Intisari-Online.com - ... hanya ada satu kata: lawan! Penggal terakhir puisi "Peringatan" yang ditulis oleh Wiji Thukul tahun 1986 itu begitu terkenal. Penyair ini dikenal karena banyak puisinya mengkritik soal pemerintahan dan juga kondisi sosial pada masa Orde Baru. Menjelang masa reformasi, Widji justru hilang tak tentu rimbanya, hingga kini.
Untuk mengenang sosok Wiji Thukul,sutradara muda Yosep Anggi Noen membuat film dengan judul yang diambil dari puisi Wiji Thukul tahun 1988, "Istirahatlah Kata-Kata".
Dalam film tersebut Anggi tidak menitikberatkan kegarangan Wiji Thukul dalam mengkritik pemerintah. Dia memilih untuk merepresentasikan Wiji sebagai manusia biasa, yang memiliki rasa takut, kesepian, dan rindu pada keluarganya saat dia berusaha melarikan diri ke Pontianak.
"Wiji Thukul itu orangnya menarik, anaknya pernah bilang seperti ini: Bapakku seperti puisi, singkat dan misterius. Artinya Wiji Thukul itu tokoh yang riang, lucu, agitatif, sangat cerdas, dia juga membaca banyak buku, haus ilmu, tapi di sisi lain dia kesepian. Ruang sepi itu yang saya coba bangun. Dalam kesepian itu kompleksitas manusia muncul seperti rasa takut, apalagi jika sendiri dalam status sebagai buronan. Perasaan seperti itu yang saya coba hadirkan," kata Anggi.
Alasan Anggi mengambil waktu Wiji menjadi buronan karena itu adalah masa Wiji Thukul bertemu orang baru, berhadapan dengan lingkungan baru dan harus berlindung dan bersembunyi dari banyak orang.
(Depolitisasi film sejarah Peristiwa 1965.)
"Dalam perjalanan itu Wiji Thukul juga perlahan memupuk keberanian untuk keluar dari persembunyian dan berinteraksi dengan masyarakat keseharian," kata dia.
Dalam film tersebut Anggi menyoroti kehidupan sehari-hari Wiji Thukul selama melarikan diri sama seperti puisi Wiji Tuhukul yang dapat mencatat peristiwa sehari-hari.
"Film ini dibuat sebagai upaya melihat Wiji Thukul mencatat keseharaian ke dalam kata-kata yang kuat," kata dia.
Film yang pengambilan gambarnya di Pontianak dan Yogyakarta ini bertujuan untuk mengenalkan generasi muda kepada sosok dan semangat penyair yang aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).
Anggi mengaku awalnya ia tidak terlalu suka dengan puisi Wiji Thukul, perkenalan pertamanya dengan puisi Thukul adalah pada 1990-an ketika tetangganya membawa puisi berjudul "Tikar Plastik Tikar Pandan" (1988).
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR