Intisari-Online.com – Candi Kidal memang tidak setenar Candi Singosari. Tapi candi ini dianggap sebagai candi tertua di Jawa Timur. Di tubuh candi ini terdapat relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda).
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari Kerajaan Singosari. Beberapa sumber tertulis menyatakan, candi ini dibangun pada 1248 M. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singosari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 – 1248).
Dari sisi usia, Candi Kidal merupakan yang tertua di Jawa Timur. Candi Kagenengan, yang dalam Kitab Negarakertagama, disebutkan sebagai tempat pendharmaan Ken Arok, ayah tiri Anusapati, hingga kami belum ditemukan.
Nama Kidal diberikan karena hiasan candi (yang menjadi makam Anusapati) ini tidak seperti candi-candi pada umumnya. Relief candi ini bersifat prasawiya, “dibaca” berlawanan arah jarum jam. Kata kidal dalam bahasa Jawa Kuno bermakna kiri.
Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi tampak agak tinggi dengan tangga masuk berukuran relatif kecil. Badan dan atap candi lebih sempit dibandingkan dengan luas kaki candi. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medalion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas tiga tingkat. Luas atap dari tingkat bawah hingga paling atas semakin kecil dan di bagian atap paling atas tidak memiliki hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Buddha).
Jika dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi di Jawa Timur. Sebelum periode Mpu Sendok (abad ke-10 M), Airlangga (abad ke-11 M), dan Kediri (abad ke-12 M) tidak ada candi yang dibangun, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jalatunda (Trawas), yang sesungguhnya bukan candi melainkan petirtaan.
Satu hal yang menarik dari Candi Kidal adalah reliefnya yang berdasarkan mitologi Hindu.
Pada bagian kaki candi terpahat tiga relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Garudeya mengisahkan perjalanan Garuda membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta. Pada eranya, cerita ini populer di kalangan masyarakat Jawa karena maknanya yang begitu dalam.
Untuk “membaca” kisah Garudeya, Anda bisa memulainya dari sisi selatan atau (kalau Anda menghadap candi) dari sisi kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda di bawah tiga ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda menyunggi kendi di atas kepalanya, terakhir relief Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua paling indah dan masih utuh.
Relief pertama mengisahkan Kadru dan Winata, dua bersaudara istri Rsi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat tiga ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru digambarkan sebagai pemalas. Ia merasa capai mengurus ketiga anak angkatnya yang nakal-nakal. Ia pun berniat menyerahkan tugas pengasuhan kepada Winata. Melalui taruhan yang penuh tipu daya, Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu, Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru dan mengasuh ketiga anak angkatnya. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut.
Pada relief kedua diceritakan, Garuda yang telah tumbuh besar menanyakan kepada ibunya alasan dia dan ibunya harus menjaga tiga saudara angkatnya. Setelah diceritakan bahwa ibunya kalah dalam pertaurah melawan Winata, Garuda pun mengerti. Berdasarkan penjelasan dari tiga ekor ular yang diasuhnya, ia tahu bahwa air suci amerta yang disimpan di kayangan bisa membebaskan ibunya dari perbudakan. Dalam upaya mendapat air amerta, dia sepat berperang melawan para dewa penunggu kayangan. Dia akhirnya menang. Namun, Bathara Wisnu ikut melibatkan diri berperang melawan Garuda. Garuda pun takluk pada Wisnu.
Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, Wisnu mengizinkan Garuda meminjam amerta dengan syarat. Garuda mau menjadi tunggangannya. Garuda setuju. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu. Garuda pun turun kembali ke Bumi dengan membaw amerta.
Pada relief ketiga digambarkan, berbekal air suci amerta Garuda berhasil membebaskan ibunya. Dia dengan gagah perkasa menggendong ibunya. Sang ibu pun terbebas dari perbudakan oleh Kadru.
Pertanyaan yang sering muncul, mengapa kisah ini yang diukirkan di makam Raja Anusapati? Diperkirakan ini adalah pesan terakhir sang raja yang merupakan wujud rasa cinta pada ibundanya, Ken Dedes yang semasa hidupnya selalu menderita. (*/Pop/Gde)