Intisari-Online.com -14 Januari 2016 menjadi hari yang tak mungkin dilupakan oleh Denny Mahieu. Ia adalah salah satu petugas Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya yang menjadi korban selamat peristiwa bom Sarinah setahun yang lalu itu.
“Kepala saya masih suka sakit,” katanya di depan pos polisi di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1) kemarin, dilaporkan Kompas.com.
(4 Hal yang Harus Diajarkan Kepada Anak Terkait Teror Seperti Peristiwa Bom Sarinah)
Tak lama setelah bom meledak, menjelang pukul 11.00 pada 14 Januari 2016, foto Denny menyebar di media sosial. Di salah satu foto, Denny tengah dievakuasi menggunakan mobil. Kepalanya berdarah, juga lengan dan kaki kanannya.
Itu kejadian setahun yang lalu. Kemarin, di depan penyintas lainnya yang berkumpul atas inisiatif Aliansi Indonesia Damai (Aida) di Gedung Dewan Pers di Jakarta, Denny perlahan-lahan menceritakan ulang kejadian yang dialaminya menjelang ledakan bom itu.
Ia menuturkan bagaimana dirinya berjuang memulihkan diri dari trauma yang bekepanjangan. Ia merasa begitu terbantu oleh nasihat guru spiritualnya yang menenangkan.
Kita tahu, dua bom meledak setahun yang lalu di kedai kopi Starbucks dan pos polisi di Jalan MH Thamrin yang berjarak puluhan meter. Lokasinya persis di depan Sarinah.Ledakan yang juga diikuti tembakan itu menyebabkan tujuh orang tewas, terdiri atas lima terduga teroris dan dua warga sipil, dan 24 orang lainnya terluka.
(Dari Bom Bali hingga Serangan WTC, Inilah 10 Teror Paling Fatal Abad 21)
Trauma juga sempat dirasakan oleh John Hansen. Pada saat bom pertama meledak di Starbucks, laki-laki 34 tahun yang berprofesi sebagai karyawan swasta itutengah rapat dengan rekanan perusahaannya di gerai kopi itu. Ia menyatakan isi hatinya, selama setahun terakhir, dia memendam dendam, malu, dan takut. Ia kerap menyembunyikan identitasnya sebagai penyintas.
“Setelah bertemu dengan penyintas lain dan bertukar pikiran, saya menyadari untuk apa malu,” kata John, yang hingga kini pendengarannya terganggu akibat ledakan bom itu.