Advertorial
Intisari-Online.com – Seusai wawancara di BBC, 20 November 1995, ada orang yang benci, banyak pula yang bersimpati kepada Putri Wales (Lady Di).
Sungguhkah ia berniat mengkhianati perkawinan? Apakah ia berselingkuh karena suaminya juga berbuat hal yang sama?
Itulah yang terungkap dalam buku Princess in Love karya Anna Pasternak, yang ditulis berdasarkan wawancara dengan James Hewitt, pria yang – sekalipun dikecam dan kini dikucilkan – pernah mengisi kehampaan hati serta mengembalikan kepercayaan diri sang Putri.
Hampir tak ada celah aman bagi pasangan Wales, Pangeran Charles dan Putri Diana, untuk berlindung dari sorotan media massa. Masyarakat Inggris bahkan sudah tahu keretakan hubungan mereka sebelum perpisahan resmi diumumkan.
Perselingkuhan Charles dengan Ny. Camilla Parker-Bowles, yang terceritakan gamblang dalam biografi karya Jonathan Dimbleby, dari waktu ke waktu dikomentari, ditambahi, ditulis, dan dituliskan kembali, dalam versi yang selalu diperbarui.
Nyaris tak ada perbedaan antara gosip, isu, berita koran atau tabloid, dengan kenyataan sebenarnya. Bagi mereka yang terlibat, sungguh bagaikan siksaan. Seolah-olah media memaksa, "Jika Anda tak mau bicara, kami akan menuliskan apa yang kami ketahui."
Beban James Hewitt, barangkali lebih dari itu. Ia, yang menyimpan cerita pribadi soal hubungannya dengan Diana, perlahan namun pasti dicoreng-moreng media.
Ia tak hanya perlu atau tidak menjawab tantangan, melainkan bagaikan hidup dalam bejana gantung penuh karat. Cepat atau lambat korosi akan menggerogoti, sampai tahu-tahu rusak dan ia jatuh.
Tapi, sungguhkah ia pria penggali jurang perceraian yang harus dikutuk? Bukankah ia justru memberi sumbangan bagi kepercayaan dan harga diri Diana? Tidakkah ia justru memberikan sesuatu yang mestinya didapatkan Diana dari Charles?
Bukankah ia menjadi pendorong jiwa yang merana apalagi dalam diri seorang ibu bagi calon raja di masa datang? Apakah ia sendiri tak cukup kehilangan pangkat, jabatan, dan lingkungan gara-gara rasa cintanya kepada sang Putri?
Itulah beberapa hal yang dicuatkan oleh Anna Pasternak di bagian pengantar bukunya. Ia merangkum hasil beberapa kali pertemuannya dengan Kapten James Hewitt, tak semata-mata untuk memperkeruh air, melainkan agar pembaca menemukan kejernihan tanpa harus menyalahkan.
Menghapus trauma berkuda
Sebuah perjamuan di penghujung musim panas tahun 1986 mempertemukan Hewitt dengan Diana. Sang Putri, yang secara natural memiliki kekuatan besar untuk mempesona pria, entah kenapa, sore itu merasa menemukan seseorang untuk dipesonakan.
Kalau kebanyakan pria terhenti pada rasa kagum akan aura keemasan Diana tanpa berani mendekat, tidak demikian halnya Hewitt.
Kapten pada divisi perlengkapan pasukan Kerajaan Inggris itu memang bukan serdadu biasa. Ia cukup tenang untuk membungkuk dan menerima uluran tangan Diana. Kemudian, pembicaraan antara keduanya tak harus kaku dan penuh basa-basi.
Setengah jam Diana bercerita banyak hal tentang dirinya, pun menanggapi keberadaan Hewitt sebagai pengelola istal kuda pada divisi perlengkapan. Selain menjadi staf pada unit perlengkapan AD Inggris, punya seorang ibu yang juga mengelola istal kuda pacu di Devon, Hewitt pun pengendara kuda yang andal.
Baca juga: Apa Benar Penobatan Pangeran Charles Sebagai Raja Sangat Bergantung pada Putri Diana?
Karena itulah Diana menyatakan minat untuk berlatih naik kuda lagi, serta-merta terdorong untuk menghapus trauma masa kecil ketika jatuh dari kuda di Park House, rumah keluarga Spencer di Norfolk.
Perbincangan pun berakhir dengan janji untuk bertemu lagi dalam program yang sudah disepakati: berlatih naik kuda.
Sesungguhnya, sejak usia 20-an, saat ia getol berlatih naik kuda dan main polo, James Hewitt telah sering berhubungan dengan keluarga istana. Beberapa kali bertemu dengan Pangeran Charles, tokoh yang sangat dikagumi dan dihormatinya, dalam jalinan kawan sesama pengendara kuda.
Awal 1981, ketika ia mewakili AD dan Pangeran Charles mewakili AL, keduanya bertemu dalam pertandingan polo. Lady Diana Spencer juga ikut menyaksikan tunangannya bertanding. Dunia mulai memperhatikan putri cantik itu.
James, yang tak punya saudara laki-laki (kedua kakak kembarnya yang 18 bulan lebih tua, perempuan, sementara ayahnya, John Hewitt, bekas anggota marinir, sering bertugas jauh sehingga ia jarang bertemu), merasa kehadiran Diana bagaikan bagian dari keluarganya.
Baca juga: Penuh Kebahagiaan, Inilah 10 Potret Kebersamaan Putri Diana, William, dan Harry yang Tak Terlupakan
Ia punya perasaan khusus pada Diana, sekalipun tak punya keberanian untuk mendekat secara fisik. Ketika pasangan Wales berbulan madu seusai "pernikahan dongeng" – dan James sebagai petugas keamanan, karena itu wajahnya muncul di televisi dalam acara Breakfast Time - Juli 1981, James mengirim telegram ucapan selamat.
James Hewitt tak bisa menjelaskan, apakah ucapan selamat itu dia kirimkan kepada Pangeran Charles ataukah mewakili kekagumannya kepada Diana. Mungkin juga bukan pertanda-apa-apa, karena James sebetulnya kurang sensitif terhadap wanita.
Ia jarang bergaul dengan lawan jenisnya ketika remaja. Baru punya pacar ketika berusia 19, itu pun tanpa keberanian mencium karena khawatir akan mempermalukan si gadis.
Sepanjang waktu, seusai masa sekolah, ia mengabdi kepada ketentaraan. Namun, lewat ketentaraan pula ia merasa didekatkan dengan banyak hal dan manusia yang dikaguminya.
Suatu saat ketika piket di Istana Buckingham, misalnya, ia beberapa kali melihat Putri Wales dalam keadaan sangat biasa, tanpa tata rias dan bahkan tanpa alas kaki, bercengkerama dengan beberapa staf.
Beberapa hari setelah perbincangan sore di perjamuan, telepon di meja kerja Hewitt di barak, Knightsbridge berdering. Putri Wales menelepon, menanyakan keseriusan Hewitt untuk mengajarinya berkuda.
Hewitt menjawab penuh semangat. Sekaligus terkejut, karena beberapa hari belakangan, suara Diana selalu terngiang di telinganya. "Kalau begitu, siapkan semuanya, besok pagi kita latihan,"'kata sang Putri.
Diana berlatih bukan dalam kapasitas, jadwal, dan kesempatan dinas. Kapten Hewitt pun ternyata instruktur yang tepat! Diana bukan lagi patung emas yang tak tersentuh, karena ia wanita biasa yang dekat dengan rasa takut, dan setiap kali mengulurkan tangan kepada Hewitt agar menahannya dari guncangan kuda.
Mulailah petualangan bagi keduanya, dan hampir selalu diakhiri dengan minum kopi bersama di mes perwira. Diana sangat suka, tanpa menyadari tiba-tiba seorang pria hadir dalam hidupnya. (Mayong Suryo Laksono – Intisari Februari 1996)
Baca juga: Pasca Bercerai dan Keluar dari Istana, Inilah Pria yang Sebenarnya Membuat Putri Diana Patah Hati