Advertorial

Kantor Imigrasi, 'Neraka' bagi para WNA 'Bermasalah' yang akan Mengunjungi Malaysia

Masrurroh Ummu Kulsum
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Intisari-Online.com - Akhir Mei 2018 lalu, viral sebuah video yang memperlihatkan seorang petugas imigrasi Malaysia berlaku kasar kepada seorang warga negara asing (WNA) di Johor Bahru dekat perbatasan dengan Singapura.

Video tersebut menyebabkab reaksi cepat, dilaporkan oknum petugas yang melakukan penganiayaan tersebut telah di skors dan mungkin akan kehilangan pekerjaannya.

Insiden dimana petugas yang kesal menampar WNA tersebut dengan paspor sebelum memukul tangannya di atas meja, menjadi puncak gunung es, menurut Tenaganita, kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Malaysia.

Jauh dari pengetahuan publik, di pusat-pusat penahanan imigrasi Malaysia, penyalahgunaan adalah kejadian sehari-hari, menurut Glorene A. Das, direktur eksekutif Tenaganita, mengatakan kepada The Post.

BACA JUGA:Rezeki Tak Kemana, Walau Sering Tidak Dibayar Penumpangnya, Tukang Ojek Ini Tetap Bisa Naik Haji

Orang-orang yang ditolak masuk ke negara itu juga dirampas hak-hak dasar mereka, dan tidak bisa membela diri, tambahnya.

Kasus lain, pelancong Singapura, Joshua Lee yang mengunjungi Malaysia untuk mengikuti turnamen e-sports, menjelaskan bagaimana dia "memasuki neraka" ketika petugas imigrasi di Bandara Internasional Kuala Lumpur menahannya karena paspornya akan kadaluarsa dalam waktu kurang dari enam bulan.

Selama 26 jam penahanannya, dia dilarang menggunakan ponsel dan dijejalkan ke dalam sel berbau busuk dengan lebih dari 100 tahanan lainnya.

Dia kemudian membagikan pengalamannya di facebook dan dibagikan 1.500 kali.

Dia juga mengaku melihat sendiri serangan brutal yang dilakukan petugas pada WNA.

"Pertama kali saya melhat, petugas memukul orang yang tidak bersalah. Pria India ini hanya bertanya dan apakah petugas terganggu dengan hal itu? 5 dari mereka mendatanginya dan menyerangnya di depan orang-orang," tulisnya.

Lee juga menuliskan di postingannya, dia dibebaskan hanya setelah ayahnya menelepon pihak berwenang ketika dia berulang kali gagal menjawab teleponnya.

Meski Lee mengakui itu kesalahannya karena tidak segera memperbaharui paspornya, tapi dia mendengar cerita WNA lain dalam tahanan yang ditahan hanya karena alasan sewenang-wenang seperti membawa kartu pembayaran dan bukan uang tunai.

Nasib nahas juga dialami oleh Daniel pada bulan Mei lalu, pria transgender ini meminta anonimitas untuk melindungi privasinya, terbang ke Kuala Lumpur dari Jakarta.

BACA JUGA:Kemeja Digulung, Inilah 9 Hal yang DIsukai Wanita dari Pria Saat Pertama Bertemu

Dia dihentikan di pemeriksaan paspor dan dikirim ke kantor imigrasi.

Di sana seorang petugas langsung meneriakinya pertanyaan tanpa memberi kesempatan pada Daniel untuk menjawab.

Daniel mengatakan begitu para petugas menyadari dia seorang transgender, mereka mengolok-oloknya di depan yang lain.

Petugas itu memanggil rekan-rekannya yang lain, mengolok-olok, dan mengancamnya dengan kekerasan fisik. Bagasi dan ponselnya juga disita.

Nasib serupa juga dialami Walter, warga Afrika Selatan yang juga meminta anonimitas, ditolak masuk setelah tiba di bandara di Kuala Lumpur pada bulan Mei.

Walter, yang telah berkeliling Asia selama enam bulan, ditahan di sebuah sel tahanan.

"Kondisi di dalam sel itu menjijikkan," katanya. “Toiletnya terbuka dan dilihat semua orang, bahkan di luar ruangan."

"Seluruh ruangan berbau urin dan kotoran. Kami harus tidur di lantai semen yang dingin dan kotor, dan mereka tidak menawarkan makanan sehingga saya tidak bisa makan. Mereka hanya menawarkan sebotol air." ujarnya.

Seperti Daniel dan Lee, Walter dilarang berkomunikasi dengan dunia luar.

BACA JUGA:20 Tahun Lagi, 7 Benda Ini Tak Lagi Kita Butuhkan, Ini Penggantinya

“Tidak ada yang tahu di mana saya selama 24 jam dan saya tidak diizinkan untuk berbicara dengan keluarga, teman atau [perwakilan dari] negara saya."

"Ketika saya mendorong lebih jauh dan bertanya mengapa, dua petugas mengancam saya dan menyuruh saya untuk diam dan duduk," akunya.

Walter juga mengatakan, dia menyaksikan petugas shift malam menawarkan kesempatan kepada para tahanan untuk menyogok mereka.

Dua orang masing-masing membayarnya 3.500 ringgit (US $ 860) dan dokumen mereka diproses di tempat. "Mereka dibebaskan segera dan dikirim kembali ke tempat mereka berasal," kata Walter.

Glorene A. Das dirut Tenaganita, yang berfokus pada hak-hak perempuan dan pekerja migran, menyampaikan tanggapannya melalui email kepada The Post.

Mereka sependapat dengan kondisi di pusat penampungan imigrasi di Bandara Internasional Kuala Lumpur dan di tempat lain di Malaysia sangat menyedihkan dan tidak dapat ditolerir.

Glorene A. Das juga menyoroti laporan yang diterbitkan pada tahun 2017, lebih dari 100 orang asing di pusat imigrasi Malaysia meninggal dalam dua tahun sebelumnya sebagai akibat dari "berbagai penyakit dan penyebab yang tidak diketahui".

Lebih dari separuh korban adalah pengungsi etnis Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar.

Das mengatakan, meskipun pihak berwenang bersumpah untuk menyelidiki kematian itu, sejauh ini belum ada kemajuan yang dilaporkan.

Daniel mengungkapkan harapannya dari Kanada tempat yang menurutnya aman, "Saya ingin dunia tahu apa yang terjadi di Malaysia di balik pintu tertutup - sisi yang tidak dapat Anda lihat."

BACA JUGA:Bikin Jalan Buntu Senilai Rp621 Miliar, Pemerintah Negara Ini Dikecam Warganya

Artikel Terkait