Sejahtera Tidak Sama dengan Kaya

Andrew Bari Dianto
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Pohon yang tumbuh belum tentu berasal dari biji kejujuran.
Pohon yang tumbuh belum tentu berasal dari biji kejujuran.

Intisari-Online.com – Saat saya menulis ini, di luar sana orang sibuk menyiapkan suatu festival aneh dan asing bernama Halloween, ketimbang merayakan Sumpah Pemuda.

Bahkan ada pasien yang mengeluhkan, anaknya yang belum duduk di bangku SD sudah disuruh menginap di sekolah dalam rangka ‘pesta piyama’ berbarengan dengan festival para hantu itu.

Mengadopsi hal-hal asing yang dianggap keren merupakan wabah yang mengatasnamakan globalisasi atau ‘tak terelakkan’, biar enggak kuper, katanya.

Padahal, jika ditelisik lebih dalam, masuknya perilaku-perilaku baru itu juga membawa investasi (baca: kepentingan) asing ikut bermain.

Mulai dari pernak-perniknya, hingga penjajahan gaya baru yang melibas habis nilai kebangsaan seseorang.

Ketika sebagian kecil kelompok masyarakat memperingati lahirnya persatuan bangsa, dan sebagian lebih kecil lagi kelompok individu memperjuangkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, ini ada komunitas elit yang menyekolahkan anak balitanya dengan bahasa cas-cis-cus.

Bukan cuma bahasanya. Makanannya pun ‘londo abis’. Mulai dari pasta berkrim lelehan keju hingga kue warna warni yang namanya saja sulit dilafalkan.

Tidak sampai di situ. Promosi gila-gilaan menggempur sekolah-sekolah dengan pelbagai panganan aneh hingga produk susu.

Seakan-akan anak yang tidak mengonsumsinya, dianggap kampungan, ndeso. Padahal di negri dari mana produk itu berasal, mereka dilarang keras masuk sekolah, apalagi melakukan promosi liar.

Negri ini sedang tumbuh berkembang, menggeliat menunjukkan karakter hakiki tentang siapakah orang Indonesia di abad 21.

Sudah waktunya dibutuhkan kehadiran negara, kepiawaian para pemangku otoritas untuk turun tangan cepat, sigap secara simultan di beberapa area sekaligus tanpa terpaku dan terpana pada satu isu (terutama soal jabatan dan kekuasaan). Politisasi tidak hanya terjadi di situ.

Penjajahan tidak lagi berupa penurunan bendera kebangsaan di depan istana kepresidenan dan menggantinya dengan bendera bangsa lain.

Penjajahan secara faktual terjadi saat publik tidak lagi paham makna ketahanan pangan lokal, ketika pilihan apa yang dimakan dan apa yang dihasilkan bumi pertiwi tidak lagi berimbang, ketika anak-anak mengira pizza dan udon adalah makanan sehat.

Dan semuanya dibiarkan, diamini bahkan. Tanpa ada imbangan jujur dengan apa yang sebenarnya bisa kita tampilkan sebagai upaya kesejahteraan tubuh alias menjadi sehat.

Jujur, saya kadang terpana tanpa kata dan menatap nanar deretan kalimat-kalimat nasehat gizi yang dilontarkan para pakar gizi. Begitu asing dan menyedihkan.

Sarapan dengan oatmeal dan buah beri. Makan siang pasta keju dengan salad buah. Makan malam ‘PAN fried john dory’ dengan kentang kukus. Hah? Tadinya saya pikir sedang membaca berita terjemahan. Ternyata tidak.

Rupanya saya bisa jadi ahli gizi kategori kampungan. Karena selalu berteriak tentang ikan kembung acar kuning, garang asem ayam dan soto banjar.

Belum lagi menyoal eksistensi kimpul dan ganyong – yang membuat jidat mahasiswa saya berkerut dalam.

Jangan sampai kita lupa, Indonesia ini bukanlah sekadar pulau Jawa, apalagi seputar pusat pembelanjaan Jakarta Pusat yang mewah.

Jika orientasi pembelajaran gaya hidup sehat masih mengacu pada orang-orang di kisaran itu, tidak heran begitu banyak orang berlomba jadi kaya. Alias ingin punya uang banyak.

Karena semuanya kelihatan amat berkilau, berkelas. Anak-anak pun lebih merasa keren mengunyah onigiri ketimbang lemper ayam.

Tidak heran bangsa kaya ini menjual semua kekayaannya, hanya untuk segepok uang demi membeli kekayaan orang lain (yang dijual dengan harga jauh lebih mahal). Sangat, amat absurd.

Dan apabila kebahagiaan itu ternyata mentok, masih kurang keren, mencoba narkotik menjadi salah satu pilihan paling ngetop.

Apalagi jika di negri bule sana disebutkan, kebanyakan orang di masa mudanya pernah merasakan mengisap ganja, minimal saat ngumpul-ngumpul nongkrong.

Bedanya, mereka lalu terdesak untuk hidup dengan lebih layak demi masa depan, tapi di sini orang bablas menjadi pecandu karena makan masih bisa nebeng minimal dengan orang tua.

Menjadi sejahtera mungkin tidak membuat saya kaya secara ekonomi. Hanya ‘cukup’. Tapi hidup sejahtera membuat saya mampu menghargai kehidupan secara utuh, mensyukuri berkat pertiwi, memberi makan tubuh sesuai kodratnya.

Dengan sejahtera pun saya cukup punya rumah satu, tidak butuh vila sekali pun, karena saya hanya bisa berada di satu tempat saja pada satu saat.

Menjadi sejahtera membuat saya hanya sanggup makan apa yang badan saya butuhkan, karena itu saja sudah mengenyangkan ketimbang melalap semua yang saya candukan.

Saya hanya punya satu tempat kerja, karena di sana saya bisa fokus melayani dengan baik.

Saya juga hanya punya satu paspor, karena saya bangga menjadi orang Indonesia, dan tidak perlu menjadi oportunis di negri orang lain.

(DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum./Kompas.com)

Artikel Terkait