Intisari-Online.com -Ya, sejarah industri musik Indonesia yang bermula di awal abad ke-20 dalam kemasan piringan hitam, menjadi sangat marak justru setelah dikembangkan oleh para pembajak dalam format pita kaset.
Kaset lantas beralih ke piringan cakram digital, kemudian berkembang bahkan dilengkapi video. Perjalanan sejarah yang begitu dinamis layaknya musik rock’n roll itu dicatat secara rinci oleh wartawan senior Theodore KS dalam bukunya Rock’n Roll Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital. Berikut ini cukilannya.
---
Catatan “Columbia Electric Recording” dari tahun 1920-an memperlihatkan sejumlah kegiatan rekaman suara: “Opname Paling Baroe, Terbikin di Tanah Djawa. Importeur K.K. Knies, Soerabaia, Weltevreden”, berisi keterangan tentang lagu atau musik yang direkam dari kelompok gamelan, orkes keroncong, wayang golek, wayang orang, dan opera: Ambonsch Fluitorkest dari Malang, Gamelan Soeling Ketjapi (Tjiandjoer), Gamelan Ketoek Tiloe (Bandoeng), Harmonieom Orkest (Soerabaia), Gamelan Mangkoe Negoro VII (Solo), dll.
(Resep Sarapan Sehat: Smoothie Kopi-Pisang yang Bikin Kita Sehat dan Berenergi)
Dalam periode itu juga terdapat sejumlah rekaman lagu Indonesia yang diproduksi di negeri lain. Piringan hitam (PH) “Kerontjong Aseli Muritsku Sirene” yang dinyanyikan Sulami dengan iringan Canary Orkest dan diterbitkan Canary Records tahun 1926 adalah made in India. Sementara “Kerontjong Boeroeng Nori” yang dinyanyikan Miss Ijem dengan musik Orkest Nirom II Bandoeng pimpinan Jan Schneiders adalah made in Germany, dengan label Odeon Record. Demikian pula rekaman lagu Indonesia Raja karya W.R. Supratman, diproduksi Ultraphon, Jerman, awal 1930-an.
Lagu Terang Boelan yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Malaysia Negaraku, muncul dalam dua PH. Pertama, sebelum Perang Dunia II disajikan Victor Silvester and His Ballroom Orchestra secara instrumental, dengan judul “Terang Boelan (Traditional Malayan Love Song)”, diterbitkan Columbia, Amerika. Yang kedua diproduksi Philips, Belanda, dinyanyikan Gerry Merril dengan iringan Gallardo and His Orchestra, judulnya diganti jadi I Shall Return dan diberi keterangan “adaptation of Indonesian melody Terang Boelan”.
Sekitar tahun 1930 juga beredar rekaman Orkes Gambus (OG) pimpinan Syech Albar di atas PH Radio Corporation of America (RCA) Records. Waktu itu, musik gambus berkembang di Batavia dan Jawa Tengah hingga Surabaya. Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, musik gambus menjadi acara rutin siaran RRI Studio Jakarta.
Mas Yos sang perintis
Musik Indonesia tak akan menjadi industri tanpa peran Sujoso Karsono (18 Juli 1921 – 26 Oktober 1984) yang akrab dipanggil Mas Yos. Sejak masih dinas di militer, dia mendirikan The Indonesian Music Company Limited pada 17 Mei 1951 yang kemudian dikenal dengan label Irama. Semasa menjadi penerbang Angkatan Udara ia mendirikan grup musik hawaiian Lieve Souveniers di Semarang, kemudian Elshinta Hawaiian Senior di Jakarta.
Di masa pensiun ia menggunakan garasi rumahnya di Jakarta Pusat untuk merekam sebuah kuartet jazz yang terdiri atas Dick Abel (gitar), Max van Dalm (bas), Dick van der Capellen (drum), dan Nick Mamahit (piano) sebagai PH pertama produksi Irama.
Produksi berikut adalah penyanyi Hasnah Tahar (lagu Burung Nuri, Chajalan dan Penjair) diiringi OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik, Munif Bahasuan (Ratapan Anak Tiri), Oslan Husein yang merock’n-roll-kan Bengawan Solo, Kampuang nan Djauh di Mato dengan iringan Teruna Ria, Nurseha (lagu Ajam den Lapeh, Laruik Sandjo), serta Mas Yos sendiri lewat lagu Nasi Uduk dan Djanganlah Djangan diiringi Orkes Maruti.
Rekaman tidak hanya dilakukan di dalam negeri. Antara 1951-1952 Irama juga memproduksi PH di luar negeri. Berkat kunjungannya ke industri musik luar negeri, Mas Yos dipercaya mencetak dan mengedarkan PH dari perusahaan Jepang, Amerika, dan Eropa di Indonesia. Sebagai imbalan, Irama membayar royalti untuk setiap PH yang dijualnya.
Mas Yos terinspirasi memproduksi PH stereo pertama di Indonesia pada tahun 1961. Lahirlah album “Semalam di Malaysia”, menampilkan OSD (Orkes Studio Djakarta) pimpinan Sjaiful Bahri.
Sjaiful Bahri juga pernah menjadi Direktur Musik Perusahaan Film Negara Malaysia. Dia juga yang “menemukan” Titiek Puspa yang gagal di ajang lomba Bintang Radio di RRI Jakarta tahun 1954.
Munif Bahasuan pada tahun 1955 ia membentuk OM Kelana Ria bersama Adikarso. Langkah besar grup ini adalah “melahirkan” Ellya Khadam dengan lagu ciptaanyang dibawakannya sendiri, Boneka dari India. Pada 1960-an Munif bergabung dengan pemusik jazz Nick Mamahit, Jack Lesmana, dan Bill Saragih.
Yang juga berperan di Irama adalah Orkes Medenasz yang didirikan oleh Dimas Wahab pada 1963 saat ia berusia 16 tahun. Mulai tahun 1964, Medenasz diasuh pengarah acara musik TVRI Hamid Gruno, hingga mengisi acara tetap di TVRI, Gaja dan Irama. Setelah Medenasz bubar, Dimas Wahab membentuk The Pro’s yang nyaris tak memiliki album rekaman kecuali PH “Bob Tutupoly with The Pro’s” yang direkam di Singapura dengan label Star Swan.
Lokananta, dokumentasi kebudayaan musik
Tahukah Anda, komikus besar Jan Mintaraga adalah personel pertama Kus Bros, cikal bakal Koes Plus? Ya, Kus Bros, band yang didirikan pada 1959 itu mula-mula beranggotakan Jan (8 November 1941 – 14 Desember 1999), Djon Koeswoyo (1932), Yok Koeswoyo (1943), Yon Koeswoyo (1940), Nomo Koeswoyo, dan Tony Koeswoyo (19 Januari 1936 – 27 Maret 1987). Adikarso, pendiri OM Kelana Ria dan pencipta lagu Papaja Cha Cha Cha, mengajak mereka ke Irama.
Pada saat itu pembayaran royalti pada pencipta lagu berlangsung tertib. Itu terjadi karena peran Mas Yos berdasarkan pengalaman bisnisnya dengan perusahaan rekaman mancanegara seperti RCA, Polydor, dan Philips. Mas Yos selalu membayar royalti kepada pencipta lagu mancanegara yang lagunya direkam dan dijual di Indonesia. Cara yang sama dia terapkan kepada pencipta lagu dan penyanyi di dalam negeri.
Mas Yos menyarankan agar nama Kus Bros diubah menjadi Kus Bersaudara. Sukses. Tapi ketika peta politik berubah, Kus Bersaudara terkena dampak. Sentimen anti-Barat mendorong Pemerintah memberlakukan Penpres No. 11/1965 yang melarang musik ngak-ngik-ngok dari Inggris dan Amerika Serikat. Tony dan adika-diknya, yang masih sering membawakan lagu-lagu The Beatles, pada 29 Juni 1965 ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara Glodok. Kus Bersaudara, yang berubah menjadi Koes Bersaudara, mendekam sampai 27 September 1965.
(Ternyata Mendengarkan Musik Bisa Meningkatkan Kualitas Seks)
Ketika Nomo Koeswoyo keluar dari Koes Bersaudara, masuklah Murry, mantan pemain drum Patas Band. Koes Bersaudara menjadi Koes Plus pada 1969.
Pada 29 Oktober 1955 pemerintah mendirikan perusahaan rekaman Lokananta di Surakarta (Solo). Tujuannya semula adalah untuk merekam dan menggandakan PH bagi 49 studio RRI di seluruh Indonesia. Pada tahun 1961 ditetapkan sebagai perusahaan negara melalui PP No. 215/1961. Pada 1972, ketika pita kaset mulai menggantikan PH, perusahaan ini juga memproduksi kaset.
Ketika video mulai membudaya, Lokananta juga menggandakan video. Perusahaan rekaman dengan peralatan paling lengkap dan paling modern pada zamannya itu belakangan mengalami masa suram. Pada 1997 dinyatakan pailit, dan pada 18 Mei 2001 dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Perusahaan itu lantas ditempatkan di bawah Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Surakarta.
Lokananta berjasa melakukan dokumentasi kebudayaan dalam bentuk audio. Di sana paling tidak tersimpan sekitar 40.000 PH yang merupakan master rekaman musik, gending ataupun iringan tari. Juga ada rekaman pidato Presiden Soekarno di berbagai kesempatan.
Pada 1954, Republic Manufacturing Company Limited (Remaco) didirikan di Jakarta oleh Jan Tjia, pemilik National Plastic Company (Naplasco). Ketika ditangani sang pendiri, Remaco memproduksi lagu-lagu keroncong dan hawaiian. Saat pengelolaan diserahkan kepada Eugene Timothy, meluncur deras grup musik dan penyanyi pop dan dangdut.
Tahun 1955 berdiri pabrik PH Metropolitan dengan label rekaman Mutiara, Canary, Fontana, dan Bali Records. Selanjutnya beranakpinak menjadi Musica Studio’s, Ris Music Wijaya International, Hemagita, dan Warner Music Indonesia. Pemiliknya, Jamin Widjaya atau akrab dipanggil Amin Tjengli, adalah sahabat Bing Slamet sejak kecil.
Seniman serba bisa ini mengajak Jamin dan Idris Sardi membentuk grup musik. Lantas bergabung Ireng Maulana, Benny Mustafa, Itje Kumaunang, Darmono, dan Kamid membentuk band Eka Sapta yang siap memainkan jenis musik apa saja.
Amin Tjengli meninggal pada 22 Juli 1979 dalam usia 50 tahun. Lima tahun sebelumnya, Bing Slamet mendahului, demikian pula drummer Eddy Tulis. Eka Sapta seperti ayam kehilangan induk. Tapi Musica Studio’s terus berjaya di tangan istri Amin, Lanni Djajanegara, dan anak-anaknya, Sendjaja Widjaja, Indrawati Widjaja, Tinawati Widjaja, dan Effendi Widjaja.
Kaset penggusur piringan hitam
Masa keemasan Mas Yos dengan Irama-nya, dengan jumlah PH terjual 30.000/bulan pada tahuntahun 1962, 1963, 1964, merosot jadi 10.000 pada 1966. Menjelang gulung tikar tahun 1967, produksi PH Irama hanya 2.000. Di samping penjualan merosot, yang membuat Irama tak bisa bertahan adalah pajak penjualan dan pajak barang mewah sebesar 34%, serta 30% potongan untuk penyalur atau agen. Irama mendapat 36% sisanya, yang harus dibagi lagi untuk royalti pencipta lagu, pemusik, dan penyanyi.
Era memang berganti. Piringan hitam digantikan oleh kaset yang lebih murah dan melibatkan peralatan yang lebih sederhana. Namun pemegang peran paling besar dari massalnya peredaran kaset adalah para pelanggar Hak Cipta alias pembajak. Mereka merekam lagu-lagu dari PH ke dalam format kaset. Perusahaan PH mati kutu.
Terlepas dari kemudahannya untuk dibajak, kaset juga membawa pada masa keemasan musik Indonesia. Remaco sukses dengan album-album Koes Plus. Ini kemudian mengilhami grup musik lain seperti Mercy’s, D’Lloyd, Favorite’s, dll. Didukung oleh berkembang-nya acara musik di TVRI.
Tapi album musik yang cukup fenomenal justru terkenal tidak melalui TVRI, tetapi sebagai ilustrasi film dan kemudian dipopulerkan oleh siaran radioradio swasta pada akhir 1970-an, “Badai Pasti Berlalu”. Album ini dikerjakan oleh personel yang sebelumnya terlibat dalam produksi bersama Guruh Soekarnoputra dalam album “Guruh Gypsy”. Melesatlah nama Chrisye dan Berlian Hutauruk sebagai penyanyi, juga Erros Djarot dan Yockie Soeryoprayogo sebagai pencipta lagu/penata musik.
Jenis musik yang ikut menikmati masa keemasan kaset adalah dangdut, yang sampai menjelang akhir 1990-an tak pernah surut. Menurut para distributor di Glodok, Jakarta, yang menyalurkan kaset ke seluruh Indonesia, 30 hingga 40% produksi kaset lagu Indonesia adalah musik dangdut. Sifat hibrida dangdut dengan mudah bisa berbaur dengan warna musik lain.
(Empat Kota Terbaik untuk Para Pecinta Piringan Hitam)
Dangdut disko yang mengandalkan MIDI (Musical Instrument Digital Interface), bunyi-bunyian artifisial menguasai pasar selama 1991-1994. Memasuki tahun 1995-1996, tiba giliran dangdut tradisional yang mengandalkan alat khas seperti gendang, sitar, dan suling, membuat lagu yang bervariasi. Maka lahirlah penyanyi-penyanyi muda berwajah cantik dan bersuara khas dangdut tahun 1996: Evie Tamala (27 tahun), Iis Dahlia (24), Ikke Nurjanah (22), Cucu Cahyati (25), mendampingi pendahulu mereka yang tetap berjaya seperti Elvy Sukaesih (45), Camelia Malik (41), Rita Sugiarto (36), Itje Trisnawati (36), juga penyanyi pria seperti Mansyur S (48), Meggy Z (51), dan Rhoma Irama (49).
Meski tidak mendapat porsi sebanyak musik dangdut, musik rock juga telah lama menancapkan eksistensinya, terutama sejak perubahan politik Orde Lama ke Orde Baru. Surabaya memiliki AKA (kemudian menjadi trio SAS minus Ucok Harahap), Bandung melahirkan Rollies, Freedom of Rhapsodia, Giant Step, Harry Roesli, Trio Bimbo, Remy Rylado, Deddy Dores, dll.
Pada tahun 1970-an, musik rock didukung penuh oleh pertunjukan panggung dan liputan media, terutama Majalah Aktuil (pada 1975, majalah ini sukses menggelar konser Deep Purple di Jakarta).
Di musik jazz, nama gitaris Jopie Item terbilang paling berhasil hadir di panggung dan rekaman. Berkat tangan Jopie muncul para penyanyi seperti Rien Djamain, Margie Siegers, Ermy Kullit, Nunung Wardiman, Cici Sumiati, dll. Di kalangan pemusik muncul Embong Rahardjo, Christ Kayhatu, Abadi Soesman, Yance Manusama, Udin Syach, dkk. yang kemudian dibukakan jalan oleh Peter Gontha tampil di North Sea Jazz Festival, Negeri Belanda.
Tekanan politik Orde Lama dan Orde Baru yang melarang peredaran dan dinyanyikannya lagu-lagu Mandarin di tempat umum, justru melahirkan lagu-lagu Indonesia berirama Mandarin. Diawali Titiek Sandhora tahun 1971 dengan lagu-lagu Terang Bulan di Gunung, Si Cantik Jelita, Dayung Sampan, dengan sebagian besar menjiplak lagu Mandarin.
Industri musik Indonesia tahun 1975 bagai hutan belantara. Jiplak-menjiplak terjadi begitu saja, seakan-akan sebuah lagu tidak ada pemiliknya. Itulah yang terjadi pada lagu Ling Ling yang tiba-tiba dinyanyikan Lily Junaedi dengan judul Kenangan Manis. Lagu Dinding Pemisah yang dinyanyikan Merry Andani dalam irama dangdut tahun 1993 juga mirip Kai Sen Yen.
Rekaman suara penyanyi legendaris Teresa Teng yang diproduksi PT Suara Sentral Sejati dengan lisensi PolyGram seharga Rp11 ribu per kaset dan yang tanpa lisensi diterbitkan Saktimas Audio Records dengan harga Rp7.000, bisa ditemukan bersama-sama di satu toko kaset. Anehnya, dua duanya mencantumkan tanda lolos sensor dari Kejaksaan Agung RI.
Sementara itu, kaset keroncong yang biasanya di jalur lambat peredaran, pada 1996 tiba-tiba melejit dengan keroncong disko-reggae yang dilakukan sejumlah orang muda. Lagu Keroncong Dinda Bestari, Keroncong Telomoyo, Keroncong Dewi Murni, dsb. diaransemen ulang dengan teknologi musik baru sehingga mendekati jenis pop-disko atau dangdut disko. Tokoh yang kemudian dikenal adalah Rama Aiphama, yang bisa menghasilkan kaset hingga ratusan ribu buah.
Berbicara tentang jumlah kaset yang meledak, setelah lagu Jangan Sakiti Hatinya oleh Iis Sugianto, yang kata Rinto Harahap, pencipta lagunya, mencapai empat juta buah, JK Records juga menghasilkan lagu Tak Ingin Sendiri (Dian Piesesha) ciptaan Pance Pondaag yang terjual dua juta buah. Agak mengejutkan, rekor penjualan kaset itu justru didekati bukan oleh album lagu pop, melainkan album salawat Haddad Alwi, “Cinta Rasul I” (1999) yang terjual 1,5 juta buah.
Dalam sejarahnya, kaset lagu-lagu rohani memang ada yang mencapai angka penjualan fantastis seperti terbitan Maranatha Records (1996), lagu Di Doa Ibuku Namaku Disebut yang dinyanyikan Natasha Nikita (8 tahun), yakni 500 ribu buah.
Angka yang dikeluarkan oleh perusahaan rekaman itu merupakan angka resmi dan bisa diverifikasi. Tapi adalah kenyataan, di masyarakat juga beredar versi bajakan yang jumlahnya bahkan bisa berlipat kali. Salah satu bukti adalah beredarnya rekaman konser amal “Live Aid” serentak di London dan Philadelphia, AS, 13 Juli 1985, dan konser Band Aid menjelang Natal 1984.
Beredarnya kaset itu membuat heran Bob Geldof, pemrakarsa konser, karena dia tidak pernah merekam dalam bentuk audio, kecuali satu lagu, Dancing on the Street. Ternyata perusahaan di Indonesia merekamnya dari video konser itu. Team Records, Joker, dan Billboard yang pertamatama memproduksi kaset “Live Aid” berhasil menjual masingmasing 20 ribu kaset kemudian mengekspornya ke luar Indonesia.
Bob Geldof marah dan mendatangi KBRI London pada awal November 1985, mengimbau wisatawan untuk tidak datang ke Indonesia, juga membawa masalah itu menjadi perbincangan di Majelis Rendah Inggris pada 20 Desember 1985. Kemudian Masyarakat Eropa juga mendesak pemerintah Indonesia membenahi masalah pembajakan lagu Barat. Lahirlah Kepres No. 17/1988 yang mengesahkan perlindungan Hak Cipta atas rekaman suara. Kaset lagu-lagu Barat nonlisensi harus ditarik dari pasar, jumlahnya diperkirakan tiga juga buah dengan nilai sekitar Rp6 miliar.
Mulai 10 Agustus 1988, banyak perusahaan rekaman di Indonesia menjadi pemegang lisensi perusahaan Barat. Pada saat yang sama, pemerintah membentuk satuan-satuan tugas untuk memonitor peredaran kaset dan memberantas pembajakan.
Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) lahir pada 1 Februari 1978, pada saat industri musik Indonesia setengah pingsan dilanda pembajakan dan kaset obral “seribu tiga” bahkan ada yang “seribu lima”. Ketika Asiri dipimpin Imam Supeno DJ (1999-2002), industri musik sedang mengalami peningkatan omzet VCD karaoke. Dari 1.335.390 keping (1998) menjadi 4.196.590 keping (Oktober 1999). Lahir Asosiasi Produser Rekaman Indonesia (Asprindo) yang beranggotakan 20 perusahaan. Harga kaset yang mencapai Rp14.000 (1999) menghasilkan rekor lagu Air ciptaan Papa T. Bob yang dinyanyikan penyanyi cilik Joshua terjual lebih dari 1 juta kaset.
Persatuan Artis Penyanyi dan Pencipta Lagu, dan Penata Musik Indonesia (PAPPRI) berdiri pada18 Juni 1986, dan kemudian membentuk unit pemungut royalti yang kemudian menjadi Yayasan Karya Cipta Indonesia. Juga muncul ajang kontes dan pemberian penghargaan yang diprakarsai perusahaan kaset. Misalnya Festival Lagu Populer Indonesia dan beberapa festival lain secara insidentil, BASF Awards, HDX Awards, Anugerah Musik Indonesia. Semua hingar-bingar itu meredup seiring dengan datangnya revolusi digital yang menghasilkan produk-produk CD, lantas berkembang dengan memanfaatkan jaringan internet.
Tak sukses di rekaman RBT pun jadi
Lagu-lagu lama muncul kembali berkat Nirwana Records di Surabaya. Perusahaan ini merekam ulang lagu-lagu masa lalu dan melengkapinya dengan gambar, disertakan pula teks lagunya. Jadilah karaoke dalam format laser disc (LD) bergaris tengah 30 cm. Ternyata strategi dagang itu berhasil seiring dengan meningkatnya jumlah pemilik alat pemutar LD. Tapi lama-kelamaan formatnya diperkecil menjadi VCD (video compact disc), beriringan dengan keberadaan alat pemutar yang makin massal dan lebih murah.
Sejak itu format CD (compact disc) dan VCD menjadi pilihan rekaman lagu dan film-film bajakan. Kaset masih menjadi pilihan, tetapi bukan yang utama. Kecuali kondisi husus yang dihasilkan dari penjualan album “Bintang Lima” dan “Pendawa Lima” Dewa 19 (1993) lebih dari satu juta kaset. Desember 2000 Jamrud berhasil menjual album “Ningrat” sampai dua juta kaset, dan Sheila on 7 menjual satu juta.
(RBT, Bulan Madu yang Singkat)
Teknologi makin maju dan pembajak makin mudah bekerja. Produk bajakan diarahkan pada CD. Jadilah harga CD yang di toko resmi Rp35.000, dalam bentuk bajakan hanya Rp8.000. Lantas ada masanya nada dering telepon diisi rekaman lagu dan dijual. Ternyata pasarnya tumbuh, dan ujung-ujungnya menghasilkan royalti bagi penciptanya. Pada tahun 2002 dihasilkan Rp178.450.000, pada 2003 meningkat jadi Rp1.017.826.472, dan pada 2004 menjadi Rp2.268.342.966.
Royalti itu dikumpulkan oleh YKCI dari content profider (CP) seperti Mobile Gaul, Tigermob, Iguana, 123 Fun, dll. yang jumlahnya mencapai 150-200 perusahaan namun yang terdaftar sebagai anggota Indonesia Mobile and Online Content Provider Assosiation (Imoca) hanya 50 perusahaan, dengan 20 perusahaan saja yang ikut berbisnis ringtone.
Penyedia konten itu membayar royalti kepada YKCI sebesar 6,25%, atau minimal Rp300 per ringtone. Untuk mengunduh setiap ringtone, sebuah perusahaan CP rata-rata mengenakan tarif Rp3.000 untuk dering monophonic dan Rp5.000 untuk dering polyphonic. Satu lagi kewajiban CP adalah membayar 10% dari harga jualnya, atau minimal Rp500, kepada Apmindo, wadah penerbit musik yang diberi hak oleh pencipta lagu untuk “mengeksploitasi” karyanya bagi berbagai kepentingan yang tertuang dalam Undang-undang Hak Cipta No.19/2002.
Yang menjadi masalah bagi anggota Imoca adalah, mereka membayar royalti pencipta lagu, sementara gerai-gerai telepon seluler di mal-mal hingga kaki lima menjual ringtone sebuah lagu baru Rp10.000 plus bonus dua lagu tanpa menghubungi apalagi membayar royalti kepada YKCI maupun Apmindo. Belum lagi masalah ringtone teratasi, format MP3 (Moving Pictures Experts Groups Layer 3) dari sebuah rekaman yang dijadikan ringback tone (RBT) menjadi pasar baru industri musik.
Setiap RBT yang dijual operator seharga Rp9.000, dipotong Rp2.000 untuk biaya administrasi dan infrastruktur operator. Jadi, Rp9.000 – Rp2.000 = Rp7.000. Lagu Peterpan seperti Ada Apa Denganmu, Topeng, dan Mimpi yang Sempurna yang sangat populer pada 2005, setiap harinya antara Januari dan Mei 2005 diminta sebagai RBT oleh 5.000 hingga 10.000 pemilik telepon seluler.
Ini berarti, selama lima bulan (150 hari), lagu-lagu Peterpan itu menghasilkan: 150 hari x 10.000 x Rp7.000 = Rp10,5 miliar. Jumlah itu dibagi dua, operator (dalam hal ini Telkomsel) dan Musica Studio’s sebagai perusahaan pemroduksi rekaman Peterpan, masing-masing Rp5,25 miliar. Pencipta lagu kebagian 9%, artinya Peterpan memperoleh Rp5,25 miliar : 9% = Rp472.500.000.
Industri musik Indonesia pun menjadi industri RBT. Perusahaan jasa telekomunikasi seluler ramairamai masuk, bekerja sama dengan perusahaan rekaman. Meski bukan mayoritas pengguna telepon tertarik membeli RBT, industri itu tumbuh pesat. Apalagi untuk penyanyi atau lagu yang banyak disukai.
Lagu Matahariku milik Agnes Monica, misalnya, pada tahun 2009 diunduh sebanyak tiga juta RBT dalam sembilan bulan. Labelnya, Aquarius Musikindo, tidak bersedia menyebutkan angka royalti yang diterima Agnes setiap tiga bulan. Kalau saja ia memperoleh 20%, berarti 3.500 x 20% x 3 juta = Rp2,1 miliar dalam waktu sembilan bulan.
Cerita RBT paling sensasional adalah Mbah Surip (Urip Achmad Riyanto, kelahiran 5 Mei 1949, meninggal di puncak kesuksesannya pada 4 Agustus 2009) dengan lagu-lagunya yang “meledak” antara lain Tak Gendong, Bangun Tidur, I Love You Full. Lagu-lagu dari tahun 2003 yang dirilis ulang Mei 2009 itu diberitakan menghasilkan royalti RBT Rp4,5 miliar. Bahkan Ketua Umum PAPPRI Dharma Oratmangun kepada Warta Kota mengatakan, jumlahnya bisa lebih besar, Rp10 miliar. Sementara majalah Gatra mengutip pernyataan Mbah Surip bahwa royalti yang dia terima Rp82 miliar. Hanya saja dia tidak tahu menagihnya ke mana?
Berdasarkan data penjualan RBT hingga Juli2009, album “Tak Gendong” dipakai sebagai RBT oleh 62.484 pelanggan Indosat, 62.904 pelanggan XL, 125.090 pelanggan Esia, dan 338.012 pelanggan Telkomsel. Total dari tujuh operator, selama dua bulan RBT lagu Tak Gendong dipakai oleh 617.159 pelanggan. Meski tak jelas angka persentase pembagiannya, yang pasti, Mbah Surip menerima Rp112.386.041 untuk royalti RBT, royalti penjualan kaset/CD, dan honor acara televisi yang diserahkan pada 21 Agustus 2009 oleh Falcon Interactive – perusahaan rekaman yang memproduksi lagu lagunya.
Boleh dibilang, RBT mengambil alih penjualan kaset dan CD. Tapi musibah terjadi ketika pada 18 Oktober 2011 pemerintah menonaktifkan RBT karena masalah penyedotan pulsa pemilik telepon seluler.
Dari RBT, muncul toko maya yang melayani pembelian lagu yang digagas Telkomsel, bermitra dengan beberapa perusahaan rekaman musik, LangitMusik. Juga muncul perusahaan sejenis, Independent Music Portal (IM:port). Bedanya dengan RBT, kedua terakhir itu berisi lagu secara penuh dan pilihan sendiri, bukan pilihan orang yang ditelepon.
Industri musik Indonesia kembali naik-turun bak irama rock’n roll. RBT surut, namun peredaran secara digital kian lengkap lewat format MP3 dan menggunakan sarana internet, panggung-panggung pertunjukan, media massa, juga televisi. Tak juga bisa dilepaskan adalah kelompok-kelompok di luar label rekaman yang mengedarkan karya musik secara independen.