Advertorial
Intisari-Online.com – Kasuskekerasanseksual terhadap anak-anak diBaliterus mengalami peningkatan.
Dan media sosial (medsos) memberi pengaruh besar. Sebab banyak anak jadi korban setelah saling kenal di dunia maya.
Berdasarkan data di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) ProvinsiBali, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), tercatat ratusan anak-anak diBalimenjadi korbankekerasanseksual setiap tahun.
“Kasuskekerasanseksual diBalisangat tinggi. Bahkan sempat diberikan rapor merah oleh Komnas Perlindungan Anak,” kata Ketua HarianP2TP2AKota Denpasar, Luh Putu Anggreni, dalam forum diskusi di Denpasar, dua pekan lalu.
Di Denpasar,P2TP2ADenpasar mencatat kasuskekerasanseksual juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Tahun 2012, jumlah kasuskekerasanseksual yang tercatat di Denpasar sebanyak 22 kasus, tahun 2013 (22), tahun 2014 (38), 2015 (49), 2016 (46), dan pada 2017 (28).
BP3A ProvinsiBalijuga turut mencatat jumlah kasuskekerasanseksual pada anak diBali. Pada 2012, BP3A ProvinsiBalimencatat jumlah kasuskekerasanseksual pada anak sebanyak 105 kasus, 2013 (107), 2014 (114).
Sedangkan menurut data dari PoldaBali, tahun 2015 tercatat 133 kasuskekerasan, dan 63 di antaranya adalahkekerasanseksual pada anak.
Tahun 2016, PoldaBalimencatat jumlah kasuskekerasanseksual sebanyak 177 kasus, dan 81 kasus di antaranya adalahkekerasanseksual.
Pada 2017, jumlah kasuskekerasanseksual yang tercatat di PoldaBalisebanyak 146 kasus, dan 65 kasus adalahkekerasanseksual terhadap anak.
Luh Anggreni yang kerap menangani kasuskekerasanseksual pada anak, mengungkapkan, rata-rata dalam kasuskekerasanseksual tersebut, para pelakunya adalah orang-orang terdekat korban, seperti keponakan, kakek, kakak, bahkan tak jarang ayah kandung korban, serta orang-orang terdekat korban di lingkungan sekolah baik teman, maupun oknum guru.
Anggreni mengungkap meningkatnya kasuskekerasanseksual pada anak tak terlepas dari pengaruh media sosialyang semakin melekat dalam dunia anak-anak dan remaja saat ini.
Kasus yang menimpa anak yang masih kelas 6 SD tahun 2017 di Denpasar misalnya, ia harus menahan malu akibat dihamili oleh seorang pemuda yang baru dikenal di medsos.
“Jadi ada kasus yang baru kenal seminggu dimedia sosial, ketemu terus dipaksa berhubungan, dan akhirnya hamil. Jadi penyebabnya salah satu karenamedia sosialjuga,” ungkap perempuan asal Buleleng ini.
Baca juga:Video Mendebarkan Ketika Ayah dan Anak Ini Mencoba Melarikan Diri dari Kebakaran Hutan
Korban disabilitas
Anggreni juga mengungkap bahwa trend kasuskekerasanseksual saat ini justru lebih banyak terjadi pada anak-anak atau perempuan yang mengalami disabilitas atau gangguan psikologis.
Meskipun usia wanita tersebut sudah tergolong dewasa, namun menurut Anggreni sebetulnya psikologis wanita tersebut masih anak-anak lantaran mengalami gangguan mental.
“Untuk korban yang disabilitas ini banyak sekali terjadi diBali. Terkadang sampai diperkosa berkali-kali, sampai tidak diketahui siapa orang yang menghamili korbannya. Di sana kadang polisi kebingungan biasanya,” ungkap Anggreni.
Selain itu, dalam beberapa kasus juga sempat ada pelakukekerasanseksual pada anak justru dari panti tempat si anak dititipkan.
Sempat terjadi kasus ternyata dalam sebuah panti ada keluarga pemilik panti yang malah menjadikan anak asuh sebagai obyek pelampiasan seksual.
“Jadi si anak bukannya mendapatkan pertolongan, malah mendapatkankekerasan,” ungkap Anggreni.
Selama mendampingi anak yang menjadi korbankekerasanseksual, lanjut Anggreni, para pelaku juga kerap membela diri dengan dalih suka sama suka.
Namun dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undangan nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur bahwa meskipun suka sama suka, apabila korban adalah anak, pelaku tetap dikenakan hukuman minimal 5 tahun penjara, atau maksimal 15 tahun penjara.
Baca juga:Keju Berusia 3.500 Tahun Ditemukan di Mesir, Bisakah Kita Memakannya?
Kehilangan masa depan
Dalam banyak kasuskekerasanseksual terhadap anak-anak, kerap kali masyarakat khususnya di pedesaan malah menikahkan pelaku dengan korban.
Anggreni mengatakan tindakan keliru ini banyak terjadi di masyarakat sehingga menyebabkan si anak yang sudah diperkosa, kemudian harus kehilangan masa depannya.
“Misalnya kalau korbannya masih SD, SMP, kalau dinikahkan selesai sudah masa depan mereka. Itu banyak terjadi diBali, khususnya di Bangli,” ungkap Anggreni.
Masyarakat masih banyak yang belum paham aturan sehingga ketika terjadi kasus anak yang menjadi korbankekerasanseksual dan hamil, masyarakat biasanya fokus ke siapa yang bertanggungjawab atas kehamilan tersebut, agar bisa dinikahkan.
“Padahal, dalam Undang-Undang Kesehatan, jika korban pemerkosaan, itu bisa aborsi asalkan memenuhi syarat kan. Atau cari jalan lain asal tidak menikahkan anak itu dengan pelaku,” jelas Anggreni.
Terhadap kasus-kasus begitu, Anggreni mengaku pihaknya sudah menyarankan kepada pihak keluarga dan pihak desa setempat agar tidak menikahkan pelaku dengan korban sebagaimana warga lainnya menikah seperti biasa.
Namun, dengan alasan agar desa tidak cuntaka alias “leteh”, maka keduanya tetap dinikahkan.
“Saya herannya kenapa yang menjadi fokus adalah pernikahan. Harusnya kan yang dipikirkan bagaimana menyiapkan persalinan anak. Karena anak-anak kan sebenarnya belum siap melahirkan. Nah bagaimana agar si anak itu bisa selamat,” tutur Anggreni.
Pihaknya kerap melarang pelakukekerasanseksual untuk menikahi korban, karena selama ini banyak pasangan yang menikah karena alasan kehamilan tidak diinginkan biasanya rumah tangga mereka tidak harmonis.
“Takutnya nanti dia sering jadi korban KDRT. Biasanya itu yang terjadi,” ungkap Anggreni.
Dari banyak kasus yang sempat ia damping, Anggreni mengungkap paling banyak terjadi di Kabupaten Bangli.
Di Bangli paling banyak terdapat perkawinan usia dini yang berujung poligami hingga berkali-kali.
“Kasus itu banyak saya temui di Bangli. Karena nikahnya usia anak-anak, ada yang bahkan poligami sampai tiga empat kali di Bangli. Ini realita. Jadi begitu rentetan anak korbankekerasanseksual. Sudah masa depan hilang, rentan KDRT, dan rentan dipoligami,” tandasnya.
Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho, juga memiliki pemikiran yang sama terkait dengan korbankekerasanseksual pada anak yang kemudian dinikahkan dengan pelaku.
Bagi dosen muda ini, apabila menikahkan pelaku dengan korbankekerasanseksual, sama halnya dengan menjadikan si anak sebagai korban perkosa seumur hidup.
“Itu bukan solusi. Jika itu terjadi, berarti sang wanita menjadi korban perkosaan seumur hidupnya,” kata Wahyu. (I Wayan Erwin Widyaswara)
(Artikel ini telah tayang ditribun-bali.comdengan judul “Kenal Seminggu Langsung Dipaksa Berhubungan, Medsos Pengaruhi Peningkatan Kasus Kekerasan Seksual”)
Baca juga:Berawal Ingin Beri Bantuan Makanan ke Anak-anak, 2 Anggota TNI Ini Gugur Ditembak Anggota OPM