Advertorial
Intisari-Online.com – Bagi para mahasiswa yang sedang berjuang mengerjakan skripsi, mungkin rasanya sama berat dengan seorang prajurit yang berjuang di medan perang.
Terutama jika berhubungan dengan dosen, entah itu menunggu dosen yang tak kunjung datang atau bahkan diberikan nilai yang tak memuaskan.
Kasus nilai yang diberikan dosen tak memuaskan dialami oleh Mahasiswa S2 di Monash University Australia.
Menurut Newshub seperti dikutip dari World of Buzz, mahasiswa master jurnalisme bernama Chinmay Naik ini menyerahkan tugas tentang stereotip negatif pada anjing.
Baca Juga : Sering Begadang dan Kurang Tidur bisa Bikin IPK Mahasiswa Terjun Bebas Lo! Ini Alasannya
Ia terkejut bukan main ketika mendapatkan nilai 12 dari 100 untuk tugasnya itu.
Tugasnya telh dinilai untuk kedua kalinya namnun hanya ada sedikit peningkatan dalam nilainya.
Tugas yang berisi wawancara dengan para pemelihara anjing itu dikritik oleh dosen lantaran dinilai tidak memiliki struktur narasi, satu overlay, tidak ada wawancara dengan ahli, dan juga tidak ada awal / tengah / akhir yang jelas.
Chinmay tidak terima dengan hasil penilaian itu, ia menganggap tugasnya setidaknya layak untuk mendapat nilai angka kelulusan minimal.
Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan hasil terbaik.
Mahasiswa magister ini memberi keterangan di pengadilan bahwa kampusnya bertindak tidak sah karena tidak mengungkapkan siapa dosen yang menilai.
Kasus ini juga dibawa ke kantor Perdana Menteri Australia, Komisi Hak Asasi Manusia dan bahkan advokat publik, yang semuanya menolak banding Chinmay.
Di Indonesia sendiri, kasus mahasiswa yang protes kepada dosen karena diberikan nilai jelek juga pernah terjadi.
Seperti dikutip dari Tribun Manado, Januari 2018 lalu sempat viral seorang dosen yang membagikan ceritanya lantaran diprotes mahasiswanya yang mendapat nilai C.
Baca Juga : Viral Video Dosen 'Pungut' Rp2.000 ke Mahasiswa, Ini Tanggapan Psikolog Pendidikan
Dalam status yang dituliskan akun @Mahdarena di pesan instan LINE, Kamis (11/1/2018), Siti Julaihah FD, nama dosen tersebut, mengaku diprotes oleh mahasiswanya karena mendapat nilai C.
Mahasiswa tersebut diketahui selalu hadir dalam perkuliahan, selalu mengumpulkan tugas dan mengikuti ujian.
Namun, Siti mempunyai alasan tersendiri mengapa ia harus memberikan nilai C kepada mahasiswanya.
Menurutnya, mahasiswa lebih baik mendapat nilai biasa namun sebaliknya dia punya skill luar biasa.
Pendidikan di lingkup perguruan tinggi, tulis dalam status tersebut, harus mengutamakan kemampuan, keilmuan, keahlian, bukan hanya membanggakan nilai.
Berikut jawaban lengkap Siti, dalam akun line Mahdanera.
Baca Juga : Kapal Penuh Kokain Senilai Rp530 Miliar Hilang secara Misterius, Jejaknya pun Tak Ditemukan
Nilai untuk Mahasiswa.
Tanda2 akhir jaman kali ya, ada mahasiswa protes pada sy gara2 sy kasih nilai C.
Protes krna merasa selalu masuk, selalu mengumpulkan tugas, dan ikut ujian.
Bagi dosen, memberi nilai A atau B itu gampang, tapi nantinya akan jadi beban jika ternyata kemampuan mahasiswa nggak singkron antara nilai di atas kertas dg keilmuannya.
Bagaimana kita mempertanggungjawabkan nilai2 yg begitu bombastis dg keahlian saat memasuki dunia kerja.
Ada teman sy yg suka memberi nilai A, semua mahasiswa yg ikut mata kuliahnya diberi nilai A.
Dia menjelaskan ke mahasiswanya bahwa nilai A itu biar jadi beban moral setelah lulus nanti.
Dengan nilai bagus, mahasiswa harus mengupgrade skillnya supaya sesuai dg nilai di atas kertas.
Jadi, pemberian nilai A bagi teman sy bukan karena penghargaan, tapi sebagai pecutan bagi mahasiswa; nilaimu sebagus itu kamu bisa apa?
Beda dosen beda kebijakan. Sy nggak bisa memberi nilai seragam, harus ada bedanya antara mahasiswa cerdas, kreatif, dan rajin, dengan mahasiswa yg hanya rajin tapi nggak cerdas apalagi kreatif.
Apa gunanya dunia akademik jika bukan utk mengukur inteligensi.
Dulu saat kuliah S1, sy pernah dpt nilai D, padahal sy selalu masuk, tapi memang tugas2 dikerjakan alakadarnya dan ujian gak belajar sama sekali karena sibuk organisasi dan sibuk pacaran.
Saat kuliah S1 itu sy termasuk mahasiswa rajin tapi nggak cerdas apalagi kreatif, wajar dapet nilai D.
Sakit hati memang dapet nilai jelek, tapi itu yg harus sy telan, dan sy nggak berani protes ke dosen, cuma bisa mewek di kos-kosan.
Ketika sy dapet kesempatan melanjutkan studi S2, dua semester berturut-turut nilai sy A semua, otomatis IPK 4. Di akhir masa kuliah ada nilai B tapi cuma satu, puncaknya nama sy disebut sebagai lulusan terbaik di upacara yudisium.
Kalo ada teman atau sodara yg bilang hebat ya nilaimu bagus, sy selalu jawab, profesor sy ngantuk waktu nyatet nilai sy, niatnya ngasih B atau C malah yg kecatet A.
Sy juga ingin protes ke dosen2 sy yg bergelar doktor, Ph.D, dan profesor, kenapa ngasih nilai A semua, cuma satu B-nya.
Sy ingin protes karena merasa nggak layak, sy merasa bodoh, nggak kuat nanggung beban seberat itu.
Pertanyaan yg baik itu bukan berapa nilaimu, tapi apa skillmu?
Nilainya bagus tapi o'on kaya sy, mending nilai biasa2 tapi skillnya luar biasa.
Pendidikan di lingkup perguruan tinggi harus mengutamakan kemampuan, keilmuan, keahlian, bukan cuma membanggakan nilai.
Saat ini lebih marak minuman rasa jeruk dibanding air jeruk beneran, makanan rasa sapi dibanding daging sapi sungguhan.
Jangan sampe kampus-kampus tempat mencetak agent of change malah ikutan industri makanan dan minuman, judulnya aja "sari jeruk" tapi cuma air diwarnai dan ditambah perasa.
Gelarnya aja sarjana, tapi dituntut skill cuma melongo.
Siti Julaihah FD
Semarang, 10 Januari 2018
Baca Juga : 'Hanya' untuk Tentukan Tomat Termasuk Buah Atau Sayur, Mahkamah Agung Harus Turun Tangan