Intisari-Online.com – Hari-hari itu adalah hari liburan sekolah. Beberapa anak laki-laki dari kota sedang menikmati masa liburan di pedesaan. Dan hari itu mereka mengunjungi sebuah ladang.
Sebagai anak kota mereka mulai mencoba-coba semua alat pertanian dan peternakan. Ada yang mencoba mencangkul, ada yang memberi makan itik dan sapi. Beberapa anak nampak berkumpul di depan kandang sapi.
(Baca juga: Penelitian Membuktikan, Game Kekerasan Ternyata Tak Berefek terhadap Berkurangnya Sikap Empati)
Tiba-tiba ada seekor anak sapi keluar dari kandang. Melihat hal itu beberapa anak lelaki berusaha memasukkannya kembali ke kandang.
Ada yang mengambil cambuk, memukul badannya, tetapi anak sapi itu tidak juga kembali ke kandang. Seorang anak yang paling besar lalu menangkap dan menahan sapi itu sambil memegang telinganya karena tanduknya belum tumbuh.
Teman-teman lain pun datang, ada yang memegang lehernya dan beberapa lain mendorongnya dari samping kiri dan kanan. Mereka berusaha memasukkan kembali anak sapi itu ke kandangnya.
Namun, semakin kuat dan keras mereka menarik dan mendorong, bahkan menendang dan teriak-teriak memaki-makinya, anak sapi itu semakin berdiri kukuh dan tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya semula.
(Baca juga: 2017, Tantangan Meredam Kekerasan Seksual dan Korupsi)
Lalu muncullah gadis kecil, putri sang petani. Ia memperhatikan apa yang dilakukan anak-anak laki-laki itu. Dengan tersenyum, ia mendekati anak sapi itu. Ia membelai kepala anak sapi, membisikkan namanya dengan lembut, “ayo Manis, ayo Manis, ini aku….”
Kemudian ia memasukkan jarinya ke moncong anak sapi itu. Ketika anak sapi itu mengisap jarinya, ia mengira jari-jari tangan gadis itu adalah susu induknya. Maka dengan patuhnya anak sapi itu mengikuti gadis kecil yang langsung menuntunnya masuk ke kandangnya.
Anak laki-laki yang berkumpul di sana menggeleng-gelengkan kepada dan berdecak dengan kagum, segera mendekati anak petani itu.
Kata salah seorang dari mereka, “Apakah kamu seorang malaikat?” Anak perempuan itu pun menggelengkan kepalanya.
“Kenapa anak sapi itu jadi menurut padamu? Padahal kami dengan berbondong-bondong dan dengan sekuat tenaga menghantar dia ke kandang tidak berhasil!”
Dengan senyum yang sangat manis anak itu menjawab, “Kekerasan melahirkan kekasaran; kekerasan mengakibatkan kekerasan. Sebaliknya, lawanlah kekerasan dengan kelembutan. Kamu memaksakan kehendakmu kepada anak sapi itu, makan anak sapi itu tidak mau menurut padamu; tetapi aku memberikan apa yang dikehendaki anak sapi itu. Maka anak sapi itu juga pasti akan mengikuti kehendakku dengan senang hati!” (1500 Cerita Bermakna)