Advertorial
Intisari-Online.com -Pada bulan Oktober 2017 Raja Salman berkunjung ke Rusia dengan tujuannya yang mengejutkan dunia khususnya AS, karena ingin membeli sejumlah rudal S-400.
Langkah Arab Saudi memang bisa mengguncang hubungannya dengan AS karena sebagai sekutu AS, Arab Saudi seharusnya tidak melakukan pembeliaan senjata dari Rusia melainkan dari AS saja.
Arab Saudi memang sedang membutuhkan banyak peluncur rudal yang bisa menangkis rudal karena sering mendapat gempuran rudal dari pemberontak Houthi dukungan Iran yang berbasis di Yaman.
Selama mendapat serangan rudal dari Yaman, Arab Saudi memang sudah menyiagakan sistem pertahanan udara menggunakan rudal-rudal Patriot II yang dibeli dari AS.
Tapi sejumlah rudal yang ditembakkan oleh pemberontak Houthi dari Yaman ternyata ada yang lolos juga dan berhasil menghantam sejumlah sasaran di Arab Saudi.
Oleh karena itu demi makin memperkuat sistem pertahanan udaranya, Arab Saudi memutuskan untuk membeli rudal-rudal S-400 dari Rusia.
Tidak hanya membeli, Arab Saudi juga diberi kesempatan oleh Rusia untuk mendirikan industri pertahanan di Arab Saudi sehingga bisa memproduksi rudal S-400 secara mandiri.
Pembelian rudal-rudal S-400 sekaligus mendirikan industrinya bekerja sama dengan Rusia, jelas sangat merugikan AS.
Pasalnya dalam sistem penjualan senjatanya terhadap negara-negara yang dianggap telah menjadi sekutunya, AS selalu memberikan syarat agar negara bersangkutan tidak melakukan pembelian persenjataan dari negara lain yang menjadi rival bagi AS.
Apalagi senjata yang dibeli ternyata merupakan persenjataan yang lebih canggih dibandingkan persenjataan AS seperti rudal S-400 yang secara teknologi dan daya hancurnya terbukti lebih hebat dibandingkan rudal Patriot II.
AS sejak Perang Teluk 1 (1990) memang telah berhasil membuat Arab Saudi menjadi tergantung dengan kekuatan militer AS yang kemudian bercokol di sejumlah pangkalan di Arab Saudi, sekaligus menjadi pemasok persenjataan bagi negeri petro dollar itu.
Jika Arab Saudi tetap memutuskan untuk membeli rudal-rudal S-400, AS memang bisa menjatuhkan sangsi embargo senjata.
Baca juga:Amankan Piala Dunia Rusia Kerahkan Pasukan Khusus Paling Ganas Spetsnaz yang Siap Libas Teroris
Khususnya penghentian suku cadang bagi persenjataan canggih yang sudah dibeli oleh Arab Saudi seperti jet tempur F-15, tank Abram, helikopter, rudal Patriot II, dan lainnya.
Namun tampaknya Rusia yang menjanjikan penjualan rudal-rudal S-400 sekaligus membangun kerja sama pendirian industri pertahananan untuk memrpoduksi rudal S-400, telah menandakan bahwa Arab Saudi mulai tertarik untuk berbisnis senjata sendiri tanpa harus ‘takut’ dengan AS.
Jika Arab Saudi bisa memiliki industri persenjataan sendiri, selain bisa menjadi negara yang berubah menjadi pengekspor persenjataan, maka secara perlahan pengaruh AS juga akan memudar bahkan bisa ‘ditendang’ dari Arab Saudi.
Arab Saudi memang dituntut untuk bisa mengembangkan pendapatan negara bukan hanya dari minyak saja, tapi dari sumber-sumber lainnya.
Oleh karena itu jika Rusia ternyata menjamin Arab Saudi bisa memiliki industri senjata dan sekaligus menjadi negara pengekspor senjata, maka ketergantungan Arab Saudi terhadap persenjataan dari AS juga akan berkurang.
Dengan jaminan dari Rusia itu, maka langkah Arab Saudi untuk segera memiliki rudal-rudal S-400 plus industri pendukungnya seharusnya tidak perlu ragu-ragu lagi dan tidak perlu takut dengan ancaman embargo senjata dari AS.
Pasalnya pertimbangan AS hanya satu. Ia tidak mau sistem teknologi pertahanan udaranya ternyata kalah dibandingkan dengan rudal S-400 Rusia dan tidak mau kehilangan pelanggan setianya (Arab Saudi).