Intisari-Online.com - Selain, tentu saja, hasil penghitungan suara oleh KPU, salah satu hal yang paling ditunggu dan kerap membuat deg-degan publik terkait Pilkada adalah quick count alias hitungan cepat. Meski demikian, belum banyak yang tahu bagaimana quick count bekerja.
Meski hasilnya cepat dan, dalam beberapa kasus, kerap akurat, teknis pelaksanaan hitung cepat sebenarnya tak terlalu rumit. Pengolahan datanya pun tak manual lagi. Masing-masing lembaga survei yang melakukan proses hitung cepat sudah mengantongi program yang dirancang khusus. Mungkin yang agak rumit hanyalah pembuatan software programmnya.
(Pilkada DKI dan Misteri Nomor Urut 1)
Mantan direktur riset Indobarometer, Muhamad Yusuf Kosim, bercerita bahwa hitung cepat sebenarnya merupakan metode statistik terapan yang digunakan dalam penghitungan suara. Jika kebetuhan hitung cepat semakin berkembang belakangan ini, alasannya semata supaya publik bisa lebih cepat mengetahui hasilnya.
Dalam proses hitung cepat ini penghitungan didasarkan pada unit tempat pemungutan suara (TPS), bukan individu pemilih. Maka, lembaga survei akan mendata jumlah dan pesebaran TPS. Data ini akan menentukan proporsi persebatan TPS masing-masing wilayah, setelah mengetahui jumlah sampelnya.
Tidak semua hasil suara TPS dikumpulkan. Cukup sampel saja. Nah, di sinilah pihak lembaga survei harus cermat dalam menentukan sampel agar bisa mewakili populasi. Sampel diambil berdasarkan prinsip acak atau random.
Tingkat kesalahan pun sudah ditentukan dari awal. Contohnya, Indobarometer memilih memakai margin of error 0,5%, sedangkan LSI lebih tinggi, yakni 2%. Artinya, perolehan suara kandidat dari hasil hitung cepat ini bisa bergeser ke atas atau ke bawah sebesar 2%. Semakin kecil angka margin of error tentu hasilnya semakin akutar.
Sampel besar biaya bengkak
Hitung statistik pun dikerjakan hingga akhirnya muncul jumlah sampel TPS dengan margin of error yang telah ditentukan tadi. Pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, misalnya. Dari 15.059 TPS, Indobarometer menggunakan 300 TPS sebagai sampel, sedangkan LSI memakai 410 TPS.
“Prinsipnya, semakin besar jumlah sampel TPS, semakin mendekati karakteristik populasi,” tutur Kuskridho Ambardi, Direktur Eksekutif LSI.
Sementara Yusuf memaparkan bahwa jumlah 300 sampel sudah cukup mewakili bagi lembaganya. “Menggunakan sampel 500 atau 15 ribu sekalipun, jika hasilnya sama, ya buat apa harus besar-besar?” katanya. Dan jangan lupa, ini soal biaya juga.
Pertimbangan selanjutnya adalah proporsi populasi TPS. Lembaga survei harus paham betul karakteristik populasi, seberapa homogen dan heterogen wilayah yang disurvei. DKI Jakarta saja yang terbagi menjadi lima bagian kotamadya memiliki perbedaan proporsi populasi pemilih.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR