Setelah itu Nyai Jimat dinyatakan pensiun karena usianya sudah lanjut dan perlu perawatan.
Umumnya benda-benda pusaka di keraton diberikan sebutan dengan nama depan Kanjeng Kyai. Sedangkan untuk Nyai Jimat agak lain. Karena di bagian depannya, yaitu penyangga tempat duduk sais, terdapat patung putri duyung, maka kereta tersebut dijuluki Kanjeng Nyai (putri).
Ternyata Kanjeng Nyai Jimat bukanlah kereta sembarangan. Ia punya tuah yang sangat ampuh. Tiap Selasa atau Jumat Kliwon di bulan Suro, kain penutupnya disingkap dan ia dimandikan dengan berbagai sesaji dan dupa-dupaan.
Air cucian kereta diperebutkan oleh orang-orang yang sudah menanti sejak lama untuk digunakan sebagai obat awet muda atau penyembuh berbagai macam penyakit.
Selain itu, kereta ini dapat digunakan untuk melacak orang yang bersalah.
Seandainya ada satu dari beberapa orang yang dicurigai berbuat kejahatan tidak mau mengakui kesalahannya, setelah dihadapkan pada Nyai Jimat orang yang bersalah akan berkelakuan seperti penderita penyakit ayan atau malah pingsan.
Kereta tertua setelah Nyai Jimat adalah Kyai Mondrojuwono. Dibeli oleh Sri Sultan HB II sekitar tahun 1800 dari Negeri Belanda. Pernah dipakai oleh Pangeran Diponegoro sewaktu menjabat sebagai pendamping Sri Sultan HB IV, yang waktu itu belum dewasa.
BAKAL DIPUGAR
Setelah agak dewasa Sri Sultan HB IV ingin dibuatkan kereta yang akan digunakan untuk keperluan pribadi dan dapat dikendalikan sendiri. Maka pada tahun 1815 dipesan dua buah kereta, yaitu Kyai Manikretno dan Kyai Jolodoro.
Kedua kereta itu merupakan rancangan khusus dari HB IV dan dibuat di Yogyakarta. Kyai Jolodoro kemudian sering digunakan untuk pesiar berkeliling di atas benteng keraton yang lebarnya lima meter.
Beberapa tahun yang lalu pihak keraton merencanakan untuk memugar Kyai Manikretno. Namun, ketika rodanya hendak dicopot, pelaksananya mendapatkan wangsit dari 'penjaga' kereta itu bahwa seandainya pemugaran dilanjutkan terus maka seluruh isi keraton akan dimusnahkan.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR