Intisari-online.com - Era tahun 1960-an, setiap negara-negara di dunia pastilah sedang dilanda kecemasan tingkat tinggi.
Selesai dengan babakan neraka Perang Dunia II, masyarakat dunia saat itu saban harinya harus berkeringat dingin mengingat perseteruan dua blok, Barat dengan Amerika Serikat (AS) dkk dan Timur dengan Uni Soviet.
Perseteruan keduanya semakin membuncah tatkala AS menguji coba bom hidrogen (termo nuklir) di Kepulauan Marshall, Samudera Pasifik tahun 1954 yang dibalas dengan uji coba super atom Tsar Bomba milik Soviet tahun 1961.
Terkhusus, uji coba termo nuklir AS membuat Indonesia sangat was-was, karena Kepulauan Marshall 'bersebelahan' dengan Indonesia bagian timur. Takut kena radiasi, pikir si Bung Besar.
Baca Juga : Seleksi CPNS 2018 Akan Dibuka: Ini Perbedaan PNS dan Pegawai BUMN
Tak berlarut-larut dalam kecemasannya, Soekarno kemudian mengeluarkan Keppres No.230/1954 yang isinya membentuk sebuah Panitia Negara.
Ditukil dari The State and the Reactor: Nuclear Politics in Post-Suharto Indonesia, Panitia Negara yang dimaksud adalah panitia Penyelidikan Radio-Aktif yang disahkan keberadaannya November 1954.
Panitia ini dipimpin oleh seorang ahli Radiologi 'anyar' karena baru saja selesai studi di London bernama G.A.Siwabessy.
Siwabessy dan tim bergerak cepat ke tempat-tempat terduga terpapar radiasi uji coba atom AS itu macam di Manado, Timor dan Ambon.
Baca Juga : Benarkah Menaikkan Harga BBM Bisa Membantu Nilai Rupiah Menguat?
Syukur, hasil olah tkp tim Siwabessy menunjukkan wilayah timur Indonesia aman dari radiasi nuklir.
Selesai dengan tugas perdananya, Siwabessy dan timnya menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk mulai melirik dan memanfaatkan nuklir untuk kepentingan nasional.
Saran tersebut diterima Soekarno dengan menindaklanjutinya pembentukan Dewan Tenaga Atom serta Lembaga Tenaga Atom (LTA).
Source | : | Grid.id |
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Aulia Dian Permata |
KOMENTAR