Advertorial
Intisari-online.com -30 Mei 2014 menjadi salah satu hari terbesar dalam sejarah sepakbola Palestina.
Namun, hal itu terjadi jauh dari kediaman mereka karena terjadi di Malé, ibu kota Maladewa.
Pada waktu itu Palestina berhasil mencapai babak final AFC Challenge Cup, sebuah turnamen yang tujuannya adalah untuk mempromosikan sepakbola di antara negara-negara 'berkembang'.
Terutama mereka yang mulai berinvestasi dalam olahraga, termasuk Laos, Pakistan, Sri Lanka, dan India.
Baca Juga :Realitas Kehidupan Pemain Sepakbola Irak di Era Saddam Husein: Kalah Disiksa, Menang di Penjara
Pemenang piala secara otomatis berpartisipasi di Piala Asia, turnamen paling penting di benua itu, yang berlangsung setiap empat tahun.
Palestina melakukannya dengan sangat baik, mereka mengalahkan Bangladesh, Burma, Kirgistan, Nepal, dan Afganistan dalam perjalanan ke final.
Hingga akhirnya Palestina menghadapi Filipina di partai final.
Babak pertama berakhir tanpa mencetak gol, tetapi pada menit ke-58 Palestina mendapat tendangan bebas, dan dua pemain terlihat berdiri di samping bola.
Baca Juga :Kisah Timnas Israel, Dulu Tim yang Ditakuti, Sekarang Dikucilkan dari Sepakbola Asia
Ashraf Nuaman, seorang pemain pribumi Betlehem yang bermain di liga Saudi, dan Nablus 'Murad Ismail Said, yang bermain untuk Klub Hilal Al-Quds di Yerusalem.
Rupanya Ashraf Nuaman yang mengekusi tendangan tersebut, ia melayangkan tendangan keras ke pojok kiri atas,dan memaksimalkan peluang yang didapatkannya.
Gol tercipta tepat tiga puluh menit kemudian, dengan serangan penuh terakhir, Nuaman dan kawan-kawan merayakan kemenangan terpenting tim saat utu juga.
Itulah segelintir kenangan manis yang pernah diterima Palestina, sebagai sebuah tim yang pernah mengecap manisnya prestasi, meski sebagai negara yang kini dilanda konflik berkepanjangan.
Baca Juga :Dilatih Layaknya Pasukan Militer, Itulah Sepenggal Kisah dari Timnas Korea Utara
Hubungan antara olahraga, identitas nasional, politik, masyarakat, dan perjuangan telah dipelajari berkali-kali.
Tapi tanpa terlalu jauh, sebab tidak ada keraguan bahwa tim Palestina adalah salah satu contoh paling menonjol dari kemampuan tim sepak bola nasional, yang bahkan mendahului pembentukan institusi nasional dan berdaulat Palestina.
Ketika FIFIA secara resmi mengakui tim sepak bola nasional Palestina pada tahun 1998, menjadi salah satu organisasi internasional pertama yang mengakui Palestina sebagai sebuah negara.
Keputusan itu, bersama dengan perjalanan Presiden FIFA Sepp Blatter ke Gaza pada tahun 1998, memaksa dunia untuk terbiasa dengan 'Palestina,' apakah negara itu berbatasan atau tidak.
Baca Juga :Kisah Tragis Para Atlet Israel yang Dibantai Ketika Ikuti Olimpiade di Jerman
Tampaknya sejak saat itu, Israel masih merasa perlu membicarakan tentang 'tim Palestina' atau 'pelatih Palestina.'
Tim nasional Palestina waktu itu akan pergi ke Piala Asia, saat ini berlangsung di Australia, untuk menempatkan Palestina di peta.
Acara Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengirim pesan kepada para pemain sebelum mereka berangkat ke Australia, di mana ia menyebut olahraga 'senjata penting dalam politik'.
Goalie Ramzi Saleh, 34, pemain Palestina yang lahir di Mesir untuk orang tua dari Gaza, menyatakan bahwa: "Kami partisipasi dalam turnamen, untuk mengirim pesan ke dunia untuk menunjukkan bahwa meskipun dalam kehancuran kita selalu ada."
Ahmad al-Hassan, manajer profesional tim, mengatakan bahwa "Melalui tim, kami berharap untuk mencapai tujuan politik untuk buktikan bahwa kita layak menjadi negara merdeka dengan lembaganya sendiri, meskipun pendudukan, meskipun pemisahan antara Gaza dan Tepi Barat dan meskipun perang melawan kita."
Al-Hassan tahu apa yang dia bicarakan, ketika orang-orang Palestina terbagi di berbagai penjuru dunia apakah di Tepi Barat, Gaza, Israel, Yordania, Suriah, Lebanon dan Mesir, atau di seberang lautan di Eropa atau Amerika Serikat.
Di sisi lain, aturan FIFA baru memungkinkan pemain yang tidak memegang paspor yang sama untuk bermain untuk tim nasional yang sama (selama mereka belum pernah bermain untuk tim nasional yang berbeda).
Hal ini telah menciptakan kenyataan di mana tim nasional Palestina, lebih dari Otoritas Palestina atau PLO, mewakili impian persatuan dan kembalinya Palestina. (Afif Khoirul M)