Intisari-Online.com - Sebuah penelitian yang dimuat di jurnal Obesity menyimpulkan bahwa stres terus menerus bukan cuma mengundang darah tinggi, penyakit jantung, dan insomnia, tetapi juga bisa membuat orang kelebihan berat badan.
(Obesitas menyebabkan perubahan pada substansi otak manusia.)
Para peneliti yang dipimpin peneliti Sarah Jackson dari Institute of Epidemiology and Health, University College London, mempelajari 2.500 pria dan wanita berusia 54 dan lebih tua, selama sekitar empat tahun.
Mereka mengambil sampel rambut masing-masing partisipan untuk mengukur kadar kortisol, hormon yang dilepaskan ke dalam aliran darah pada saat stres. Jika seseorang sedang mengalami stres jangka panjang, maka tingkat kortisolnya akan jauh lebih tinggi.
(Ini dia, empat mitos stres yang masih saja dipercaya.)
Para peneliti juga mengumpulkan data berat partisipan dan membandingkannya dengan kadar kortisol. Hasil penelitian menunjukkan, mereka yang memiliki kadar kortisol lebih tinggi cenderung memiliki lingkar pinggang lebih besar.
Temuan ini memberikan bukti yang konsisten bahwa stres jangka panjang berhubungan dengan resiko obesitas yang lebih tinggi.
(Soal infertilitas, jangan salahkan perempuan.)
"Infertilitas berbeda dengan kemandulan. Infertilitas itu adalah kekurangmampuan pasangan dalam menghasilkan keturunan, sementara kemandulan itu sterilitas," kata dokter yang berpengalaman dalam menangani program bayi tabung itu.
Stres bukan hanya soal psikis, namun bisa juga fisik, seperti tenaga terforsir dan kelelahan. "Orang yang sudah lama ingin punya anak tetapi tak kunjung berhasil, kemudian stres. Justru dengan stres akan membuat keinginannya memiliki anak menjadi semakin sulit," katanya.
Pasangan dikatakan infertil apabila setelah satu tahun atau 12 bulan menikah dengan melakukan hubungan seksual dalam frekuensi yang wajar, namun belum ada kehamilan.
"Malah ada yang baru menikah tiga bulan belum hamil-hamil juga sudah bingung dan datang ke saya. Ya, memang ada sebagian pasangan yang ingin langsung punya anak dan ada yang menunda," katanya.
Namun, kata dia, pasangan yang ingin menunda punya anak sebaiknya menggunakan cara-cara yang alami, seperti senggama terputus untuk meminimalisasi dampak yang malah menyulitkannya saat ingin memiliki anak.
Secara umum, kata Pembina Yayasan Warendra Kusumapradja yang menaungi RSIA Kusuma Pradja Semarang itu, ada lima penyebab infertilitas, yakni usia, frekuensi hubungan seksual, lingkungan, gizi nutrisi, dan stres.
"Usia paling bagus sekitar 30 tahunan. Kalau sudah di atas 35 tahun, ya, fertilitasnya turun. Frekuensi hubungan seksual, idealnya seminggu dua kali. Jangan terlalu sering, jarang juga jangan," kata dia. Ini berkaitan dengan kualitas sperma.Kualitas sperma terbaik terbentuk dalam rentang waktu 3-4 hari. Jika kurang dari itu jelas akan kurang kualitasnya, sementara jika lebih dari itu banyak sperma yang mati.
"Lingkungan juga pengaruh, termasuk pemenuhan gizi dan nutrisi secara seimbang. Orang yang sering mengonsumsi junkfood bisa berpengaruh ke fertilitas, demikian juga rokok dan alkohol," kata Noerpramana.
Untuk penyebab khusus infertilitas, lanjut dia, disesuaikan jender, misalnya laki-laki karena kelainan anatomi dan gangguan spermatogenesis, sementara perempuan karena faktor vagina, rahim, hingga ovarium.
"Penanganan infertilitas tergantung dari penyebabnya sehingga dibutuhkan pemeriksaan. Yang penting, jaga kesehatan dan kebugaran tubuh, makan makanan bergizi, hindari rokok dan alkohol," pungkasnya.
Nah, rasanya apa yang disampaikan Sarah Jackson patut kita perhatikan. "Temukan cara-cara yang lebih baik untuk mengelola stres," katanya seperti dilansir Kantor Berita Xinhua.