Intisari-Online.com – Saat saya menulis ini, di luar sana orang sibuk menyiapkan suatu festival aneh dan asing bernama Halloween, ketimbang merayakan Sumpah Pemuda.
Bahkan ada pasien yang mengeluhkan, anaknya yang belum duduk di bangku SD sudah disuruh menginap di sekolah dalam rangka ‘pesta piyama’ berbarengan dengan festival para hantu itu.
Mengadopsi hal-hal asing yang dianggap keren merupakan wabah yang mengatasnamakan globalisasi atau ‘tak terelakkan’, biar enggak kuper, katanya.
Padahal, jika ditelisik lebih dalam, masuknya perilaku-perilaku baru itu juga membawa investasi (baca: kepentingan) asing ikut bermain.
Mulai dari pernak-perniknya, hingga penjajahan gaya baru yang melibas habis nilai kebangsaan seseorang.
Ketika sebagian kecil kelompok masyarakat memperingati lahirnya persatuan bangsa, dan sebagian lebih kecil lagi kelompok individu memperjuangkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, ini ada komunitas elit yang menyekolahkan anak balitanya dengan bahasa cas-cis-cus.
Bukan cuma bahasanya. Makanannya pun ‘londo abis’. Mulai dari pasta berkrim lelehan keju hingga kue warna warni yang namanya saja sulit dilafalkan.
Tidak sampai di situ. Promosi gila-gilaan menggempur sekolah-sekolah dengan pelbagai panganan aneh hingga produk susu.
Seakan-akan anak yang tidak mengonsumsinya, dianggap kampungan, ndeso. Padahal di negri dari mana produk itu berasal, mereka dilarang keras masuk sekolah, apalagi melakukan promosi liar.
Negri ini sedang tumbuh berkembang, menggeliat menunjukkan karakter hakiki tentang siapakah orang Indonesia di abad 21.
Sudah waktunya dibutuhkan kehadiran negara, kepiawaian para pemangku otoritas untuk turun tangan cepat, sigap secara simultan di beberapa area sekaligus tanpa terpaku dan terpana pada satu isu (terutama soal jabatan dan kekuasaan). Politisasi tidak hanya terjadi di situ.
Penjajahan tidak lagi berupa penurunan bendera kebangsaan di depan istana kepresidenan dan menggantinya dengan bendera bangsa lain.
Penulis | : | Andrew Bari Dianto |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR