(Baca juga: "Tak Adil, Gaji Lulusan S1 Sama dengan Buruh")
"Akhirnya saya bilang terus terang, ‘Pak Hakim, apakah saya harus berzinah dulu supaya bisa diceraikan? Kalau memang harus begitu biarlah saya lakukan,'" katanya.
Entah serius entah menggertak, yang jelas pengadilan lantas mengabulkan permohonan cerainya.
Dapat disaksikan di sini, betapa tradisi keterbukaan yang terkadang mengejutkan, tidaklah harus berarti bertentangan dengan nilai panutan orang banyak.
Affandi misalnya menasehati Kartika, "Mencuri itu boleh saja, asal jangan merugikan."
Kalimat seperti ini tentu tidak dapat ditafsirkan sebagai betul-betul anjuran untuk mencuri, sebaliknya justru menantang pertimbangan etis seseorang, untuk berpikir keras apakah keputusan yang diambilnya merugikan masyarakat atau tidak.
Akibatnya, keputusan Kartika sendiri pun bukan tidak mungkin bertabrakan dengan Affandi.
"Setelah lama menjadi janda, pergaulan saya untuk ukuran Indonesia mungkin tergolong terlalu bebas, dan Papie tidak suka, bahkan ibarat kata menyamakan saya dengan pelacur; tetapi saya mendebat dengan keras, bahwa saya bergaul tidak untuk uang, dan itu tentu tidak sama dengan pelacur. Saya ingatkan Papie tentang prinsip jangan merugikan siapa pun, dan saya memang tidak merugikan siapa pun. Lantas Papie mengakui, bahwa yang dipikirkannya adalah ukuran Indonesia itu.”
Tidak Ada Pelukis, Adanya Tukang Gambar
Bahwa di mata Kartika seorang ayah seperti Affandi tiada duanya tentulah merupakan kesan tak terhindarkan, karena pendekatan Affandi dalam mendidik anaknya sungguh ajaib.
Misalnya saja kalau Affandi ingin pergi melukis, karena memang tidak suka bekerja di studio tertutup, maka Kartika kecil yang sedang berada dalam kelas akan dicabutnya begitu saja, untuk juga diajaknya pergi.
(Baca juga: Kasus Firza Husein: Cukup Hubungi Ini Jika Ingin Bobol Percakapan WhatsApp)
"Saya mau ambil Kartika," kata Affandi kepada guru. Hal itu sering terjadi.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR