Intisari-Online.com – Perang, apa pun alasannya, adalah pemusnahan manusia. Derita perang lebih perih dari bencana alam, karena bencana itu diciptakan manusia. Celakanya, manusia pemusnah itu adalah pemimpin negara. Maka, dunia pun luka berdarah.
Dunia memiliki segelintir "anak pengkhianat" kehidupan. Sebutlah misalnya Adolf Hitler dan Benito Mussolini di masa Perang Dunia II hingga George Walker Bush yang baru saja menyiram Irak dengan ribuan peluru kendali dan bom canggih.
(Baca juga: Dari Pamannya Kim Jong-un hingga Tangan Kanan Hitler, Inilah Mereka yang Dihilangkan dari Sejarah)
Perang Dunia I yang meletus pada Agustus 1914, berkecamuk antara dua kekuatan besar Benua Eropa, yakni Prancis - Inggris - Rusia dengan Jerman - Italia - Turki. Setelah empat tahun berkobar, perang ini berakhir pada September 1918, dan dikunci dengan memaksa Jerman sang pecundang menandatangani perjanjian Versailles 28 Juni 1919. Namun, perang telah terlanjur memusnahkan nyawa 8,5 juta tentara dan 12,5 juta warga sipil tak berdosa, serta menghancurkan harta benda senilai AS $ 36.760.
Perang Dunia II lebih memilukan, dipicu oleh tiga aktor utama, Benito Mussolini dari Italia, Adolf Hitler (Jerman), dan Tenno Meiji (Jepang). Perang yang meledak gara-gara Italia menduduki Abessynia (1937), Jerman menyerang Polandia (1 September 1939), dan - yang merangsang Amerika marah besar - Jepang mengebom Pelabuhan Pearl Harbour.
Ambisi sang kopral
Hitler dan Mussolini, merekalah penjahat perang yang tak sempat diadili. Keduanya pengagum Charles Darwin. Bahkan, terinspirasi melakukan pembunuhan dari teori Darwin. Bagaimana mungkin?
(Baca juga: Pernah Digunakan sebagai Mesin Penebar Teror, Telepon Merah Milik Adolf Hitler Terjual Rp 324 Juta)
Hitler, lahir pada 20 April 1889 di Braunau-am-Inn, Austria, dari keluarga petani miskin. Ketika di sekolah desa, ia termasuk murid cerdas dan berbakat. Setelah ayahnya meninggal, Hitler meninggalkan rumahnya di Linz pada 1907 untuk mengadu nasib di Wina.
Heran, di kota ini Hitler malah ingin belajar seni arsitektur. Sayang, dua kali ia gagal masuk akademi seni. Untuk mengobati kecewa, ia banyak menyerap pengetahuan dari mana saja. Dari membaca inilah, berbagai ide rasis dan antisemit merasuki dirinya.
Ketika uang yang ditinggalkan orangtuanya makin menipis, Hitler jatuh bokek. Walau enggan, ia terpaksa menyambung hidup dengan menggambar postcard dengan cat air. Namun, justru saat diiris kemiskinan itulah, Hitler jadi lebih menghayati kaum proletar.
Pada 1913, Hitler pindah ke Munich, berharap mendapat kehidupan lebih baik di negeri yang amat dikaguminya, Jerman. Benar, ia memulai langkah baru. Tatkala pecah Perang Dunia I, ia menjadi sukarelawan resimen infantri Bavaria, bertugas di garis depan sebagai kurir markas besar.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR