Advertorial
Intisari-Online.com -Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 ternyata tidak diketahu secara merata.
Khususnya oleh rakyat Sulawesi Selatan karena masih jarang yang memiliki radio.
Oleh karena itu pasukan NICA dan KNIL yang sudah dibebaskan oleh pasukan Jepang dari tahanan memanfaatkan situasi minimnya informasi di Sulawesi Selatan itu untuk mengambil alih kekuasaan.
Pasukan NICA dan KNIl yang dengan cepat melakukan konsolidasi itu langsung memiliki pengaruh karena didukung persenjataan hasil rampasan dari pasukan Jepang yang sudah menyerah kepada Sekutu.
Baca juga:Kesulitan Perbaiki Jet Tempur Kiriman Isreal, Para Teknisi TNI AU Terpaksa Gunakan Kepala Kerbau
Pada 24 September 1945, pasukan Sekutu (Australia-Belanda) mendarat di Makassar untuk melaksanakan misi pembebasan tawanan pasukan Belanda yang ditahan Jepang sekaligus melucuti persenjataan pasukan Jepang.
Pasukan Sekutu itu selain membawa pasukan Belanda juga membekali diri dengan “surat sakti”, yakni Perjanjian Postdam yang ditandatangani pada 26 Juli 1945.
Isi perjanjian Postdam itu menyatakan bahwa “wilayah yang diduduki musuh” (occupied area) harus dikembalikan kepada penguasa semula.
Jika isi perjanjian itu dikaitkan dengan Indonesia, berarti pasukan Jepang harus mengembalikan Indonesia kepada Belanda.
Singkat kata Belanda memang ingin menguasai Indonesia lagi dan menjadikan Makassar sebagai ibukota Negara Indonesia Timur.
Para pejuang kemerdekaan di Makassar pun kemudian membentuk pasukan perlawanan demi melawan pasukan Belanda.
Pasukan perlawanan yang saat itu berhasil dibentuk untuk mempertahankan kemerdekaan RI adalah Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris).
Salah satu pejuang Lapris yang kemudian gugur dan menjadi pahlawan nasional adalah Robert Wolter Mongisidi.
Baca juga:BPOM Nyatakan Albothyl Tidak Disarankan untuk Obat Sariawan, Inilah Alasannya
Karena perlawanan pasukan Lapris selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda, kekuatannya menjadi terpecah-pecah.
Pada serangan militer Belanda yang dilancarkan pada 8 Agustus 1946, kubu pasukan Lapris yang berada di Gunung Ranaya berhasil dihancurkan dan para pejuang Lapris pun memilih turun gunung .
Mereka kemudian melanjutkan perlawanan melalui taktik peperangan secara gerilya.
Salah satu personel yang terus bertempur secara gerilya adalah Maulwi Saelan, yang kelak menjadi pengawal pribadi Presiden Soekarno.
Maulwi yang pada puncak kariernya berpangkat kolonel juga menjabat sebagai Wakil Komandan Pasukan Pengawal Presiden, Cakrabirawa.
Setelah turun gunung dan kembali meneruskan perjuangan ke Makassar, Maulwi dan rekan-rekan seperjuangan kemudian mencari nama baru bagi pasukan gerilyanya yang juga merupakan pasukan khusus itu.
Karena pada masa penjajahan Jepang Maulwi dan rekannya suka menonton film yang ada harimaunya, pasukan gerilya Maulwi kemudian dinamai Pasukan Harimau Indonesia.
Laskar Harimau Indonesia ini memang terkenal militan karena terdiri dari para pejuang kelompok pelajar SMP Nasional yang umumnya mahir berbahasa Belanda.
Mereka pernah menyerang dan menduduki Hotel Empres pada 29 Oktober 1945 dari tangan NICA serta berhasil membebaskan rekan yang semula ditahan oleh NICA.
Komandan Pasukan Harimau Indonesia adalah Muhammad Syah, Wakil Komandan Robert Wolter Mongisidi, dan Maulwi Saelan sendiri menjabat sebagai Kepala Staf.
Seperti tertulis dalam buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Seokarno, dalam strategi tempurnya Pasukan Harimau Indonesia memiliki taktik dan strategi tempur khusus.
Yakni menyerang dan merampas persenjataan pasukan Belanda dengan target individu atau kelompok kecil serdadu NICA, KNIL, polisi, kaki tangan Belanda, serta gudang amunisi.
Jika digambarkan sebagai pasukan jaman sekarang Pasukan Harimau Indonesia ini memang seperti pasukan khusus yang bertempur secara senyap, mahir melaksanakan sabotase sasaran vital musuh, menimbulkan ketakutan dan kepanikan terhadap kehidupan sehar-hari pasukan Belanda, menghadang distribusi logistik, dan lainnya.
Singkat cerita Pasukan Harimau Indonesia yang dibentuk di Makassar pada era Perang Kemerdekaan ini sangat populer.
Robert Wolter Mongisidi yang merupakan personel Pasukan Harimau yang paling ditakuti Belanda memang berhasil ditangkap dan kemudian dihukum mati pada 5 September 1949.
Ketika akan dieksekusi Mongisidi menolak memakai penutup mata dan tetap meneriakkan pekik “Merdeka!” sebelum peluru regu tembak menerjangnya.
Di era Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, sosok Mongisidi kembali populer setelah kisah perjuangannya dibuat film bertajuk Tapak-Tapak Kaki Wolter Mongisidi (1982).
Selain diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 1973, Mongisidi juga mendapatkan penghargaan tertinggi dari negara, yakni Bintang Mahaputra.
Nama Mongisidi pun diabadikan sebaga nama bandara, kapal perang, dan satuan militer (TNI).
ABRI (TNI) di era Orde Baru memiliki pasukan khusus yang dinamai Datasemen Harimau (Den Harin) yang bertugas mengawal Presiden secara senyap.
Tapi keberadaan "pasukan super" yang dianggap jauh lebih hebat dari Kopassus ini masih gelap dan simpang siur karena tidak adanya bukti yang otentik.
Padahal sebagai satuan khusus yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, jika Den Harin memang ada pasti ada bukti dan dokumen otentiknya.