Intisari-Online.com -Reko Handoyo, 39, sejak 2011 memutuskan untuk tidak menjadi karyawan lagi. Dengan semakin banyaknya tuntunan, pria berdarah Yogyakarta itu memilih untuk menekuni bisnis yang dulu justru menjadi bisnis sampingannya. Bukan tanpa alasan, bisnis barunya ini memberinya lebih banyak pemasukan daripada hanya menjadi seorang karyawan kantoran.
Meski sudah tidak menjadi karyawan lagi, bukan berarti Reko berhenti nyambi. Di sela-sela menjalankan bisnis utamanya, bapak dua anak ini terus menggarap bisnis sampingan yang dia anggap menggiurkan dan memiliki prospek ke depan.
(Kerja Sampingan untuk Penghasilan Sampingan)
Soal bisnis sampingan, Reko sejatinya adalah pemain lama. Ia sudah nyambi sejak masih kuliah. Setelah lulus dari Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 2002 dan menjadi karyawan sebuah perusahaan swasta hobinya mencari kerja sampingan terus berlanjut, lebih-lebih setelah kebutuhan keluarga semakin banyak sementara penghasilan di kantor sebagai karyawan tidak seberapa.
Tahun 2010, Reko yang suka bermain online, memulai bisnis sampingan herbal life di sela-sela rutinitasnya menjadi karyawan sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang konsulting. Alasan Reko waktu itu cukup klise: anak sudah mulai besar dan mulai masuk sekolah, serta kebutuhan rumah tangga mulai membengkak; sementara gaji sebagai karyawan dirasa kurang cukup untuk menutup semua kebutuhan.
Bisnis herbal life yang awalnya hanya coba-coba lama-lama terus berkembang. Mula-mula Reko membuat blog yang semuanya membahas tentang herbal life. “Kalau mau bikin blog, jangan random. Fokus di satu pokok bahasan. Kalau herbal life, fokus. Masukkan kata kunci-kata kunci yang kira-kira bisa nyangkut ketika orang mengetik herbal life,” terang Reko, yang mengaku sudah terbiasa jualan sejak sekolah dasar.
Berjalan setahun, bisnis sampingan herbal life milik Reko mulai berkembang, bahkan pendapatan yang didapat dari bisnis itu menyamai gajinya sebagai karyawan selama satu bulan. Kondisi membuat Reko gelisah, membesarkan bisnisnya atau tetap menjadi karyawan dan terus bekerja sampingan.
Awal 2011, Reko akhirnya memutuskan untuk melepas karirnya sebagai seorang karyawan. Meski demikian, bukan berarti Reko berhenti bekerja sampingan. Di sela-sela kesibukannya berjualan herbal life, Reko sesekali membantu kawannya membuka rental video shooting, bahkan sekarang berencana membuat kolam ikan.
Kerja sampingan bukan satu-satunya solusi
Tidak ada yang salah dengan mengambil pekerjaan sampingan. Apalagi ketika melihat kebutuhan sudah semakin mendesak, anak-anak sudah mulai masuk sekolah, istri kepingin menambah koleksi emasnya, sementara penghasilan menjadi karyawan tidak seberapa.
Meski demikian, pandangan bahwa kerja sampingan adalah satu-satunya cara menambah penghasilan harus disingkirkan. Masih ada cara yang lain. AB Susanto, Chairman The Jakarta Consulting, memiliki dua formula untuk menyiasati persoalan karyawan yang terkadang sering “besar pasak daripada tiang”.
Formula pertama adalah dengan melakukan kerja sampingan seperti yang dilakukan Reko Handoyo di atas. Meski demikian, Susanta memberi catatan jika terpaksa harus bekerja sampingan: harus satu saja dan fokus. “Kecenderungan orang kan tidak bisa fokus dengan banyak hal. Mungkin bisa, tapi tidak semuanya,” ujar Susanta. Selain itu, yang paling penting adalah tidak sampai mengesampingkan pekerjaan utama sebagai karyawan.
Orang yang hendak mengambil kerja sampingan sebelumnya harus membuat kesepakatan dengan dirinya sendiri: apakah kerja sampingan ini hanya sebagai sampingan atau kerja sampingan ini suatu saat akan menjadi pekerjaan utama. Dari situ akan bisa dipetakan langkah apa yag hendak ditempuh nantinya.
Jika kerja sampingan hanya sebagai sampingan, maka fokusnya adalah bagaimana menjaga keseimbangan keuangan keluarga tetap terjaga. Cukup. Tapi jika berencana menjadikan kerja sampingan itu sebagai penghasilan utama kelak, tentu saja diperlukan strategi yang berbeda.
Untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan utama sebagai karyawan dan kerja sampingan, alangkah baiknya membuat skala prioritas. Karna ini menyangkut loyalitas, alangkah baiknya porsi untuk pekerjaan utama adalah 80 persen sementara kerja sampingan 20 persen. Jangan sampai menjadi 50: 50 terlebih porsi kerja sampingan lebih besarr dibanding dengan pekerjaan utama. “Ini soal etika,” ujar Susanta, tegas.
Namun ketika pekerjaan sampingan yang dilakukan sekarang adalah bagian dari rencana masa datang, maka porsi bisa ditambah secara bertahap. Saat hasil dari kerja sampingan sudah setara dengan hasil menjadi karyawan—atau bahkan lebih—pekerjaan utama sebagai karyawan bisa dilepas .
Seperti yang dilakukan Reko, ketika kerja sampingannya sudah bisa menghasilkan setara yang dihasilkan saat menjadi karyawan selama satu bulan, ia pun memutuskan berhenti menjadi karyawan dan fokus dengan bisnisnya. Supaya lebih fair, lanjut Susanta, harus ada kesepakatan dengan bos, supaya tidak ada kesan buruk dari atasan.
Formula kedua adalah fokus kepada karir. Setiap orang sejatinya mempunyai kapasitas untuk menyabang. Yang barang kali sulit dilakukan adalah membagi loyalitas.
Susanta membaca, sudah menjadi rahasia umum, ketika pekerjaan sampingannya sudah mulai membaik, orang akan condong ke sampingannya. Bagi yang berintegritas tinggi—dan loyal terhadap perusahaan—lama-kelamaan akan merasa bersalah karena pekerjaan utamanya terganggung. Ujung-ujungnya juga mengganggu pekerjaa utama.
(Kemampuan Inilah yang Bikin Generasi Y Bisa Sukses Kerja Sampingan)
Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan tersebut, Susanta sejatinya lebih menyarankan seorang karyawan lebih fokus pada karirnya saja. “Jangan anggap dengan fokus terhadap karir, kita tidak bisa menaikkan penghasilan lebih cepat. Kuncinya loyal!” tegas Susanta.
Melihat dan meniru
Ada satu cara seorang karyawan yang ingin cepat menambah penghasilannya, dalam arti cepat naik karirnya: teknik see and be, melihat lantas meniru. Dalam pelaksanaannya, seorang karyawan bisa melihat pola kerja yang biasa dilakukan oleh atasannya; bahkan dari hal-hal yang kelihatannya sepele, seperti cara menggunakan dasi dan setelan baju, lalu menirunya.
Seorang sales ingin cepat naik menjadi supervisor, misalnya. Tanpa harus menjilat, si sales tersebut bisa meniru pola kerja yang dilakukan oleh supervisornya tersebut: bagaimana cara mengatur tugas, bagaimana menjalin hubungan dengan pelanggan, bagaimana harus menghadapi keluhan dari pelanggan, dsb.
Suatu saat ketika supervisor tersebut berhalangan—atau tiba-tiba keluar dadakan—perusahaan akan menunjuk orang yang “setipe” dengan supervisor tersebut. “Ini seperti nasihat orang dulu, jika ingin membeli mobil BMW, awalilah dengan membeli poster mobil BWM,” ujar pria yang mengawali karir sebagai dokter itu.
Jika ada waktu longgar, jangan segan-segan untuk memanfaatkannya sebaik mungkin. Gunakan waktu tersebut untuk belajar apa-apa yang bisa mendukung karir, dan jangan sungkan-sungkan mengajukan diri kepada perusahaan ketika ada seminar-seminar yang berkaitan dengan peningkatan karier.