Intisari-Online.com - Sebuah penelitian yang dimuat di jurnal Obesity menyimpulkan bahwa stres terus menerus bukan cuma mengundang darah tinggi, penyakit jantung, dan insomnia, tetapi juga bisa membuat orang kelebihan berat badan.
(Obesitas menyebabkan perubahan pada substansi otak manusia.)
Para peneliti yang dipimpin peneliti Sarah Jackson dari Institute of Epidemiology and Health, University College London, mempelajari 2.500 pria dan wanita berusia 54 dan lebih tua, selama sekitar empat tahun.
Mereka mengambil sampel rambut masing-masing partisipan untuk mengukur kadar kortisol, hormon yang dilepaskan ke dalam aliran darah pada saat stres. Jika seseorang sedang mengalami stres jangka panjang, maka tingkat kortisolnya akan jauh lebih tinggi.
(Ini dia, empat mitos stres yang masih saja dipercaya.)
Para peneliti juga mengumpulkan data berat partisipan dan membandingkannya dengan kadar kortisol. Hasil penelitian menunjukkan, mereka yang memiliki kadar kortisol lebih tinggi cenderung memiliki lingkar pinggang lebih besar.
Temuan ini memberikan bukti yang konsisten bahwa stres jangka panjang berhubungan dengan resiko obesitas yang lebih tinggi.
Lain lagi dengan wanti-wanti ginekolog Noerpramana dari Semarang ini. Dalam kelas pengasuhan di RSIA Kusuma Pradja Semarang, Sabtu (25/2/2017), ia mengatakan bahwa stres bisa membuat pasangan yang mengalami infertilitas lebih sulit lagi dalam memiliki keturunan.
(Soal infertilitas, jangan salahkan perempuan.)
"Infertilitas berbeda dengan kemandulan. Infertilitas itu adalah kekurangmampuan pasangan dalam menghasilkan keturunan, sementara kemandulan itu sterilitas," kata dokter yang berpengalaman dalam menangani program bayi tabung itu.
Stres bukan hanya soal psikis, namun bisa juga fisik, seperti tenaga terforsir dan kelelahan. "Orang yang sudah lama ingin punya anak tetapi tak kunjung berhasil, kemudian stres. Justru dengan stres akan membuat keinginannya memiliki anak menjadi semakin sulit," katanya.
Pasangan dikatakan infertil apabila setelah satu tahun atau 12 bulan menikah dengan melakukan hubungan seksual dalam frekuensi yang wajar, namun belum ada kehamilan.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR