Intisari-Online.com -Pemberitaan seputar kunjunga Raja Salman ke Indonesia jadi bahan pemberitaan utama media-media di Indonesia selama sepekan terakhir. Selain menerka-nerka di mana Penguasa Arab Saudi akan menginap, pertanyaan paling ramai adalah, apa motif kedatanganRaja Arab Saudi ini?
Seperti dirangkum Kompas.com, setidaknya ada tiga tujuan kunjungan Raja Salman ke Indonesia: piknik, politik, dan bisnis.
(Bertarif Rp73 Juta per Malam, Inikah Penampakan Hotel Tempat Menginap Raja Salman?)
Sejak awal rencana kunjungan ini muncul, rombongan Raja sudah mendapatkan jadwal untuk tetirah ke Pulau Dewata. Tepatnya, mereka akan ada di Bali pada 4-9 Maret 2017, setelah kunjungan kenegaraan dan beberapa agenda lain di Jakarta dan Bogor pada 1-4 Maret 2017.
Namun, jangan salah. Piknik ke Bali bukan agenda wisata tunggal rombongan Raja Arab Saudi dari keseluruhan rangkaian perjalanan kenegaraannya ke kawasan Asia kali ini. Sebelum ke Indonesia, rombongan Raja sudah singgah ke Maladewa—salah satu surga wisata bahari dunia.
Tapi itu bukan tujuan satu-satunya. Raja Salman tampaknya juga membawa agenda politik dalam kunjungannya kali ini. Agenda politik bukan berarti mengajak Indonesia menjadi sekutu Arab Saudi soal perang dan konflik di Timur Tengah, tapi lebih pada membahas masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) dan tenaga kerja wanita (TKW) asal negeri ini yang masih sering terlunta di sana.
Raja Salman bin Abdulaziz dijadwalkan menggelar pertemuan khusus dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor. Sebagai catatan, kunjungan kepala negara Arab Saudi ke Indonesia sebelum ini terjadi terakhir kali pada 1970.
Masih masuk agenda politik, Raja Salman dan rombongannya juga disebut punya jadwal bertemu sejumlah tokoh masyarakat, termasuk mengunjungi Masjid Istiqlal. Lagi-lagi, bukan buat mengajak ganti ideologi, tetapi lebih pada “kedekatan” karena data statistik penduduk Muslim Indonesia.
Motif terakhir adalah bisnis. Topik juga kerap disebut belakangan ini. Maklum, Arab Saudi termasuk negara yang lumayan terdampak soal anjloknya harga minyak mentah.
Harga minyak dunia masih bertengger di atas 100 dolar AS per barrel pada Juni 2014, sebelum terjun bebas dan rebound-nya tertahan tak lebih dari kisaran 50 dollar per barrel hingga saat ini. Padahal, minyak adalah sumber penghasilan utama Arab Saudi. Masalahnya, cadangan minyak negara itu juga bukan yang terbesar di dunia.
Pendapatan dari para peziarah jadi sumber utama kedua. Sebanyak-banyaknya minat Muslim sedunia mau berhaji atau umrah, lahan Masjidil Haram punya keterbatasan daya tampung, sekalipun sudah diperluas dan bertingkat-tingkat bangunan yang mengitari Kabah.
Sudah begitu, warga negara Arab Saudi selama ini menikmati banyak fasilitas gratis dari negara—mengandalkan pendapatan minyak. Pendapatan per kapita warga Arab Saudi pun terus turun, sejalan dengan kejatuhan harga emas hitam itu.
Proporsi anggaran penerimaan Arab Saudi dari minya dan non-minyak pada 2017
Kurang lebih dari situasi ekonomi yang terjepit tersebut, jualan pengalaman jadi pusat ladang minyak dunia jadi salah satu peluang “perpanjangan napas” keuangan Arab Saudi. Inilah yang lantas kerap disebut di pemberitaan dan media sosial, terkait rencana investasi Arab Saudi.
Lewat perusahaan negaranya ke Indonesia, untuk menggarap peremajaan dan pengembangan kilang minyak. Namun, rencana penawaran perdana saham (IPO) Aramco—perusahaan minyak tersebut—masih lebih mengemuka.
Selebihnya, semua masih kemungkinan, mengingat keuangan negara itu pun sedang kocar-kacir, bahkan sekadar untuk membayar gaji para pegawainya. Seperti dikutip dari Bloomberg, Arab Saudi memperkirakan anggaran negaranya akan defisit 7,7 persen pada 2017.
Negara itu pun memperkirakan beragam skenario menyikapi efek anjloknya harga minyak masih akan berkembang hingga 2020. Meski sudah tak lagi menjadi 90 persen pendapatan, minyak lagi-lagi masih jadi harapan utama perekonomian Arab Saudi.
Pemasukan dari minyak pada 2017 diharapkan naik lagi, terutama setelah organisasi produsen dan pengekspor minyak pada pengujung November 2016 sepakat memangkas total kuota produksi kolektif.
Targetnya, Arab Saudi bisa meraup pendapatan senilai 480 miliar riyal dari minyak, untuk mengejar proyeksi penerimaan negara sebesar 692 miliar riyal pada 2017. Angka "minyak" ini naik dari realisasi 329 miliar riyal pada 2016.