Intisari-Online.com - Ya, sejarah industri musik Indonesia yang bermula di awal abad ke-20 dalam kemasan piringan hitam, menjadi sangat marak justru setelah dikembangkan oleh para pembajak dalam format pita kaset.
Kaset lantas beralih ke piringan cakram digital, kemudian berkembang bahkan dilengkapi video. Perjalanan sejarah yang begitu dinamis layaknya musik rock’n roll itu dicatat secara rinci oleh wartawan senior Theodore KS dalam bukunya Rock’n Roll Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital. Berikut ini cukilannya.
---
Catatan “Columbia Electric Recording” dari tahun 1920-an memperlihatkan sejumlah kegiatan rekaman suara: “Opname Paling Baroe, Terbikin di Tanah Djawa. Importeur K.K. Knies, Soerabaia, Weltevreden”, berisi keterangan tentang lagu atau musik yang direkam dari kelompok gamelan, orkes keroncong, wayang golek, wayang orang, dan opera: Ambonsch Fluitorkest dari Malang, Gamelan Soeling Ketjapi (Tjiandjoer), Gamelan Ketoek Tiloe (Bandoeng), Harmonieom Orkest (Soerabaia), Gamelan Mangkoe Negoro VII (Solo), dll.
(Resep Sarapan Sehat: Smoothie Kopi-Pisang yang Bikin Kita Sehat dan Berenergi)
Dalam periode itu juga terdapat sejumlah rekaman lagu Indonesia yang diproduksi di negeri lain. Piringan hitam (PH) “Kerontjong Aseli Muritsku Sirene” yang dinyanyikan Sulami dengan iringan Canary Orkest dan diterbitkan Canary Records tahun 1926 adalah made in India. Sementara “Kerontjong Boeroeng Nori” yang dinyanyikan Miss Ijem dengan musik Orkest Nirom II Bandoeng pimpinan Jan Schneiders adalah made in Germany, dengan label Odeon Record. Demikian pula rekaman lagu Indonesia Raja karya W.R. Supratman, diproduksi Ultraphon, Jerman, awal 1930-an.
Lagu Terang Boelan yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Malaysia Negaraku, muncul dalam dua PH. Pertama, sebelum Perang Dunia II disajikan Victor Silvester and His Ballroom Orchestra secara instrumental, dengan judul “Terang Boelan (Traditional Malayan Love Song)”, diterbitkan Columbia, Amerika. Yang kedua diproduksi Philips, Belanda, dinyanyikan Gerry Merril dengan iringan Gallardo and His Orchestra, judulnya diganti jadi I Shall Return dan diberi keterangan “adaptation of Indonesian melody Terang Boelan”.
Sekitar tahun 1930 juga beredar rekaman Orkes Gambus (OG) pimpinan Syech Albar di atas PH Radio Corporation of America (RCA) Records. Waktu itu, musik gambus berkembang di Batavia dan Jawa Tengah hingga Surabaya. Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, musik gambus menjadi acara rutin siaran RRI Studio Jakarta.
Mas Yos sang perintis
Musik Indonesia tak akan menjadi industri tanpa peran Sujoso Karsono (18 Juli 1921 – 26 Oktober 1984) yang akrab dipanggil Mas Yos. Sejak masih dinas di militer, dia mendirikan The Indonesian Music Company Limited pada 17 Mei 1951 yang kemudian dikenal dengan label Irama. Semasa menjadi penerbang Angkatan Udara ia mendirikan grup musik hawaiian Lieve Souveniers di Semarang, kemudian Elshinta Hawaiian Senior di Jakarta.
Di masa pensiun ia menggunakan garasi rumahnya di Jakarta Pusat untuk merekam sebuah kuartet jazz yang terdiri atas Dick Abel (gitar), Max van Dalm (bas), Dick van der Capellen (drum), dan Nick Mamahit (piano) sebagai PH pertama produksi Irama.
Produksi berikut adalah penyanyi Hasnah Tahar (lagu Burung Nuri, Chajalan dan Penjair) diiringi OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik, Munif Bahasuan (Ratapan Anak Tiri), Oslan Husein yang merock’n-roll-kan Bengawan Solo, Kampuang nan Djauh di Mato dengan iringan Teruna Ria, Nurseha (lagu Ajam den Lapeh, Laruik Sandjo), serta Mas Yos sendiri lewat lagu Nasi Uduk dan Djanganlah Djangan diiringi Orkes Maruti.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR