Laki-laki, perempuan, orang tua, anak-anak, kulit putih, kulit hitam, hingga keturunan Arab berkumpul dan bergembira bersama tanpa sekat.
"Jalanan penuh, bahkan di atap-atap rumah di Arc de Trioomphe. Hitam, putih, sungguh perpaduan yang bagus, momen yang luar biasa," ujar Pires.
Timnas Prancis kala itu membuktikan betapa keragaman bisa menjadi kekuatan hebat dan bukan komoditas politik untuk memecah belah rakyat.
Saat itu, Prancis memang tengah digoyang oleh isu rasialisme setelah Jean-Marie Le Pen, politisi sayap kanan yang juga pemimpin Partai Front Nasional, mengatakan bahwa keragaman di timnas kala itu menunjukkan bahwa Les Bleus bukanlah Prancis yang sesunguhnya.
Le Pen bahkan menyebut beberapa anggota skuat tidak layak mengenakan kostum kebesaran Prancis, terutama mereka yang tidak menyanyikan lagu kebangsaan negara di pertandingan.
Bagaimana rakyat Prancis kemudian menyikapinya? Ya itu tadi, bergembira bersama-sama tanpa memikirkan asal-usul dan perbedaan satu sama lain.
Bahkan banyak masyarakat Prancis sampai berteriak: "Pilih Zidane jadi presiden".
"Pada akhirnya, kami sama-sama orang Prancis dan kami berjuang demi bendera yang sama. Hal ini membawa semangat positif bagi seluruh negeri," ucap Desailly.
***
Di sisi lain, orang Jerman pasti tahu betul apa yang dirasakan warga Prancis 20 tahun silam itu.
Kala menjuarai Piala Dunia 2014, Jerman memetik hasil dari kebijakannya menjangkau kantung-kantung komunitas imigran di negerinya lewat sepak bola.
Source | : | BolaSport.com |
Penulis | : | |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR