terbaik Abad Ini, juga memulai kariernya sebagai pemain sepakbola di stadion daerah ini.

"The Thinker" cetakan

San Telmo menjadi daerah kunjungan berikutnya. Dulu daerah itu dihuni keluarga aristokrat sampai meletus wabah sakit kuning tahun 1871. Terpaksa penghuninya pindah ke utara.

Baca Juga : Jutaan Kumbang Menyerbu Pantai Selatan Argentina, Beberapa Orang Menyebutnya sebagai Tanda Hari Kiamat

Waktu berlalu. Imigran baru pun tiba. Rumah-rumah besar itu kemudian dihuni oleh orang-orang yang hidup bebas dan miskin. Baru di tahun 1970 ada sekelompok orang yang menemukan kembali keindahan karya arsitektur yang berharga itu.

Biar pun masih agak kumuh, keindahannya masih tampak sampai sekarang. Sayang kami tidak datang pada hari Minggu saat ada San Telmo Market di Dorrego Square. Biasanya di sana ditawarkan barang antik, karya seni, pertunjukan artis jalanan, dan pasangan yang memberi show tango gratis.

Dalam perjalanan keliling kota di salah satu taman saya melihat patung "The Thinker" yang sedang termenung karya terkenal pematung Prancis Rodin (1840 - 1917). Saya sempat terheran-heran karena menjumpai sesuatu yang tidak saya perkirakan.

Lebih mengherankan si pemandu mengatakan, itu soal kecil. Di Buenos Aires ada sekitar lima "The Thinker". Soalnya, patung itu terbuat dari perunggu dan tinggal dicetak, katanya lagi.

Baca Juga : Dengan Jaring-Jaringnya, Jutaan Laba-Laba Menutupi Daerah di Argentina sehingga Disebut Lendirnya Setan

Kami juga menjumpai jam "Big Ben" hadiah dari pemerintah Inggris. Menara gaya Renaissance itu tingginya sekitar 70 m.

Makam Evita Peron sederhana

Lain San Telmo lain Recoleta, daerah elite yang mengkombinasi tempat jalan kaki, dengan restoran, toko dan butik tingkat tinggi, dengan bangunan dan patung gaya Prancis. Pokoknya mirip Paris. Tak heran bila ada yang mengatakan wilayah ini adalah potongan dari Paris.

Recoleta adalah nama dari ordo Fransiskan Recoleta yang mempunyai biara di sana pada permulaan abad ke XVIII. Kami sempat menikmati hidangan di sebuah restoran di sana.

Baca Juga : Dinosaurus Raksasa Ditemukan di Argentina

Namun, yang lebih mengesankan adalah pemakaman Recoleta. Mula-mula tanah pemakaman itu milik gereja dan biara Recoletos, tetapi sekarang sudah milik kotapraja.

Pemakaman yang terdiri atas empat blok itu dibuka tahun 1822, dan merupakan yang tertua di Buenos Aires. Banyak patung dan kubahnya dibuat oleh seniman lokal maupun luar negeri yang terkenal di dunia.

Tujuan utama kami ke sana melihat tempat peristirahatan terakhir Evita Peron. Dibandingkan banyak "mausoleum" lain dalam kompleks itu, pemakaman keluarga Duarte tidak ada apa-apanya. Hanya seperti ruangan manner hitam biasa dengan nama Familia Duarte di depan.

Padahal, konon sebenarnya Evita bukan anak sah tuan Duarte, tetapi anak dari pembantu Juana Ibarburen. Seharusnya ia memakai nama ibunya, tetapi karena berkuasa ia mengganti namanya menjadi Duarte. Selain Evita, di situ juga disemayamkan ibu dan saudaranya.

Baca Juga : Sergio Romero, Si Tangan Tuhan Baru Argentina

Evita lahir tahun 1919, dan meninggal tahun 1952 karena kanker. Sebagai istri Peron ia sering main Robin Hood. Pernah ia meminta 5.000 sepeda untuk dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Akibatnya, banyak pabrik bangkrut.

Dalam perjalanan kami juga banyak melihat gedung hadiah Peron kepada istrinya, yang kini kantor.

Tokoh-tokoh lain yang dimakamkan di situ, di antaranya raja pers Argentina, keluarga Paz yang kaya raya, tetapi tidak mempunyai anak. Selain meninggalkan rumah bagus di kota, makam Paz dihiasi pahatan besar menggambarkan anak-anak.

Baca Juga : Bertemu Evita Peron di Recoleta, Buenos Aires

Banyak pintu makam terbuat dari kaca atau jeruji, sehingga orang bisa melihat ke dalam. Ada yang mempunyai ruang bawah tanah dalam dengan tangga turun, tetapi ada juga yang peti bagusnya jelas kelihatan dari luar.

Ada yang setiap minggu diberi bunga mawar segar. Sayang gang-gang di tempat pemakaman itu sempit sehingga sulit untuk membuat foto yang bagus.

Kunjungan ke Buenos Aires malam itu diakhiri dengan menonton Tango beneran, di gedung tidak terlalu megah di daerah La Boca. Tango menorehkan kesan makin kuat, bahwa Buenos Aires memang kota kesenian. (I)

Baca Juga : Argentina Tersingkir dari Piala Dunia 2018, Penggemar Berat Lionel Messi Ini Bunuh Diri

Artikel Terkait