Iing Tedjo, Menjaga Permen Davos Tetap 'Semriwing'

Agus Surono
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Permen Davos yang melegenda.
Permen Davos yang melegenda.

Intisari-Online.com -Ada yang menyebutnya sebagai permen polo dari Jawa. Itu supaya anak muda sekarang punya bayangan apa itu permen Davos.

(Ingin Beli Smartphone yang Paling Pas Buat Kamu? Simak Panduan Ini)

Di kalangan masyarakat bawah, terutama di Jawa Tengah, permen ini sangat melegenda. Rasa khasnya yang semriwing akan selalu dikenang.

Permen ini sudah diproduksi sejak lebih dari 85 tahun lalu. Kini pengelolanya berada di generasi ketiga. Permen asal Purbalingga itu bisa terus ada karena semangat kekeluargaan pemilik pabrik dan para karyawan.

Pabrik permen Davos didirikan almarhum Siem Kie Djian pada 28 Desember 1931. Pengelolaan pabrik kemudian diserahkan kepada anak ketiganya yang bernama Siem Tjong An yang memimpin pada 1961-1967. Karena Siem Tjong An melanjutkan studi ke Belanda, kendali perusahaan diserahkan kepada anak pertama Siem Kie Djian, yaitu Corie Simadibrata, dan suaminya, Toni Siswanto Hardi, hingga 1985.

Sejak 1 Juni 1985, perusahaan ini dipimpin anak Corie dan Toni, yaitu Budi Handojo Hardi dan istrinya, Iing Tedjo. Budi kini berusia 71 tahun, sedangkan Iing 65 tahun. Mereka berdua menjadi pemilik sekaligus pemimpin pabrik Davos yang kini berlabel PT Slamet Langgeng.

Bersama 225 karyawan, mereka berdua berikhtiar mempertahankan pabrik permen yang melegenda itu. Sebagian besar karyawan pabrik bergabung sejak berusia belia hingga usia mereka kini menua. Menariknya, anak-anak mereka sebagian mengikuti jejak orangtuanya bekerja di pabrik Davos.

Iing Tedjo mengatakan, para karyawan bertahan bertahun-tahun karena pihak perusahaan memanusiakan karyawan. ”Jika ada masalah, selalu bisa dirembuk sehingga hubungan kekeluargaan dengan karyawan tetap terjaga,” ucap Iing Tedjo, ditemui di pabrik Davos di Jalan Jenderal A Yani Nomor 67, Kelurahan Kandang Gampang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (9/2/2017).

Iing menyebutkan mengadopsi semangat yang ditanamkan Siem Kie Djian, yakni membuka lebar pintu pabrik bagi warga setempat yang ingin bekerja. ”Dulu sistemnya borongan dan siapa saja bisa bekerja. Karyawan bisa 400-an orang karena kerjanya santai. Mereka, misalnya, bisa pulang pukul 11.00 karena maungurusanaknya. Kalau sekarang, karena ada aturan pemerintah, jadi selektif,” tutur ibu dua anak itu.

Selain mencukupi kebutuhan dasar serta hak karyawan, seperti gaji sesuai upah minimal kabupaten, jaminan kesehatan, dan tunjangan hari raya, menurut Iing, relasi kekeluargaan dengan karyawan juga dijalin dengan baik. Mereka biasa menggelar piknik bersama dua tahun sekali.

Sembako di akhir tahun

Nasionalisme juga tetap dijaga. Mereka acap kali menggelar syukuran, upacara bendera, atau minimal menyanyikan lagu kebangsaan setiap 17 Agustus. ”Jika perusahaan untung lebih, kami memberikan sembako pada akhir tahun,” ujarnya.

Prinsip lain dalam pengelolaan perusahaan yang dijaga betul oleh Iing dan Budi adalah berbagi. Jika ingin berbisnis, tidak boleh hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi juga mesti berbagi dengan karyawan.

Dengan model pengelolaan seperti itu, suasana kerja jadi nyaman dan dinamis. Hari itu, ratusan karyawan yang mengenakan celemek, masker, dan penutup kepala duduk berbaris mengemas ribuan butir permen Davos. Sirkulasi udara yang lancar serta aromapapermintyang segar menyeruak di sekeliling ruangan.

Berkat kekompakan pemilik perusahaan dan karyawan, sampai sekarang permen Davos masih bertahan. Perusahaan juga memperoleh sejumlah piala dan penghargaan dari berbagai instansi yang dipajang berjejer di ruang tamu pabrik.

Tanpa pemanis buatan

Iing mengisahkan, awalnya Siem Kie Djian adalah pedagang gula pasir di wilayah Purbalingga. Kemudian, usahanya berkembang dan mulai memproduksi permen di salah satu ruangan kecil. Permen didistribusikan dengan gerobak sapi ke Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap. ”Sambil keliling menjual permen, pulangnya bawa gula pasir,” ucap Iing.

Kini, ruangan kecil tersebut berubah menjadi bangunan pabrik yang berdiri di atas tanah seluas 6.000 meter persegi. Distribusi barang dilakukan dengan delapan mobil boks.

Yang tidak berubah adalah permen buatan mereka. Iing menjamin, Davos menggunakan 98 persen gula pasir asli dan sisanya mentol serta zat pengikat. Mereka tidak pernah memakai zat pengawet dan pemanis buatan sehingga permen bisa bertahan 1,5 tahun hingga 2 tahun.

Iing menceritakan, nama Davos diambil dari salah satu kota di bagian timur negara Swiss. Daerah itu dikenal beriklim dingin dan sejuk, seperti sensasi rasa permen Davos yangsemriwing. Adapun perusahaan kemudian diberi nama PT Slamet Langgeng karena letak pabriknya berada di kaki Gunung Slamet. ”Slamet Langgeng artinya juga agar perusahaan tetap selamat dan langgeng,” ujarnya.

Davos terkenal dengan dua varian yang melegenda. Davos Roll berupa tablet putih berukuran 22 milimeter yang dibungkus kertas warna biru tua serta Davos Lux yang berdiameter sekitar 12 milimeter dan dibungkus di dalam kotak warna hijau. ”Davos Roll lebih pedas dibanding Davos Lux. Davos Roll lebih banyak disukai orangtua, mereka sangat loyal. Sementara Davos Lux lebih disukai anak-anak dan remaja,” tutur Iing.

Menyesuaikan tuntutan pasar, Davos terus berinovasi. Mereka kini membuat dua varian dengan kemasan lebih modern, yakni Davos Classic dan Davos Mini.

Di bawah Budi Handojo Hardi sebagai direktur utama dan Iing Tedjo sebagai direktur operasional, Davos tetap menebarsemriwingdi masyarakat, terlebih bagi ratusan keluarga karyawannya. Nama Purbalingga pun terangkat dengan keberadaan permen legenda ini.

Artikel Terkait