Intisari-Online.com -Seperti halnya jam di dinding, sel-sel manusia juga mempunya titimangsa 24 jamnya sendiri. Ketika sel-sel ini dalam keadaan selaras, maka tubuh juga akan selaras sehingga kita terlindung dari segala penyakit, mental maupun fisik.
Tapi ketika terjadi let-leg, pergeseran waktu tidur, atau serangan insomnia yang menyebabkan jadwal tidur asal-asalan dan berada di luar kendali, titimangsa ini juga akan menjadi kacau. Kondisi ini, sebut beberapa ilmuwan, akan memicu hadirnya inveksi virus dan depresi.
(Ingin Beli Smartphone Asus yang Paling Pas Buat Kamu? Simak Panduan Ini)
Richard Friedman, seorang profesor psikiatri klinis di Weill Cornell Medical College, telah meniliti seorang pasien di AS yang menderita manic depression atau yang biasa kita sebut bipolar disorder. Ia merasakan depresi hebat ketika kembali ke Eropa dari liburannya yang menyenangkan tapi berubah menjadi ceria lagi ketika pergi ke luar Eropa.
Perubahan mood-nya ketika berada di dan luar Eropa ternyata tidak disebabkan oleh back-to-reality blues. “Masalahnya ternyata adalah adanya gangguan sirkadian dalam diri pasien tersebut,” tulis Friedman di editorial New York Times Sunday Review.
Oleh sebab itu, lanjut Friedman, pasien itu tidak memerlukan obat. Ia hanya membutuhkan kadar tidur dan sinar matahari yang tepat. Dengan cara ini, menurut Freidman, pasien itu akan menstabilkan ritme sirkadiannya dan mendapatkan manfaat kesehatan secara keseluruhan.
Perlu diketahui, ritme sirkadian mewakili proses biokimia dan fisiologis yang naik dan turun selama 24 jam, termasuk yang terkait dengan hormon, suhu tubuh, makan, dan mencerna makanan.
(Mengenal Lebih Dalam Gangguan Bipolar yang Diidap Carrie Fisher)
Friedman, merujuk pada sebuah studi tahun 2001, menggambarkan hubungan antara tidur, sinar matahari, dan suasana hati. Dalam studi itu, tim psikiater di sebuah rumah sakit di Milan, Italia, melihat pasien bipolar yang dirawat di rumah sakit dengan jendela besar di bagian timurnya pulang lebih cepat dibandingkan pasien yang dirawat di kamar dengan jendela besar di sebelah barat kamar.
Artinya, sinar matahari pagi itu telah bekerja sebagai antidepresan alami bagi si pasein. “Sinar matahari alami bisa menjadi terapi yang (awalnya) tak diperhitungkan oleh pasien bipolar,” tulis para peneliti.
Masih soal ritme sirkadian. Menurut sebuah penelitian yang dikerjakan oleh para peneliti dari California, Michigan, dan New York pada 2013 lalu, gangguan sirkadian juga bisa berdampak buruk pada gen manusia.
Mereka menemukan, orang-orang tanpa gangguan depresi punya aktivitas gen yang selaras dengan waktu terbit matahari sehari-hari: aktif dan waspada ketika siang, istirahat ketika malam. Sementara bagi mereka yang depresi, pola aktivitas gennya tidak sinkron dengan aktivitas matahari. Yang seharusnya aktif ketika siang, justru aktif ketika malam.
Studi ini kemudian menginspirasi para dokter untuk menggalakkan “chronotherapy” dengan memaksa pasien untuk menyalakan lampu di pagi hari untuk menyelaraskan ritme sirkadian dengan jam matahari.
Meningkatkan kandungan magnesium dalam makanan juga dapat membantu kita mengatur jam internal kita. Serangkaian percobaan yang dilakukan peneliti dari Inggris dan Skotlandia pada 2016 lalu mengungkapkan bahwa magnesium dapat memaikan peran yang tak terduga dalam membantu tubuh beradaptasi dengan ritme malam dan siang.
Friedman sendiri, seperti tertulis dalam editorial New York Times yang disebut di awal, biasa menggunakan cahaya dan melatonin untuk membantu pasiennya menyesuaikan ritme sirkadian mereka dan melawat jet-lag. Dan untuk saat ini, ia mencoba memanfaatkan chronotherapy yang dianggap lebih modern untuk mengobati pasien depresi yang tak kunjung membaik setelah diberi obat.
“Apakah chronotherapy cukup efektiv sebagai antidepresan konvensional, belum diketahui,” tulisnya. “Tapi, tak ada jawaban terbaik untuk menghilangkan masalah depresi kecuali dengan menyelaraskan ritme sirkadian kita dengan lingkungan sekitar. Apa hal alami yang bisa kita lakukan selain itu?”