Foto-foto itu memperlihatkan pasukan Belanda sejak mendarat hingga ratusan prajurit Kerajaan Badung yang gugur setelah perang besar (puputan).
Dari ruang pamer foto, Anda bisa melihat sejarah Bali dalam bentuk tiga dimensi di ruang diorama. Ruang ini ada di lantai tiga dengan penyusunan melingkar seperti bentuk bagian bawah monumen.
Ada 33 diorama masing-masing berukuran 1,5x2 x 1,5 m. Tiap diorama memamerkan satu fase tertentu dalam sejarah Bali. Diorama paling awal, misalnya, menceritakan Bali pada masa perburuan tahun 3000 sebelum masehi (SM).
Setelah itu, diorama berganti-ganti sejarah perundagian Bali, masuknya Hindu ke Bali, pola pembagian zona pura, kehidupan banjar (komunitas adat Bali), dan mulai masuknya Belanda pada tahun 1846.
Setelah masuknya Belanda di Bali, diorama mulai berganti tema tentang perjuangan melawan kompeni. Terlihat, misalnya, I Gusti Jelantik, Raja Buleleng yang menyobek surat dengan keris dan memulai perlawanan pada Belanda, bangkitnya pemuda Bali melawan Belanda, hingga pertempuran di Marga, Tabanan.
Seluruh diorama ditutup pada fase ketika Bali sudah mulai mengenal pariwisata pada tahun 1975.
Menggunakan keterangan dalam tiga bahasa (Bali, Indonesia, dan Inggris) di depannya, tiap diorama bisa memberikan keterangan tentang apa yang diceritakannya. Jadi, meski tak ada pemandu khusus, Anda bisa mendapatkan informasi yang cukup.
Jalan-jalan ke Monumen Bajra Sandhi akan lebih lengkap jika Anda naik ke ruang pantau monumen setinggi 45 m ini. Dari ruang pantau, pengunjung bisa menikmati tak hanya luasnya Denpasar tapi juga Bali bagian selatan.
Do & don’t:
Monumen Perjuangan Rakyat Bali
Lokasi: Jin. Raya Puputan, Niti Mandala, Renon, Denpasar
Telepon: 0361-264517
Website: www.baliculturegov.com
Buka : - Pukul 08.30 - 17.00 WITA (Senin - Jumat)
Pukul 09.30 - 17.00 WITA (Sabtu)
Fasilitas pendukung : Tempat parkir, ruang pameran, bale bengong, dan toko cenderamata (hanya menjual kaos).
(Seperti pernah dimuat dalam Where To Go Bali – Intisari)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR