Advertorial
Intisari-Online.com – Belajar untuk mendalami pekerjaan tertentu di negara Barat rasanya sudah biasa. Paling sedikit pengajar bisa berbahasa Inggris. Namun bagaimana kalau orang dikirim ke Jepang?
Orang Jepang terkenal tidak bisa berbahasa lain dan buku-buku teks umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Bambang Prasetyo menceritakan pengalamannya di sana, seperti dituangkan dalam Majalah Intisari edisi September 1981.
Pada bulan Oktober tahun 1980, saya dan seorang teman ditugaskan oleh perusahaan tempat saya bekerja untuk menjalani suatu latihan kerjadi Jepang.
Di sana saya tidak langsung ditempatkan di lapangan untuk praktek kerja, tetapi di Kanshai Kenshu Center, yaitu pusat pengajaran bahasa Jepang di Osaka.
Baca Juga : Makan Siang Bersama di Sekolah Jepang Ternyata Menyimpan 'Rahasia' Besar
Pada pcriode-periode tertentu Kenshu Center ini menerima siswa dari berbagai negara yang akan mengikuti latihan kerja di Jepang. Rombongan dari Indonesia ada 13 orang yang dikirim oleh beberapa perusahaan yang ada di Indonesia. Selain dari negara Asia, juga ada dari Amerika latin, Afrika dan Arab. Orang Indonesia termasuk banyak.
Kenshu Center ini dilengkapi dengan laboratorium bahasa dan audio-visual. Para siswa dipinjami tape recorder untuk belajar pada waktu malam dan kaset. Ada pula perlengkapan mesin cuci dan strika listrik, alat olahraga, dan alat-alat musik. Makanannya bersifat internasional dengan sistem self-service.
Kami belajar bahasa Jepang selama lima minggu ditambah satu minggu untuk piknik. Jadwal pelajaran dari jam 09.00. sampai 12.30. Dalam satu kelas cuma ada 10 siswa dari berbagai negara. Maksudnya agar tidak selalu menggunakan bahasa sendiri.
Pengajarnya orang Jepang yang sedikit sekali bisa bahasa Inggris. Ucapan murid dalam mengeja bahasa Jepang betul-betul didengarkan dengan cermat. Tiap 3 jam pelajaran, sudah harus hafal 40 kata. Setiap hari diadakan tes lisan dan tertulis ditambah pekerjaan rumah untuk mengukur kemajuan siswa.
Baca Juga : Jangan Salah Arti, di Jepang Mengangguk Ramah Bisa Berarti ‘Tidak’
Bagi lidah orang Indonesia, tidaklah sulit untuk mengucapkan kata-kata Jepang. Sehari-hari kami dianjurkan mengobrol dalam bahasa ini dengan orang-orang Jepang yang kami kenal, supaya cepat lancar berbicara.
Sore harinya kami mendengarkan ceramah dari para profesor berbagai universitas. Antara lain mengenai ilmu bumi negara Jepang, sejarahnya, adat istiadat dan kebudayaan, bussiness administration, quality control dan sebagainya.
Dalam ceramah, orang Indonesia dikumpulkan dengan orang Indonesia. Ceramah kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh orang Indonesia yang telah lama menuntut ilmu di negara ini. Pada kesempatan lain, selain mengikuti ceramah kami diajak mengunjungi museum-museum dan pabrik-pabrik.
Kemudian diadakan ujian akhir bahasa Jepang. Hasilnya diserahkan kepada pihak sponsor. Dari situ diketahui, apakah seseorang betul-betul mengikuti pelajaran dengan baik atau hanya main-main.
Baca Juga : Mengerikan! Seperti Inilah Proses Hukuman Mati di Jepang
Setelah selesai mengikuti ujian bahasa Jepang tersebut, diadakan study tour selama kurang lebih satu minggu. Dalam study tour ini kami beserta rombongan Indonesia lainnya meninjau pabrik industri besar dan melihat-lihat pemandangan alam yang indah-indah.
Setelah malam perpisahan, saya menuju ke asrama karyawan milik perusahaan, tempat saya akan menjalani latihan kerja. Di asrama perusahaan ini keadaannya tidak sebaik di Kenshu Center, terutama dalam hal makanannya, betul-betul khas Jepang.
Saya melihat di asrama ini orang Jepang makannya hemat sekali. Bayangkan, sarapan pagi kadang-kadang hanya dengan nasi putih, teri mentah yang dicelupkan ke saus.
Bagi saya sangat beruntung kalau disediakan telur, bisa diceplok. Kalau ada tempura pun sudah cukup. Tetapi sedih kalau disediakan "Sasimi" (ikan laut, udang laut, sotong yang serba mentah). Baru melihat saja sudah mual.
Baca Juga : 'Karang Bunuh Diri', Tempat Ribuan Tentara Jepang Bunuh Diri karena Malu Setelah Kalah Perang
Di pabrik pun tak kalah repotnya. Setiap hari saya harus menyediakan uang sendiri untuk membeli makanan di kantin seperti halnya karyawan lain. 200 Yen (Rp 540,—) untuk nasi dan lauk pauk, 100 Yen (Rp. 270,—) untuk Udong (mierebus), sebagai makan siang.
Bagi saya yang beragama Islam, "setiap hari pula saya harus menanyakan "Butu ga haite imasuka" (Apakah ada daging babi di dalamnya). Karena memang banyak sekali masakan Jepang yang dicampur dengan daging babi.
Pada kesempatan menjalani praktek kerja di pabrik, penguasaan bahasa Jepang saya ternyata masih sedikit. Kadang-kadang saya kurang mengerti, apalagi kalau sudah menjurus ke masalah teknik dan manajemen. Terpaksa setiap hari harus mengantongi kamus. Kalau masih tidak mengerti juga, paling-paling saya gunakan bahasa tarzan.
Saya tidak begitu banyak mengharap dapat belajar dari buku-buku teknik dan manajemen di Jepang. Kebanyakan ditulis dengan huruf kanji.
Baca Juga : Gara-gara Ulah Pesawat Jet F-16, Nelayan Jepang Minta Ganti Rugi Rp12 Miliar kepada Amerika
Lalu apa pula yang didapat dari latihan kerja di Jepang ini.? Yah, secara terus terang saja, tidak begitu banyak. Paling-paling kita dididik tentang ketrampilan kerja atau mempelajari suatu mesin dengan cara kerja dan pemeliharaannya.
Tetapi walaupun begitu saya berusaha keras untuk dapat menguasai setiap mesin yang saya pelajari. Teknologi harus direbut, bukannya diminta. Orang Jepang sendiri merebutnya dari Amerika.
Di Jepang, paling enak bepergian mempergunakan kereta listrik. Di jalur Kyoto-Osaka-Kobe ada tiga perusahaan kereta listrik yang melayani jalur-jalur itu. Satu kepunyaan pemerintah, dua kepunyaan swasta.
Di atas kereta tidak ada kondektur yang memeriksa karcis. Oleh karena itu apabila ingin kemana saja menuruti jalur kereta, entah dari Kyoto ke Osaka ganti kereta lagi terus ke Kobe atau sehari penuh tidak turun dari kereta pun tidak perlu cemas asalkan jangan keluar dari stasiun.
Baca Juga : Jepang Alami Topan Terburuk Sejak 25 Tahun Terakhir, Begini Kondisi Mereka Sekarang, Mengerikan!
Bisa puas naik kereta dengan biaya yang sedikit. Mungkin kalau di Indonesia, perusahaan kereta listrik seperti ini sebentar saja sudah bangkrut. Begitu juga bis-bis kota tidak ada kondekturnya. Ada alat pembayaran otomatis, jauh dekat ongkosnya 110 Yen (Rp. 300,—).
Walaupun penuh sesaknya tidak jauh berbeda dengan di Jakarta, tetapi kesadaran dan disiplin penumpang tinggi. Sopir bis tidak perlu berteriak-teriak "tolong-tolong geser pak!". Tidak ada satu pun penumpang yang naik dari depan, apalagi turun dari belakang, atau kemudian lari tidak mau membayar.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa mengikuti job training ini ada manfaatnya. Setidak0tidaknya kita melihat dan bisa mencontoh hal-hal yang sangat efisien.
Baca Juga : Wanita Jepang Lebih Suka Punya Pacar Pria Indonesia, Ini 10 Fakta tentang Wanita Jepang