Advertorial
Intisari-Online.com - Berprofesi sebagai wartawan yang liputannya berupa kegiatan di udara sebenarnya memiliki risiko tinggi.
Khususnya para wartawan atau fotografer Majalah Angkasa yang lahan liputannya berupa pesawat terbang, kegiatan penerbangan pesawat baik untuk pesawat militer maupun sipil, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat kedirgantaraan.
Para awak Majalah Angkasa bukannya tidak menyadari jika profesinya berisiko tinggi karena sering melawan kodrat kehidupan manusia yang seharusnya di darat tapi sering di udara karena kerap ikut penerbangan pesawat militer dan sipil.
Kesadaran itu juga dialami oleh mendiang wartawan Majalah Angkasa, Dodi Aviantara (40) dan Didik Nur Yusuf (44) yang lima tahun lalu gugur dalam tugas akibat pesawat komersil Sukhoi Super Jet 100 yang ditumpanginya menabrak lereng Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, 9 Mei 2012.
Dalam liputan ke Pusat Penerbangan Angkatan Darat (Puspenerbad) sekitar tahun 2006, Semarang, Jawa Tengah, Didik yang liputan bersama penulis berkali-kali menekankan bahwa para wartawan Majalah Angkasa bisa mati kapan saja akibat kecelakaan pesawat.
Dodi Aviantara juga demikian, saat meliput bareng penulis bersama TNI AL yang sedang latihan tempur menggunakan kapal-kapal perang TNI AL, malah menekankan bahwa hidup mati orang yang sedang berada di kapal sangat ditentukan oleh kapal yang ditumpanginya.
Misalnya jika kapal perang tenggelam karena di torpedo musuh semua awak kapal akan tenggelam bersama kapalnya.
Atau jika kapal karam akibat terkena badai, semua penumpang juga akan ikut karam.
Karena menyadari jika risiko liputan di Majalah Angkasa tinggi, baik Didik dan Dodi juga memiliki gaya hidup yang cermat dan hati-hati.
Tapi keduanya juga termasuk bermental nekat karena pernah meliput acara TNI di Bali, pulang balik dari Jakarta menggunakan mobil Suzuki Phanter produksi tahun 1997.
Sewaktu keduanya akan naik Sukhoi Superjet 100 juga sudah bersikap cermat dan hati-hati.
Mereka baru ikut naik pesawat penumpang yang sedang dipromosikan itu pada sorti penerbangan kedua.
Perhitungannya jika penerbangan sorti pertama lancar karena Sukhoi Superjet 100 diawaki para pilot dan kru Rusia, penerbangan kedua dipastikan juga akan lebih lancar.
Pasalnya para awak Sukhoi Super Jet 100 pasti sudah lebih mengenal medan.
Tapi takdir ternyata berkata lain, Sukhoi Super Jet 100 ternyata malah menabrak lereng Gunung Salak dan menewaskan semua penumpangnya termasuk Didik dan Dodi.
Di dunia penerbangan manapun sejak awal mula pesawat diproduksi hingga ditemukannnya pesawat-pesawat super canggih, musibah di udara teryata selalu mewarnai.
Namun musibah yang telah menggugurkan para insan pecinta dirgantara itu justru menjadi pupuk bagi pertumbuhan dan perkembangan teknologi penerbangan yang makin bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia.
Termasuk “pupuk” yang telah ditebarkan oleh rekan sejawat Didik dan Dodi.
Oleh A Winardi, kontributor Majalah Angkasa dan Intisari