Advertorial
Intisari-Online.com – Bagaimana wajah Jakarta dan penduduknya pada dekade pertama abad XX? Ternyata seperti dunia lain bagi kita, walaupun ada juga hal-hal yang masih sama dengan sekarang.
Kita ikuti saja kesan-kesan Augusta de Wit, seorang wanita Eropa yang mendarat di Tanjungpriok pada awal abad ini dari bukunya Java, Facts and Fancies (1921). Bukunya dicukil oleh Helen Ishwara dan dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1999.
--
Gaji orang Belanda di Jawa lebih tinggi daripada di negerinya. Soalnya, siapa yang mau dikirim jauh-jauh dan bekerja dalam udara panas yang melelahkan kalau gajinya sama saja?
Baca Juga : Diboikot Mataram, Kompeni di Batavia Terancam Kelaparan, Tapi Malah Selamat Berkat Sulap
Orang yang gajinya sedang-sedang saja di Jawa bisa memiliki rumah yang besar, punya kereta, makan dengan leluasa, dan pembantu enam tujuh orang. Bahkan tidak jarang sampai 10 orang.
Tak lama setelah kedatangan saya ke Batavia, saya diundang ke pesta dansa di istana. Saat itu saya tinggal di rumdh teman saya di Salemba. Kami pergi dengan kereta yang lewat di kegelapan malam, di bawah naungan pohon-pohon beringin.
Di bawah pohon kadang-kadang terlihat kelap-kelip cahaya pelita tukang buah. Sekali-sekali sebagian wajahnya yang kena cahaya lampu terlihat, begitu pula keranjang buah-buahannya.
Sesekali kami melewati beberapa penduduk pribumi yang sedang berjaga malam sambil mengelilingi api unggun. "Siapa itu?" tanya salah seorang di antara mereka dengan suara parau.
Baca Juga : Sepenggal Kisah Gemerlap Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC
Selama sejam kami serasa berkendaraan dalam hutan yang sunyi dan jauh dari mana-mana. Namun, sekonyong-konyong saja tampak cahaya terang benderang di suatu belokan. Istana Gubernur Jenderal. Di sekitar sumber cahaya,itu berserak lentera-lentera, lampu-lampu minyak, dan lampu-lampu kereta.
Saya pun mendaki tangga putih menuju ke serambi yang berpilar-pilar putih dan bermandikan cahaya. Tiba-tiba saya merasa bahwa istana-istana dalam dongeng mestinya seperti ini.
Kemudian musik dimainkan dan polonaise dimulai. Intan dan emas gemerlapan, bersaingan dengan kilatan bahu yang terbuka dan l ambaian rok yang menyapu lantai pualam berwarna terang. "Rasanya, kita mesti pindah ke tempat ini," kata pasangan saya.
Naik pangkat lewat KKN
Baca Juga : HUT DKI Jakarta Ke-491: Kala Senayan Masih Jadi Kampung Betawi dan Tebet Masih Berupa Hutan Belukar
Walaupun membosankan, seorang pegawai pemerintah tidak berani tidak hadir di pesta atasannya. Absen ke perjamuan bisa mengalangi ia naik pangkat. Istri atasannya bisa mempengaruhi nasibnya. Kalau istri bos tidak berkenan pada istri anak buah suaminya, jangan harap anak buah itu bisa meniti jenjang karier.
Pegawai pemerintah yang ingin naik pangkat memang tidak bisa cuma mengandalkan kepandaian dan prestasinya, tapi juga latar belakang keluarganya dan “keterampilan khusus". Umpamanya saja, kalau bosnya doyan makan enak, mungkin dia perlu mengantarkan pate-de-foiegras (makanan mahal dari Prancis yang dibuat dari hati unggas) dan anggur burgundy.
Kalau bosnya bangga betul pada putrinya, maka berbahagialah dia yang pandai berdansa dan rajin meminta anak bos berdansa dengannya di pesta-pesta. Kalau bos keranjingan main kartu, beruntunglah dia yang pandai dan tahan meladeni bos main kartu dalam pertemuan-pertemuan di rumah bos.
Semua hari besar yang berkenaan dengan bos sebaiknya diingat baik-baik. Kalau perlu, catatannya ditempel di kaca rias supaya jangan luput dari ingatan. Pada hari itu, begitu lonceng berbunyi tujuh kali di sore hari, buru-buru sajalah berangkat ke rumah bos.
Baca Juga : Jakarta Diprediksi Jadi Kota Pertama di Dunia yang akan Tenggelam, Begini Penjelasannya
Bagi pendatang baru, birokrasi seperti itu tentu saja sangat menyebalkan, tapi lama-kelamaan mereka jadi terbiasa.
Namun, setinggi apa pun pangkat pejabat pemerintah di Jawa, ia mesti pandai menahan diri, sebab kalau ia kembali ke Den Haag, ia cuma akan menjadi sekadar Meneer Jansen atau Meneer Smit, bukan residen lagi. Lagi pula teman sepergaulannya di Jawa bukan cuma pejabat.
Belanda yang sudah lama di Jawa, sikapnya lebih luwes daripada Belanda "baru". Bungalow di Batavia yang terbuka, yang dinaungi pohon-pohon tinggi, rupanya mencairkan kekakuan yang terbentuk dalam rumah-rumah keluarga yang seperti benteng abad XVII di sepanjang Heerengracht di Amsterdam.
Hidup di luar rumah
Baca Juga : Potret Perjuangan Pasukan Oranye: Berjibaku Dengan Sampah, Demi Kali Jakarta yang Indah
Di Jawa, orang Barat dan orang Timur sudah hidup berdampingan selama tiga abad. Yang satu bisa berbicara dalam bahasa yang lain. Mereka saling tergantung dan tidak saling membenci. Namun, orang Belanda tidak memahami orang Jawa dan begitu pula sebaliknya.
Saya mengaku bahwa saya tidak mengenal jiwa orang Jawa, walaupun saya memperhatikan mereka. Yang saya tahu cuma keadaan lahiriahnya saja.
Kebanyakan mereka hidup di luar rumah: mandi di kali, makan di tepi jalan, bahkan tidur di bawah pohon atau emper rumah, di bawah cahaya bulan. Hal ini tentu ganjil sekali bagi orang-orang dari Utara yang terbiasa memenjarakan dirinya di balik kungkungan dinding dan atap.
Namun, kalau melihat mereka, kita mesti mengakui bahwa cara hidup mereka itu baik dan cocok buat mereka.
Baca Juga : Andai Bom Nuklir Dijatuhkan di Monas, Jakarta Akan Menjadi Seperti Ini
Di Tanahabang, saya sering melihat mereka mandi di kali pagi-pagl sekali. Kaum pria membuka pakaian lalu mencebur dan menyelam di kali. Ketika mereka naik, tubuhnya yang coklat tampak seperti patung-patung perunggu.
Kaum wanita turun ke kali dengan cara lebih tenang. Mereka memakai kain basahan. Ibu-ibu muda membimbing anak-anak mereka ke tempat yang dangkal.
Anak laki-laki dan perempuan berenang sambil main ciprat-cipratan dengan berisik. Sementara itu gadis-gadis remaja bercanda di tempat yang teraling tanaman air sambil saling mengguyur dengan gayung dari daun kelapa. Rambutnya yang hitam panjang itu berkilat-kilat dan kain basahannya rapat menempel ke tubuh.
Kadang-kadang lewat rakit. Penumpangnya sedang sarapan di bawah atap. Penumpang rakit saling menyapa dengan orang-orang yang mandi. Kadang-kadang mereka ikut bercanda juga.
Baca Juga : Parah! Polusi Udara di Jakarta Masuk 3 Besar Terburuk, Levelnya Sudah 'Tidak Sehat'
Selesai mandi para wanita beriring-iringan naik dan pergi ke tukang bunga. Orang-orang di Jawa senang bunga: melati putih, mawar merah, cempaka kuning, pacar air.
Walaupun tanaman bunga mudah tumbuh di sini, ,tapi di Batavia saya belum pernah melihat mereka bertanam bunga dekat gubuknya. Paling-paling kembang sepatu di pagar. Mereka juga tidak terbiasa menaruh bunga dalam jembangan.
Bunga adalah untuk dipakai di rambut mereka yang panjang, yang dikeramas dengan abu jerami padi dan dibilas dengan air bunga sebelum diberi minyak akar wangi.
Bunga juga ditaburkan di antara pakaian mereka. Motif bunga-bungaan menghiasi pakaian mereka dan ragam hias mereka. Anak-anak meronce bunga tanjung untuk dipakai sebagai kalung. Bunga juga dipakai untuk sesajen.
Baca Juga : Buaya Muara Muncul di Kali Grogol Jakarta, 3 Ekor Ayam Digunakan Untuk memancingnya
Makannya sepersepuluh orang Belanda
Di Tanahabang dan Koningsplein, di bagian yang dihuhi oleh pribumi, ada warung-warung penjual makanan. Tapi lebih banyak lagi warung-warung yang lebih kecil dan portable. Ada yang mangkal di pinggir kali, sepanjang kanal, di pojok-pojok jalan, di stasiun, di pangkalan sado.
Mereka datang memikul warung berjalannya itu pagipagi sekali. Lalu dagangannya yang aneka warna dan piring-gelas-botolnya diatur supaya menarik. Mereka menurunkan anglonya dan mulai beroperasi.
Ada yang menjual nasi dengan ikan asin dan sambel, kue hijau yang diberi parutan kelapa berwama putih, pelbagai macam kue manis berwarna-warni mencolok yang disajikan di daun pisang segar yang hijau.
Baca Juga : (Foto) Resmi Disegel Pemprov DKI Jakarta, Ini Kumpulan Foto Bangunan di Pulau Reklamasi D, Mewah Banget!
Penduduk Jawa sedikit sekali makannya dan tidak mewah. Sebungkus nasi dengan ikan asin dan sambal cukup untuk sendiri. Orang Eropa akan menginsafi betapa rakusnya mereka kalau melihat orang Jawa makan.
Bayangkan, cuma sepersepuluh dari yang kita lahap. Padahal mereka mesti berjalan kaki sepanjang hari dan memikul beban yang berat.
Tampaknya, mereka penggemar makanan manis. Sambil duduk di dingklik, mereka makan dengan nikmat kue-kue berwarna kuning, putih, merah jambu, dan minum sirup. Anak-anak juga boleh makan. Anak-anak tidak dipercaya untuk makan sendiri, tapi disuapi.
Anak yang masih kecil sekali direbahkan di paha, lalu mulutnya dijejali dengan nasi yang dihaluskan bersama pisang. Mau tidak mau, menangis atau tidak, makanan itu mesti ditelan. Kalau si ibu merasa anaknya sudah cukup makan, barulah penjejalan dihentikan.
Lalu si anak boleh bangkit. Ibunya menyeka air matanya dan mendekapnya. Si anak pun digoyang-goyang sampai tertidur.
Ayam aduan harus dipijat
Sesudah sarapan, penduduk pribumi mulai bekerja. Di kota-kota mereka tidak bisa bertani. Sementara itu pertukangan dan perdagangan kebanyakan berada di tangan orang-orang Tionghoa. Jadi, selain bekerja seperti yang tadi diceritakan, banyak juga diantara mereka yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah-rumah orang Eropa.
Menjelang pukul empat, mereka kembali mandi di kali. Lalu mereka merokok atau mengunyah sirih sambil mengobrol. Saat musim kemarau mereka bermain layang-layang di lapangan-lapangan dan taman-taman di Batavia.
Baca Juga : Gara-gara 'Ulah' Kapal Selam Indonesia, Jakarta Nyaris Dibom Australia, Pintu Perang pun Nyaris Terbuka
Layangan mereka ada yang bersayap seperti burung, ada yang seperti naga, ada juga yang bisa berbunyi. Ada yang disebut "sawangan", "palembang", "kuncir", dsb.
Ada juga layangan aduan. Layangan berbentuk trapesium dari bambu dan kertas tipis itu digambari tokbh-tokoh. wayang. Benangnya diberi gelasan, yaitu tumbukan beling yang dicampur dengan perekat.
Mereka juga mengadu ayam atau jangkrik, tapi secara diam-diam karena dilarang oleh pemerintah. Dalam semua permainan itu, betapa pun juga serunya, mereka tidak berteriak-teriak seperti orang Barat yang "barbar". Mereka menjaga perasaannya dan menekan rasa irinya terhadap lawan.
Ayam aduan dipelihara dengan seksama. Hewan itu diberi nasi, air, daging cincang, dan jamu! Takarannya sangat cermat. Secara berkala binatang itu dimandikan, dikeramasi, dijemur, dipijat leher, sayap , dan pahanya supaya kuat dan luwes.
Baca Juga : Jika Jakarta Ramai Gara-gara Mesin Pengolah Tinja Jadi Air Minum, NASA Kembangkan Tinja Jadi Makanan
Penduduk pribumi juga senang menonton wayang: wayang orang, wayang kulit. Musik pengiringnya gamelan dan ceritanya diambil dari Mahabharata dan Ramayana.
Masih banyak buaya
Saya mendengar pelbagai dongeng-dongeng Nyai Loro Kidul, dongeng Kyai Belorong, dan macam-macam lagi. Namun, rasanya buaya-buaya yang hidup di rawa-rawa muara Kali Betawi lebih ditakuti daripada Kyai Belorong.
Kadang-kadang reptil itu kelihatan berjemur dengan mulut mengangga. Mereka menunggu bangkai binatang yang dihanyutkan air. Ada kalanya mereka juga menyambar manusia yang sedang mandi.
Baca Juga : DKI Jakarta Bersiap Miliki Pengubah Tinja Jadi Air Minum dalam Setengah Jam
Karena dianggap berbahaya, beberapa tahun sebelumnya pemerintah menjanjikan hadiah bagi orang yang bisa menangkap buaya. Lalu berdatanganlah penduduk yang memikul bangkai-bangkai anak buaya dengan bambu. Walaupun bukan buaya dewasa, pembawanya mendapat hadiah juga.
Kemudian baru ketahuan bahwa penduduk bukan menangkap buaya, melainkan mengambil telurnya untuk ditetaskan. Setelah dipelihara beberapa lama, anak buaya ini dibawa kepada sekdut (polisi). Sejak itu hadiah dihentikan dan buaya-buaya dibiarkan berkembang biak di pantai utara Pulau Jawa.
Sesekali ada juga pemburu yang sok mau berburu buaya. Mereka mengintai berlama-lama di rawa-rawa. Yang mereka peroleh bukan binatang buruan, melainkan demam. Demamnya berbahaya lagi!
Jawa bagi saya, seperti bagi banyak orang, memang harus selalu merupakan negeri dalam mimpi. Negeri Dongeng, dan rumah yang bahagia bagi penduduknya.
Baca Juga : Tak Hanya dari Zaman Penjajah, Banjir Bahkan Sudah Melanda Jakarta Sejak Zaman Raja Purnawarman